“Untuk anak, istri, adik perempuan, biasa mereka suka makan bakso Mas,” tawar lelaki tua itu lagi membuat Sean sedikit meradang dan memicingkan ujung matanya menatap penjual bakso tersebut.
Melihat Sean yang sudah marah, penjual bakso itu langsung pamit untuk pergi dari hadapan Sean.
“Maaf Mas, permisi,” ucapnya yang tahu diri sudah kelewatan.
“Bungkus satu porsi!” ucap Sean ketus membuat langkah kaki penjual itu terhenti.
“Baksonya Mas?” tanya dia.
“Bukan, gerobaknya! Ya iyalah bakso, pakai nanya lagi!” jawab Sean dengan kesal.
Lelaki tua itu langsung membungkus bakso tersebut dengan mulut berkomat-kamit, membuat Sean mencengkeram tangan lelaki tua itu dengan keras.
“Mas-mas, ke kenapa?” tanya lelaki tua itu yang ketakutan karna diperlakukan kasar oleh Sean.
“Kamu baca apa?! Jampi?!” tanya Sean dengan muka memerah.
“Bu bukan Mas, bukan, saya Cuma lagi sholawat kepada nabi,” jawab lelaki itu dengan wajah ketakutan.
Sean yang mendengar jawaban lelaki itu membuatnya sedikit melonggarkan cengkeraman di lengan lelaki itu dan berkata kembali, “Awas kalau sampai macam-macam, bapak tidak akan selamat dari saya!” bentak Sean yang sudah melepaskan tangan lelaki itu.
Lelaki tua itu terlihat lega karna Sean tidak berbuat kasar lagi sama dia, dia segera menyiapkan bakso pesanan Sean.
“Ini Mas baksonya, maaf ya, karna bapak sholawat kecil kamu jadi takut, memang benar, baiknya kita waspada sama penjual yang suka berdagang dengan cara yang tidak baik,” ucapnya yang masih berbicara ramah pada Sean.
Sean meletakkan uang 50 ribu di atas gerobak lelaki tua itu dan langsung pergi.
“Mas, Mas, ini uangnya lebih, Mas!” panggil lelaki tua itu mencoba mengejar Sean yang sudah masuk ke dalam mobil.
“Ambil saja!” jawab Sean cuek dan ketus, lalu dengan cepat meninggalkan tempat tersebut dan pulang ke markas mereka.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak ya Allah, semoga Allah menjadikan pemuda tadi itu pemuda yang sholeh, taat kepada Allah, punya istri yang sholehah, dan jadi penghuni surga, amin amin ya Allah,” ucap si Kakek menadahkan kedua tangannya ke langit dengan perasaan terharu dan bersyukur.
Sean sempat melihat kakek tua itu berdoa, tapi masa bodoh untuk Sean, dia hanya mencebik dengan tatapan mengejek.
Sesampainya di markas, Sean segera mendatangi tempat tahanan Dinda dan langsung meletakkan makanan yang dia beli di pintu tahanan.
Dinda yang melihat Sean membawa pulang makanan langsung tersenyum sambil mengucap hamdalah dalam hatinya karna ternyata lelaki kasar di hadapannya itu masih punya sedikit hati nurani.
“Terima kasih banyak,” ucap Dinda sambil mengambil makanan yang di bawa pulang oleh Sean.
Dinda mengendus bau harum dari aroma bakso yang di bawa oleh Sean, seketika perutnya langsung keroncongan di hadapan Sean.
“Bakso ya? Wah, terima kasih banyak ya, ini benar-benar kesukaan saya,” ucap Dinda lagi dengan ekspresi mengendus bau harum dari luar kantong plastik di tangannya.
Sean hanya menatap Dinda dengan malas, tanpa ingin menjawab satu pun kalimat yang dilontarkan oleh Dinda.
“Ini pasti habis banyak ya belanjanya? Berapa totalnya? Biar saya bayar,” tanya Dinda dengan pertanyaan yang beruntun membuat Sean memijat pelipisnya melihat kelakuan perempuan di hadapannya ini.
“Kamu tau! Karna kamu minta ini itu, aku kena teguran dari Bos!” jawab Sean dengan ketus sambil membantingkan gembok yang sedang dikuncinya hingga membuat Dinda kaget.
“Kasar banget,” gerutu Dinda yang mundur menjauhi tempat Sean berdiri.
Sean kembali ke tempat duduknya, begitu juga dengan Dinda.
“Lah, cara makan baksonya bagaimana, kagak ada mangkok,” gumam Dinda sambil mendongakkan wajahnya melihat Sean, tapi di lihatnya wajah Sean yang masih belum bersahabat membuatnya enggan untuk meminta mangkok.
Dinda dengan sangat terpaksa memakan makanan ringan yang lainnya sambil sesekali melihat ke arah Sean, berharap Sean peka dengan permasalahan yang sedang di hadapinya, yaitu masalah menahan keinginannya untuk menghabiskan bakso di hadapannya itu dengan segera.
Sean yang mengerti keinginan Dinda bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil mangkok.
“Nih!” ucap Sean sambil menyerahkan mangkok tersebut ke hadapan Dinda.
Dinda mendongakkan wajahnya menatap Sean, sesaat wajah mereka saling beradu pandang, tapi dengan cepat Dinda langsung menundukkan tatapannya.
Dinda sedikit tersentuh dengan kepekaan yang dimiliki oleh Sean, tapi dengan cepat dia menepiskan kekaguman tersebut, Sean hanya orang asing yang ditemukan di jalan, dan sekarang dia harus bersikap baik menghadapi lelaki di hadapannya itu supaya dia bisa keluar dari tempat tersebut dengan keadaan selamat.
“Terima kasih banyak,” ucap Dinda sambil tersenyum.
Senyum yang sangat manis hingga hati Sean berdesir menatap senyuman tersebut, tapi lagi-lagi Sean juga ikut menepis kekagumannya, dia tidak akan membiarkan hatinya mengagumi wanita mana pun.
“Sama-sama,” jawab Sean dingin.
Dinda segera menuangi bakso tersebut ke dalam mangkok, aroma lezat menggelitik penciuman Dinda dan juga Sean.
“Ini baksonya dari bapak penjual keliling itu ya?” tanya Dinda sangat antusias sambil menghirup aromanya.
“Iya, kamu kenal?” jawab Sean datar.
“Kenal, saya suka makan bakso bapak itu, penjualnya sangat Sholeh, tiap saat selalu Sholawat, lagi ngaduk kuah bakso sholawat, lagi layani pembeli juga sholawat,” ucap Dinda yang terlihat jelas di wajahnya kagum pada penjual bakso tersebut.
“Apa gunanya? Cuma ngabisin tenaga saja, lebih baik fokus jualan,” jawab Sean yang masih berdiri di hadapan Dinda yang masih mengaduk bakso dalam mangkuknya agar tercampur rata dengan kecap yang baru saja di campur.
“Kalau kita bershalawat, segala sesuatu yang kita lakukan menjadi lebih berkah, karna kita terus mengingat nabi,” jawab Dinda.
Sean yang mendengar jawaban Dinda mencebik sambil membalikkan badannya.
“Kalau mau pidato di masjid, bukan di sini!” ucap Sean yang berlalu pergi dari hadapan Dinda membuat Dinda mengerucutkan bibirnya mendengar tanggapan Sean.
“Tadi tanya, setelah di jelasin malah ngeselin!” gerutu Dinda.
Dia melanjutkan makannya hingga habis, sedangkan Sean menyibukkan diri dengan ponsel pintarnya.
Bersambung ...