Chapter 3 : Rumah Sakit

2290 Words
    Dering ponsel Raka membuat siempunya memberhentikan acara makan dan segera merogoh saku jins mengambil ponsel. Nama Rahma tertera sebagai si penelpon.     "Hallo, Ma?" Sapa Raka.     "Hallo Raka... Raka.. Papa masuk rumah sakit, kamu sekarang kesini ya..?"     Terdengar suara di balik ponsel sangat gemeteran dan ketakutan.     "I...iiya Ma, Raka langsung kesana."     "Makasih sayang, bawa Tiffany juga."     Mendengar nama istrinya disebut, Raka langsung saja mematikan panggilan telepon secara sepihak. Cepat-cepat dia berlari kekamar, mengambil jaket hitam, kunci motor dan helm. Raka akan menaiki motor ke Rumah Sakit agar dirinya tidak terkena macet. ****     Tiffany mendengar derapan langkah kaki yang sepertinya sedang terburu-buru. Dirinya merasa curiga dan memandangi pintu kamar dengan pikiran yang bertanya-tanya. Ada apa diluar?     Cepat-cepat otaknya menepis prasangka buruk dan kembali menyelesaikan tugas kuliah yang baginya sangat menyiksa ini.     Sedang diluar, Raka dengan cepat mengendarai motor Ninja hijau miliknya dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan karena terlalu tergesa-gesa ingin cepat tiba.     Tin tin..     Hampir saja Raka ditabrak oleh mobil Sedan jika saja mobil itu tidak menyalakan klaksonnya. Dia menghela napas lega dan kembali fokus mengendarai. Lagi, ia baru sadar atas kekhilafannya. Dia tadi belum sempat bertanya dimana Papanya itu di rawat dan ruang apa. Raka segera menepikan motor dan menghubungi Mamanya.     "Hallo ma... ma, Rumah Sakitnya dimana? Ruangan apa?" Tanyanya langsung.     "Rumah Sakit Mitra Siaga, Papa udah di pindah di ruang rawat inap. Kamu nanti masuk kekamar nomor 12."     Raka mengangguk mengerti dan menutup panggilannya lagi tanpa pamit. Di setirnya motor hijau itu kembali. Untung saja di Rumah Sakit Mitra Siaga, yang jaraknya tidak jauh dari tempat Raka berhenti.     Tiba di Rumah Sakit, setelah memarkirkan motor ia  langsung saja berlari kegirangan memasuki gedung megah serba putih itu. Mencari ruangan nomor 12 dan akhirnya ketemu.     "Paa..." Pekik Raka gusar saat melihat Riyan terbaring lemah di bed Rumah Sakit.     Dia memeluk tubuh Papanya dan meneteskan air mata.     Inilah Raka yang sebenarnya. Lelaki cengeng dan manja. Raka memang sangat cengeng jika Papanya itu terluka atau sakit. Jika ia harus memilih antara Papa atau Mamanya untuk orang pertama yang menurutnya paling dia sayang, dia lebih memilih Papa. Karena Raka sangat mengagumi sosok Papa yang bekerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarganya.     Rahma berjalan mendekat dan mengelus punggung anaknya dengan kondisi dirinya yang masih terisak.     Merasa punggungnya ada yang mengelus, Raka melepas pelukan itu dan menghadap ke Rahma. "Papa kenapa Ma?"     "Jantung Papa kumat lagi."     "Tapi biasanya nggak separah ini Ma..."     "Mama nggak tahu, Dokter belum menjelaskan."     Raka memeluk Rahma yang terus terisak. Ditengah pelukan, tak sengaja Rahma melihat tangan suaminya bergerak. Wanita itu tertegun dan menatap mata suaminya yang ternyata sudah mulai bisa terbuka.     "Raka, Papa udah sadar." Katanya melepas pelukan.     Raka berbalik dan melihat Riyan yang sudah membuka mata dan mulut yang entah beliau akan berucap apa. "Pa..." Raka menghambur lagi ke pelukan Riyan.     Rahma tersenyum dan mengelus telapak tangan suaminya yang terbalut suntikan infus.     "R-a-ka.." Riyan akhirnya bisa berbicara.     Raka melepas pelukannya dan menatap Riyan dengan alis berkerut. "Raka disini Pa.." sahut Rahma.     "Papa mau minun?" Tanya Raka dan dibalas anggukan oleh Riyan.     "Minumnya mana Ma?" Raka kembali bertanya.     "Ini, gelasnya di nakas." Di serahkannya botol itu yang disambut segera oleh Raka.     "Ini Pa, minum." Raka membantu Riyan untuk minum.     "Raka, mana istri kamu?" Satu pertanyaan telah Riyan lontarkan kepada anak semata wayangnya.     Rahma mengangguk.     Raka menggaruk-garukkan tengkuknya yang tidak gatal. Dia merasa pikun disini, tadi Mamanya sudah bilang bahwa ia juga harus membawa istrinya. Tapi sekarang? Dia tidak membawanya.     "Mana Tiffany, Raka?" Tanya Rahma.     "Mmm... anu, itu.. Tiffany lagi sakit. Ma, Pa." Jawabnya bohong. Daripada disuruh balik lagi untuk menyusul Tiffany, lebih baik is berbohong. Cari aman saja.     "Kemarin Mama habis ketemu Tiffany. Tapi dia bergas kok, sehat-sehat aja."     "Kamu jangan bohong, Raka. Mana Tiffany, Papa pengin ketemu sama menantu Papa. Papa ingin menagih cucu sama kalian."     Aku nggak sudi, punya anak dengan dia. Raka menjawab dalam hati.     "Susul dia sekarang." Perintah Riyan. Nah, hal yang Raka takutkan akhirnya terjadi. Walaupun sedang sakit, tapi lelaki paruh baya itu tetap saja bisa berbicara lantang.     "I.. iya Pa." Raka berjalan keluar dari kamar rawat Riyan. Dia duduk di kursi sambil memainkan ponsel sejenak untuk mengirimkan pesan pada Tiffany.  ****     Selesai dengan tugas kuliah, Tiffany membereskan kasur queensize yang setiap hari ia tiduri sendiri dan bersiap-siap untuk tidur, menikmati alam mimpi yang baginya sangat indah.     Baru saja tubuhnya hendak ia menghempaskan di kasur, tiba-tiba ponsel berdering tanda panggilan masuk. Mulutnya berdecak sebal lantas dengan amat sangat terpaksa tangannya meraih ponsel di nakas.     "Mas Raka?" Katanya saat melihat ternyata Raka yang menelpon.     Cepat-cepat dia menjawab panggilan tersebut lantas menempelkan layar ponsel ke telinga     "Ha..ha.. hallo Mas?" Sapanya.     "Cepat kamu ke Rumah Sakit Mitra Siaga, aku tunggu didepan parkiran."     "Si.. siapa yang sakit Mas?"     "Papa masuk Rumah Sakit. Cepat."     "Iiyaa.. Mas. A....."     Sebelum Tiffany melanjutkan ucapannya, Raka sudah lebih dulu mematikan panggilan. Kepalanya menggeleng beberapa kali melihat sikap Raka yang seenaknya saja mematikan telepon, padahal belum selesai bicara.     Usai mengganti pakaian dan dandan seadanya, Tiffany keluar dari persinggahan Raka. Kini kakinya mondar-mandir di hamalan rumah, mencari supir pribadi. Namun bukan supir yang ia temukan melainkan mobil yang biasa Raka gunakan untuk bekerja atau sekedar bepergian.     "Mas Raka naik apa? Motor?" Gumamnya.     "Nona.." ucap seseorang di belakang Tiffany.     Tiffany membalikan tubuhnya  dan mendapati seorang Maid. "Ya? Kenapa?"      "Maaf Nona. Kalau Nona mencari supir, supir sedang keluar." Tutut Maid.     "Kemana?"     "Saya tidak tahu Non. Tapi tadi saya lihat dia keluar dari gerbang." Tiffany mengangguk paham dan memerintahkan Maid itu pergi.     Terpaksa Tiffany berjalan kaki menuju jalan raya, untuk menemukan kendaraan yang bisa dia tumpangi. Lama Tiffany berjalan, tapi belum sampai juga di jalan raya. kepalanya mulai menengadah ke bawah dan berjalan sambil menatap aspal jalanan.     Tiinn... tinn....     BRUKKK     BRAKKK     "AAAaa...." Tiffany jatuh terduduk diatas aspal.     Baru saja dirinya tertabrak oleh sebuah motor yang melintas. Untung saja sang penabrak mau untuk bertanggung jawab. Dengan segera, laki-laki itu membantu Tiffany berdiri sambil berkata maaf maaf dan maaf.  "Maaf Mba... saya tidak sengaja."     Tiffany masih diam. Akhirnya dia bisa berdiri. Dielusnya kepala yang terbalut rambut itu dan meringis. Sungguh, ini sakit sekali. "Tidak apa-apa kok Mas. Saya yang salah, tadi saya jalan nggak lihat-lihat." Tiffany berusaha tersenyum.     "Tapi, Mba tidak apa-apa kan? Ada yang luka?" Tanya si penabrak.     Tiffany menggeleng.     "Kalau saya boleh tahu. Mba mau kemana?"     "Saya mau ke Rumah Sakit."     "Biar saya antar Mba."     "Tidak usah repot-repot. Saya bisa naik ojek atau taksi."     "Tidak apa-apa. Saya tidak merasa di repotkan. Anggap saja ini sebagai tanda permintamaafan saya." Orang itu tersenyum.     Tiffany pasrah lalu mengangguk.     "Mari Mba. Maaf, motor saya tidak bagus." Orang itu mengarahkan Tiffany untuk mennaiki motornya.     Tiffany tersenyum dan duduk di belakang orang itu. Motor jupiter yang ditunggangi Tiffany melaju meninggalkan tempat kejadian, membelah jalanan yang sepi dan angin yang sepoi-sepoi.     "Rumah Sakit apa Mba, namanya?" Tanya orang itu.     "Rumah Sakit Mitra Siaga." Orang itu mengangguk mengerti.     Sampai di depan Rumah Sakit, Tiffany langsung memberhentikan orang itu dan segera turun dari motor. "Sampai sini saja. Makasih." Katanya.     Orang itu tersenyum dan  mengangguk. "Saya pergi dulu."     Tiffany mengangguk dan berjalan ke parkiran motor untuk mencari Raka. Namun baru beberapa detik, kini matanya langsung melihat sosok Raka yang sedang merokok, bersandar di motor. Tiffany berjalan tertatih menghampiri suaminya. Entah kenapa kakinya jadi sulit untuk berjalan, mungkin karena efek kecelakaan kecil beberapa menit lalu. "Mas." Sapanya setelah tiba di sebelah Raka.     Raka menoleh dan melihat pandangan yang dia benci. Dia membuang putung rokok dan berjalan mendahului Tiffany.     Sedang Tiffany, ia sangat mengerti sifat dan sikap Raka mulai berjalan di belakang Raka, masih dengan kaki tertatih dan tangan yang menyeka sikut kiri.     Tiffany tidak tahu, bahwa sedari tadi darah sudah bercucuran di lantai Rumah Sakit. Sikut kirinya mengeluarkan tetes demi tetes cairan merah tetapi sang empu tidak merasa dan menyadarinya.     Sedang Raka? Dia bahkan tidak tahu jika istrinya baru saja kecelakaan.     Hingga tiba di kamar nomor 12, Raka membuka pintu dan menyuruh Tiffany untuk mendahuluinya. Barulah lelaki itu melongo saat sadar ada darah menetes di sepatunya dan kembali lagi, menetes di lantai sampai akhirnya dia tahu bahwa yang mengeluarkan darah adalah Tiffany.     "Kenapa dia?" Tanya Raka dalam hati dengan bibir yang tersenyum. Entah kenapa, jika Tiffany terkena musibah pasti Raka tersenyum. Dia suka istrinya sakit. Kesakitan.     Rahma dan Riyan yang tadinya mengobrol langsung berhenti saat melihat orang yang di tunggu akhirnya datang. "Tiffany..." Seru Rahma dan bergeser memberi ruang agar menantu kesayangan bisa bersalaman dengan Riyan.     Tiffany tersenyum ramah dan hendak bersalaman dengan Rahma terlebih dahulu. Tapi... tapi Tiffany tidak jadi bersalaman, dirinya terkejut saat melihat telapak tangannya penuh darah.     "Sayang kamu kenapa? Ya ampun..." Tanya Rahma penuh khawatir. Wanita itu buru-buru mengambil beberapa lembar tisu di nakas dan mengelap darah itu.     Tiffany menggeleng. Dia baik-baik saja. Walau rasa nyeri tidak bisa ia sembunyikan.     "Raka, istri kamu kenapa?" Tanya Riyan kepada anaknya yang kini berjalan bergabung dengan mereka.     "Tidak apa-apa kok, Pa. Tadi Tiffa..."     "Tadi kita kecelakaan, Pa. Tapi kecelakaan ringan aja." Elak Raka sebelum Tiffany akhirnya mengatakan yang sebenarnya.     "Ya ampun... kamu nggak apa-apa kan, Raka?" Tanya Rahma.     Raka menggeleng. "Nggak apa-apa Ma."     "Lain kali kalau naik motor hati-hati. Jangan sampai terulang lagi." Riyan memperingati anaknya agar lebih hati-hati.     Raka tersenyum dan memgangguk.     Tiffany hanya bisa diam dan menatap lantai Rumah Sakit sambil pikirannya mencerna apa yang barusan Raka katakan.     "Yaudah, Mama minta kotak P3K dulu ke Perawat." Putus Rahma, keluar dari ruangan.     "Tiffany duduk dulu." Suruh Riyan yang langsung dilaksanakan oleh menantunya.     Raka duduk di sofa ruangan tersebut, jauh dari bed yang Riyan tiduri. Dia mengusap wajahnya dan menghela napas.     Rahma kembali lagi membawa kotak berisi peralatan medis. "Sini, Fany. Mama obati lukanya. Takut-takut kalo lukanya malah jadi infeksi." Kata Rahma tangannya meletakan kotak putih itu di tepi ranjang yang Riyan tiduri.     "Ma.. mending Raka aja yang ngobati lukanya. Mama nyuapi Papa aja, Papa lapar." Cegah Riyan.     Rahma yang hendak meraih lengan Tiffany akhirnya tidak jadi. "Papa kok jadi manja begitu?" Rahma nampak malu-malu.     Raka yang duduk di sebelah sana, melotot mendengar perkataan Papanya yang seperti sengaja.     Rahma menatap Raka dari kejauhan, "Yaudah. Raka kamu obati Tiffany yah?"     "Ck, dia bisa obati sendiri Ma..." bantah Raka.     "Raka!" Riyan mengeluarkan suara tak enaknya yang membuat Raka akhirnya mengangguk.     "Sana, kamu obati sama suamimu ya.. Mama mau nyuapi bayi besar dulu." Rahma menyerahkan kotak P3K kepada Tiffany. Tiffany mengangguk paham dan berjalan menghampiri Raka di sofa.     Di sebelah sana, Rahma dengan sabar menyuapi suaminya yang sesekali meledek membuat Rahma tersipumalu.     Sedang yang di sofa, Tiffany duduk di sebelah Raka. Lelaki itu dengan angkuhnya mengambil kotak di tangan istrinya dan membukanya. "Angkat tangannya." Perintah Raka.     Tiffany mengangkat tangan dan mengarahkan lukanya pada Raka.     Raka tidak menyangga tangan Tiffany. Dia langsung saja menempelkan obat merah pada luka Tiffany dengan gerakan kasar.     "A.. aa.. aw.." pekik Tiffany.     "Gausah manja. Diam." Tukas Raka, matanya terus fokus mengobati luka itu.     Setelah melihat wajah tenang Raka yang agak menunduk, Tiffany tersenyum. Rasa sakit, perih, semuanya sirna. "Mas..." Panggilnya.     "Hngg..." Raka hanya bergumam. "Udah. Sana." Lagi-lagi sikap dinginnya itu kembali lagi di jiwa Raka.     Tiffany mengangguk dan melihat sikutnya yang sudah di balut oleh kain putih. "Makasih Mas. Mmm.. kamu mau nginap disini?" Tanya Tiffany.     Raka mengangguk dan merebahkan tubuh di sofa.     Tiffany berjalan menuju bed untuk bergabung dengan mertuanya.     "Fany, luka kamu sudah diobati?" Tanya Riyan.     "Udah Pa, Ma.." Tiffany tersenyum.     "Sini Fany, duduk sama Mama." Perintah Rahma, tangannya menepuk kursi di sebelahnya.     Tiffany mengangguk duduk di kursi besi itu.     "Gimana? Kamu udah ngisi?"     Boro-boro ngisi, Mas Raka ajah nggak pernah nyentuh aku, Ma. Pernah dua kali, tapi waktu dia ngigau sama waktu akad nikah. Jawab Tiffany dalam hati.     "Be..belum Ma. Maaf."     "Yang sabar ya.. mungkin yang di atas belum ngasih." Rahma mengelus pundak Tiffany.     "Kamu sudah makan, Fan?" Riyan bertanya.     Tiffany mengangguk sebagai jawabannya. Walau sebenarnya ia belum makan, tadi sore dia hendak makan tapi Raka melarangnya.     "Eh, udah jam sembilan. Tiffany, kamu nggak mau pulang? Besok kamu kuliah kan?" Kata Rahma.     "Tiffany nginap aja Ma, jagain Papa."     "Nggak usah, Sayang. Kan udah ada Mama yang jagain."     "Kamu pulang aja sama Raka. Papa udah baik-baik saja kok." Celetuk Riyan.     "Sebentar, Mama bangunin Raka dulu. Dia udah molor duluan lagi.. duh..." Rahma menghampiri sofa yang ditiduri  anaknya, berniat untuk membangunkan.     "Raka..bangun..hey..." Tangannya terus mengguncang-guncang bahu raka.     Raka diam saja. Matanya terpejam menikmati tidurnya.     "Raka..."     Akhirnya bangun. "Apa sih Ma. Raka ngantuk." Gerutunya dengan suara serak.     "Kamu nggak pulang? Besok istri kamu kuliah."     "Biarin aja. Aku mau disini." Balasnya.     "Kamu gimana sih?  Sana pulang, Mama bisa jaga Papa."     "Ck, iya-iya ah!" Lantas berdiri dan memakai jaket, dia berjalan menghampiri sang Ayah. "Pa, Raka pulang ya? Cepet sembuh. Besok Raka sempatkan kesini lagi." Katanya diakhiri senyum manis lalu bersalaman dengan Riyan.     Riyan mengangguk. "Jaga istri kamu baik-baik."     Raka hanya mengangguk samar-samar.     Dan sekarang giliran Tiffany untuk berpamitan. "Pa, Fany pulang dulu ya.. besok insya Allah Fany kesini lagi." Dia tersenyum tulus.     Riyan mengangguk. Mereka akhirnya keluar dari ruangan rawat dan berjalan menuju parkiran. Tiffany membuntuti Raka dari belakang, hingga akhirnya mereka sampai di area parkiran.     Raka berhenti dan berbalik badan. "Ngapain ngikutin?"     "Katanya mau pulang?" Sahut Tiffany dengan polosnya.     "Satu motor sama aku? Pegangan pinggang aku? Sandaran di bahu aku? Nggak bakalan sudi!!! Sana, kamu naik taksi atau ojek!"     Raka mengeluarkan dompet dan melayangkan beberapa lembar uang berwarna merah di hadapan Tiffany. "Buat naik taksi." Lalu dia pergi.     Tiffany menatap uang itu dan akhirnya memunguti. "Sabarkanlah hamba, Tuhan..." Tiffany mengelus d**a seraya berjalan keluar dari area parkir.     Sekarang Tiffany tengah menunggu taksi di halte Rumah Sakit.     Tinn... tin...     Suara klakson motor membuat Tiffany terlonjak dan menyingkir dua langkah.     "Hati-hati Mas..." Teriak Tiffany saat menyadari bahwa barusan adalah Raka.     Raka tak menyahut.     Setibanya dirumah, senyumnya terukir lebar saat di lihatnya motor Raka sudah terpampang jelas di sebelah sana. Setidaknya Tiffany bisa bernapas lega karena Raka pulang dengan selamat.     Tiffany masuk ke dalam kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya, karena besok akan beraktivitas kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD