Kedua mata Tiffany mengerjap saat sinar matahari mulai memasuki sela-sela jendela kamar. Karena merasa terganggu, dia beranjak bangun dan langsung masuk kekamar mandi dengan setengah sadar.
Keluar dari kamar mandi, dia mengusap-usap rambut panjangnya menggunakan handuk kecil sambil berjalan mengarah ke cermin. Tiffany merias wajahnya disana.
Setelah merasa sudah cukup rapi, dia keluar dari kamar dan menuju dapur untuk membuatkan sarapan pagi untuk suaminya, Raka. Sebenarnya dirumah ada beberapa pembantu, tetapi Tiffany lebih suka membuatkan sesuatu untuk Raka dengan kerja kerasnya sendiri tanpa bercampur tangan orang lain. Kata Ibunya, kewajiban seorang istri itu, yang paling utama membuatkan makanan sehari-hari untuk suami dan patuh kepada suami, dia menjalani semua kewajiban itu dengan senang hati.
Hal pertama yang dilakukan Tiffany setelah tiba didapur adalah mengoleskan selai coklat kedalam roti dan setelah itu dia membuatkan s**u untuk Raka. Tiffany tahu, Raka memang tidak suka dengan makanan yang berat-berar seperti nasi goreng atau sejenisnya, suaminya itu lebih memilih roti dan s**u, jika pagi hari.
Selesai membuatkan sarapan, Tiffany berjalan menaiki anak tangga menuju kamar Raka untuk membangunkannya, itu memang aktifitas sehari-harinya dirumah ini.
"Mas... bangun...." Ujarnya lembut, seraya tangannya mengetuk pintu kamar Raka tapi tidak ada sahutan dari dalam. Ia mencoba membuka pintu dengan mendorong kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. Dia melihat suaminya masih tertidur pulas.
Semalam memang Raka pulang pukul 1 malam dalam keadaan mabuk, memang selalu seperti itu jika dia pulang malam. Mabuk mabuk dan mabuk, kadang juga dia membawa seorang p*****r ke rumah dan mengajaknya ke kamarnya. Melihat kelakuan Raka, Tiffany hanya bisa menghela napas saja agar tetap sabar.
Terkadang Tiffany bingung, kenapa Raka selalu menyewa seorang p*****r untuk memuaskan nafsunya, sedangkan dia sudah mempunyai istri yaitu Tiffany, dia hanya dianggurkan saja tanpa disentuh dan dimanfaatkan olehnya. Membingungkan bukan?
Tiffany berjalan mendekat ke kasur king size yang Raka tiduri. Dia mendengar napas Raka yang masih teratur, jadi tidak enak untuk membangunkannya.
Dengan nekat yang kuat, Tiffany mencoba menggoyangkan tubuh kekarnya dan sesekali memanggil nama Raka. "Mas... mas.. Raka... bangun.."
Raka mendesah merasa terganggu dengan perlakuan itu. Segera, Tiffany turun dari kasur sebelum Raka membuka mata dan melihatnya naik ke kasur tanpa izin. Rama membuka matanya dan menatap Tiffany tajam.
"Ngapain? Keluar!!!" tukas Raka, membuat Tiffany terlonjak dan segera keluar dari kamar.
Berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan lagi, menunggu Raka selesai mandi dan sarapan bersama. Biasanya Raka langsung berangkat tanpa sarapan terlebih dahulu, tetapi entahlah hari ini. Tiffay berharap suaminya itu mau sarapan bersama pagi ini.
Terdengar derap langkah kaki yang semakin kesini semakin terdengar, hingga tampaklah seorang Raka. Dia sudah rapi menggunakan kemeja berwarna biru dan leher yang di gulung dengan sebuah dasi.
Raka duduk disebelah Tiffany, tangannya mengambil roti yang sudah sediakan untuknya lalu memakannya dengan lahap.
Dia menoleh kearah Tiffany. "Kenapa masih disini?" Tanyanya bingung.
Tiffany pun bingung. "Makan." Jawabnya polos.
"Sejak kapan aku mengizinkanmu untuk makan bersamaku?"
"Aku berangkat." Pamit Raka setelah menghabiskan sarapan.
Tiffany hanya mengangguk, memandang tubuh Raka yang sudah mulai menjauh.Lantas matanya tertuju pada piring bekas Raka, segera dia membereskan piring kotornya dan meletakkan di wastafel untuk dicuci nanti oleh Maid. Setelah itu dia keluar dari rumah dan menuju mobil untuk berangkat ke kampus.
Tiffany memang masih menjadi mahasiswi disalah satu Universitas Jakarta dan semua itu dibiayai oleh Raka.
Dia juga tidak menyetir sendiri, karena Raka melarangnya dan akhirnya selama dia ke kampus selalu diantar jemput oleh Pak Budi, supir pribadi.
Sampai di kampus, Pak Budi memberhentikan mobil di depan kampus. Saat Tiffany keluar, dia langsung disambut oleh Ofi dan Eva. Mereka berdua adalah sahabatnya.
"Pagi.. Tiffa..." seru Ofi dan Eva saat menghampiri Tiffany.
Tiffany tersenyum, "Pagi.."
"Tiff, tumben lo lesu banget. Berantem lagi yah sama suami lo?" tanya Eva yang sepertinya bingung.
"Kalo berantem sama suami, nggak ada ujungnya Va.." Tiffany menjawab seadanya.
"Terus, kenapa muka cantik lo ditekuk gitu? Di kira bagus apa? Jekek banget Tiff, sumpah." sahut Ofi dan dibalas tawaan oleh Tiffany dan Eva.
"Nah, gitu dong. Ketawa." kata Eva selesai tertawa.
Mereka bertiga masuk kedalam kampus, menuju kantin terlebih dahulu sebelum masuk kelas. Itu rutinitas mereka.
Tetapi hari ini sepertinya Tiffany tidak akan memesan apa-apa. Dia hanya memandangi Ofi dan Eva yang sedang sarapan.
Ofi memberhentikan aktivitas makannya. "Mau?" tawarnya sambil mengangkat Spagetti yang dipesan. Tiffany menggeleng dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Hai.." Tendengar suara berat laki-laki.
Kepala Tiffany menoleh dan di sampingnya ternyata sudah ada Pak Dika, dosennya yang katanya ganteng dan muda.
Ofi dan Eva ikut menoleh."Eh, Pak Dika. Beli apa pak?" Tanya Ofi sangat basa-basi.
Dika tersenyum dan memperlihatkan minuman yang dia genggam, "Beli minum," pandangannya mengalih ke arah Tiffany yang sejak tadi menundukan kepala. "Kamu kenapa, Tiffany?"
Mendengar namanya disebut, Tiffany lantas mendongakkan kepala, menatap Dika yang sedang memandang dirinya penuh khawatir, "Nggak apa-apa Pak." Jawabnya dan berusaha tersenyum walau kikuk.
Dosen ganteng itu menghela napas. "Kenapa pucet begitu?"
"Nggak apa-apa kok." Tiffany berusaha mengelak.
Dia mendengar Dika menghela napasnya lalu berkata, "Ya sudah, saya pergi dulu. Tiffany, kamu pagi ini ada bimbingan dengan saya kan?" Tiffany mengangguk dan Dika pun tersenyum lalu pergi.
"Ciee.. yang dapat perhatian dari dosen ganteng... ciecie.." Suara Ofi yang melengking, memenuhi gendang telinga Tiffany.
"Mending dong, dapet dua langsung." Celetuk Eva.
"Apaan sih?!" Tukas Tiffany. "Yaudah, aku masuk dulu yah. Ada bimbingan pagi." lanjutnya dan dibalas anggukan setuju oleh dua sahabatku.
****
Raka mengacak rambutnya frustasi saat mendengar kabar dari sekertarisnya, bahwa perusahaan Orlon membantah berkerja sama dengan perusahaan miliknya. Padahal perusahaan Orlon mempunyai bibit besar untuk perusahaannya.
"s**t!" Umpat Raka dan menghempaskan bokongnya kekursi kerja.
Tangan kanan Raka meraih ponsel yang diletakkan di meja kerja, sejenak dia memainkan benda itu lalu menempelkan di telinga.
"Siapkan wanita untukku, sekarang juga." Ucapnya kepada seseorang diseberang sana.
Setelah menutup telepon, Raka bergegas keluar dari ruang kerja dan masuk ke lift.
Ia mengendarai mobilnya menuju hotel, karena pelacurnya pasti sudah menunggu disana. selalu seperti itu, jika pikirannya sedang frustasi. Dia tidak lebih memilih menyelesaikan masalahnya tetapi dia malah berbuat sebaliknya.
Setibanya di hotel, Raka berjalan menuju kamar yang sudah diberi tahu oleh sahabatnya yang menjadi tangan kanannya selama ini. Tak menunggu waktu lama, Raka sudah sampai diambang pintu kamar hotel. Dia membuka pintu tak sabar, setelah membuka pintu, dilihatnya seorang wanita cantik memakai pakaian yang tak layak dipakai, memperlihatkan tubuhnya di depan Raka. Raka berjalan menghampiri p*****r itu dengan senyum yang mengembang.
Mereka memulainya dari nol sampai tuntas.
"Gimana?" Tanya si p*****r.
Raka menoleh. "Makasih." Jawabnya lalu bangun dan mulai memungut pakaian yang tadi sempat dibuangnya dibuang ke sembarang tempat.
"Kamu minta saja uang ke Roy. Berapapun yang kamu mau." Ucap Raka lagi, seraya mengancing kemeja dan bergegas pergi tanpa memperdulikan wanita itu.
Dering ponsel membuat Raka berhenti disela-sela perjalanannya keluar dari hotel. Tangannya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel.
"Hallo.." sapanya kepada seseorang yang menelpon.
"...."
"Baik, saya segera kesana."
****
Kepala Tiffany terasa berat. Tangannya sibuk mengemas buku-buku dan sesekali dia meringis kesakitan.
Para mahasiswa lainnya juga sedang berkemas-kemas, Dosen masih di kelas.
"Tiff, lo kenapa?" Tanya Lala, teman Tiffany yang duduk bersebelahan. Tiffany menggeleng sambil memijit kepala.
"Mana mungkin gue percaya sama lo!" Lala mengangkat tangannya lalu berkata, "Pak, Tiffany sakit." Teriak Lala.
Dosen mendongakkan kepala. Dia melihat Tiffany sedang mengerang kesakitan sambil memijit pelipisnya.
Dika berjalan menghampiri Tiffany. "Tiffany, kamu kenapa?" Tanyanya penuh khawatir dan di balas gelengan saja oleh Tiffany.
Selang beberapa detik, Tiffany pingsan tak berdaya dan untung saja Dika dengan sigap menangkap tubuh mungil Tiffany. Tak perlu panjang lebar, Dika langsung membawa Tiffany ke rumah sakit terdekat.
Beberapa menit Tiffany diperiksa, akhirnya selesai.
"Gimana keadaannya dok?" Tanya Dika setelah melihat Dokter yang memeriksa Tiffany berjalan kearahnya.
"Tidak apa-apa, pasien hanya kurang istirahat dan pola makan yang kurang teratur." Jelas Dokter.
Tiffany mengerjapkan kedua matanya. Diam-diam dia mencoba mencerna perkataan Dokter.
"Ehmm..." Tiffany mencoba berdehem.
Sontak, mendengar deheman itu, kepala Dika langsung tertuju pada bed yang di tiduri oleh Tiffany, "Kamu sudah sadar?" Tanyanya seraya berjalan menghampiri Tiffany yang masih berbaring di bed.
Dokter itu mengikuti langkah Dika, "Sebaiknya Nona lebih banyak istirahat dan makan yang cukup." Katanya.
Tiffany mengangguk menanggapi perkataan Dokter.
"Saya tinggal dulu, jangan lupa untuk mengambil obat di apoteker." Ujar Dokter lalu keluar dari ruangan itu.
"Makasih." Ucap Tiffany lemah yang dibalas senyuman oleh Dika.
"Tidak perlu."
"Pak, saya harus pulang. Ini sudah jam dua." Katanya selesai melihat arlojinya dipergelangan tangan.
Dika terkejut. "Kamu harus dirawat."
"Tidak perlu. Keadaan saya sudah membaik, mungkin dengan mengonsumsi obat yang diberi dokter bisa membantuku untuk cepat sembuh."
Dika mendesah merasa tak setuju dengan ucapan Tiffany, namun apa daya. Dia hanya Dosennya, bukan siapa-siapanya Tiffany, jadi dia tak wajib mencegah apa mau Tiffany, "Baiklah. Saya akan menebus obatnya dulu. Kamu tunggu disini."
Dibalas anggukkan kepala oleh Tiffany.
Dika berjalan gontai menuju apoteker didalam Rumah Sakit itu. Dia terduduk di kursi tunggu, karena antrean memang cukup banyak hari ini.
Mendengar nama Tiffany disebut oleh petugas apoteker, Dika mendongakkan kepalanya dan berdiri, berjalan menuju apoteker untuk menebus obat Tiffany.
Selesai itu dika kembali lagi ke ruang rawat Tiffant dengan membawa plastic kecil yang berisi obat-obatan untuk mahasiswi yang di cintainya, Tiffany.
"Makasih. Maaf Pak, saya merepotkan Bapak." Ucap Tiffany saat Dika menyerahkan obat yang tadi di tebus.
Dika mengangguk dan membantu Tiffany untuk turun dari bed dan berjalan.
****
Sampai di rumah, Tiffany membayar supir taksi. Dia berjalan tertatih-tatih, masuk kedalam rumah. Kepalanya masih terasa nyeri dan entah kenapa kakinya juga lemas untuk di gerakkan.
"Darimana saja kamu?" Tanya Raka yang tiba-tiba sudah ada di sofa depan televisi.
Tiffany memberhentikan jalannya dan menoleh.
"Mas, aku.. aku sakit." Jawabnya kaku karena dia tahu bahwa Raka tidak akan percaya.
"Istri macam apa kamu, hah? Jam lima baru pulang!" Geram Raka dan beranjak mendekat ke Tiffany.
"Aku sakit, Mas. Tadi di kampus aku pingsan dan di bawa ke rumah sakit sama Dosenku."
"Kamu mau mengelak lagi?" Raka hendak menampar istrinya tapi niatnya dia urungkan, karena tak tega.
"s**t!" umpatnya lalu berjalan meninggalkan istriya.
Tiffany terisak sambil berjalan lirih menuju kamar. Dia melempar tas dan plastik yang berisi obat dan menghempaskan tubuhnya di kasur.
Kesabarannya mulai hilang. Padahal dia sudah berjanji kepada mertuanya, kalau dia akan berusaha sabar menjalani hidup dengan Raka yang sifatnya angkuh itu.
Tiffany menepuk-nepuk kasurnya jengkel sambil terisak, "Kenapa.. kenapa ya Tuhan.." rintinya mengadu kepada Tuhan.
****
Raka sangat benci dengan sikap Tiffany yang selalu membantahnya. Raka sangat benci dengan Tiffany!
Kenapa?
Karena Tiffany, dia kehilangan masa depannya, karena Tiffany, Raka menjadi kehilangan Lauranya.
"Mama sudah punya jodoh untuk kamu, Raka." Ucap Rahma—Ibu Raka, memotong perkataan Raka saat memperkenalkan kekasihnya.
"Aku nggak mau sama Tiffany Ma, aku sudah punya calon sendiri dan dia lebih sempurna dari Tiffany!" Raka terus meyakinkan Rahma dan Riyan -Papa Raka- tetapi mereka malah menatap kekasih Raka dengan sengit.
"Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia yang sempurna hanya ada di novel saja!" Riyan menggeram.
Raka mendesah tak kuat dengan keegoisan kedua Orangtuanya. "Terserah!" Ucapnya lalu pergi bersama Laura, meninggalkan Rahma dan Riyan.
"Sayang.. aku nggak kuat sama cacian Orangtua kamu. Aku nggak kuat..." Laura terisak dalam pelukan Raka. Raka mencoba menenangkan Laura yang bertambah terisak.
" Aku sayang sama kamu..." Laura mengutarakan isi hatinya kepada Raka ditengah-tengah isakannya. Raka mengelus punggung Laura dengan lembut.
Paginya setelah Raka memperkenalkan Laura kepada Kedua Orangtuanya, Raka mendapat kabar dari Kakak kandung Laura bahwa Laura bunuh diri. Raka tercengang mendengar berita itu.
Bagi Raka, Tiffany layak untuk di perbudak. karena dia sudah membuat kekasihnya menderita. Raka sudah berjanji, tidak akan memaafkan Tiffany sampai kapan pun dan sampai maut menjemputnya.
Menancap gas mobil, Raka kembali melajukan mobilnya menuju rumah Orangtuanya. Dia muak jika sudah bertemu dengan wajah istrinya.
"Ma..." Seru Raka setelah sampai di rumah, tetapi tidak ada siapapun.
Raka melihat seorang Maid berjalan terpogoh-pogoh ke arahnya, dia menunduk, "Maaf Tuan, nyonya besar sedang pergi berkunjung ke rumah Tuan." Katanya.
Apa? Mama kerumahku? Ada apa? Apa Tiffany mengadu? Pikir Raka.
"Baiklah," ucap Raka dan Maid itu pergi.
Baiklah, Raka akan mengikuti cara main Tiffany. Terserah wanita itu. Sekarang iabutuh istirahat untuk menenangkan emosinya. Niatnya, dia akan menginap dirumah Mamanya semalaman.
Dua jam tertidur, tiba-tiba seseorang berteriak memanggil namanya.
"Raka... bangun... Raka..." Raka mendengar teriakan seorang wanita sambil menggoyang goyangkan tubuhnya.
"Raka.." teriakan itu lagi, tetapi tanpa menggoyangkan tubuh.
Merasa risih, Raka membuka mata, dilihatnya ternyata Rahma yang membangunkan."Apa sih Ma.." ucapnya serak karena masih dalam mimpi.
"Bangun. Istri kamu itu lagi sakit, harusnya kamu jagain dong." Beliau memarahi. Raka beranjak dan berdiri dihadapan Rahma.
"Dia mengadu ke Mama lagi?" tanya Raka.
"Tiffany tidak mengadu. Mama tadi habis dari rumah kamu karena Mama kangen sama Tiffany!" Jawab Rahma.
Raka mengacak rambunya frustasi dan keluar dari kamar. Tiba-tiba tangannya merasa ada yang mencekal, lantas Raka membalikkan tubuh. "Apa lagi sih Ma...?"
"Mau kemana?"
"Makan!"
Rahma menampar pipi kanan anak semata wayangnya. Raka meringis kesakitan, tega-teganya seorang Ibu menampar anaknya tanpa sebab. Apa hati beliau sudah buta karena Tiffany? Pikir Raka.
"Apa-apaan sih Ma!" Raka membentak.
Rahma menatap Raka. "Harusnya kamu yang apa-apaan! Istri lagi sakit, bukannya jagain malah ngilang ke rumah Mama. Sana pulang. Jaga istri kamu."
Raka mengangguk malas. Mengucapkan sumpah serapah terhadap Tiffany yang selalu mengadu ke Rahma jika Raka sudah memarahinya.
"Sial!" Umpatnya di tengah-tengah perjalanan menuju rumah.
Sampai dirumah Raka berjalan masuk dengan malas. Dia menaiki anak tangga menuju kamar untuk melanjutkan tidur hingga esok karena ini sudah pukuk tujuh malam.
Saat tangannya hendak membuka pintu kamar, Raka medengar suara erangan di dalam kamar Tiffany. Raka tersenyum gembira jika wanita itu kesakitan. Raka tidak akan menolongnya, untuk apa dia menolongnya?
****
Rasanya Raka tidak bisa tidur, suara Tiffany sangat mengganggu. Akhirnya Raka beranjak keluar dari kamar dan berjalan menuju kamar Tiffany.Seharusnya Raka tidak perlu melakukan hal itu, tetapi demi tidur malamnya nyenyak, Raka terpaksa melakukan itu.
Dia mencoba mengetuk pintu kamar Tiffany. Tetapi tak ada jawaban, hanya ada teriakan kecil dari dalam kamar. Di pegangnya gagang pintu dan ternyata tidak dikunci, baguslah.
Matanya melihat Tiffany sedang duduk kepala yang di sandarkan ke kepala ranjang, tangannya memegangi perut.
"Kamu bisa diam nggak?!" Tukas Raka, dingin dan Tiffany balas menatap.
"Sakit." Tiffany berucap lirih.
Raka tidak peduli, Tiffany mati pun Raka tidak akan peduli denganmu Tiffany!
"Kalau sakit, kamu obati. Jangan hanya menangis dan berteriak! Kamu pikir aku mau membantumu?" Dia terdiam tapi masih meneteskan air mata.
"Maid..." Raka berteriak memanggil Maid.
Di rumah Rakamemang di penuhipembantu atau biasa dipanggilMaid. Mungkin ada sepuluhMaid di rumahnya.Alasan dia memiliki banyak Maid karena diasuka keramaian. Ia tak ingin rumahnya sepi penghuni. Lagi, dirinya jarangsekali pulang.
Seorang wanita berjalan masuk kekamar Tiffany. "Ada apa Tuan?" Tanyanya menunduk.
"Obati dia. Kasih apa yang dia mau dan sumpel lumutnya jika berteriak terus." Ucap Raka, tangannya menunjuk ke arah Tiffany, lalu keluar dari kamar.
****
Tiffany bangun dari tidurnya, tubuhnya sudah mulai merasa sehat dan perut pun juga sudah tidak sakit lagi seperti semalam. Ia berjalan memasuki kamar mandi untuk mandi.
Setelah itu, dia keluar dari kamar menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk suaminya.
"Nona, biar saya saja yang membuat sarapan untuk Nona dan Tuan." Ucap seorang Maid.
Tiffany yang sedang fokus membuat s**u menoleh ke arah Maid."Tidak perlu. Ini hanya membuatkan s**u dan mengoleskan selai di roti saja. Itu hal gampang."
Maid itu menghela napas dan berjalan menghidar dari Tiffany yang keras kepala.
"Mas... bangun... Mas..." Tiffany berteriak di depan pintu kamar Raka sambil mengetuk pintu kamar.
"Mas..." Teriaknya lagi dan Raka membuka pintu, terlihat dia masih sangat kantuk.
"Kamu itu! Sana pergi!" Bentak Raka dan menutup kembali pintu kamarnya.
Tiffany terkekeh dan berjalan menuju meja makan lagi, berharap suaminya mau makan bersamanya seperti tempo hari.
Sudah bermenit-menit Tiffany duduk manis menunggu Raka tetapi tak kunjung mendengar suara hentakkan sepatunya.Tiffany mendesah kesal dan akhirnya dia memakan sarapannya sendiri lalu memakan obat agar penyakitnya tak kambuh mendadak di kampus nanti.
Selesai sarapan, Tiffany berjalan keluar rumah. Dia menemui seorang Maid dan bertanya kepada Maid, "Apa Tuan belum keluar dari kamar?"
"Sudah. Tuan sudah keluar dan langsung berangkat ke kantor, Nona."
Hati Tiffany terasa sakit dan sesak. Sedari tadi dia menunggu kehadiran suaminya di meja makan dan ternyata suaminya sudah berangkat ke kantor. "Baiklah"akhirnya dan keluar dari rumah menuju mobil.
Sampai dikampus, seperti biasa suasananya. Tiffany akan di sambut Ofi dan Eva.
"Hello.. cantik.." Sapa Ofi, tangannya merangkul bahu Tiffany. Tiffany tersenyum melihat tingkah sahabatnya.
"Kemarin lo pingsan ya Tiff?" Tanya Eva dan di balas anggukan oleh Tiffany.
"Terus?" Ucap Eva dan Ofi bersamaan.
"Gak apa-apa. Aku udah sehat."