Hari ini waktu sudah hampir habis. Deema baru saja mengistirahatkan dirinya karena kelelahan sejak pagi terus bekerja tanpa henti, karena pesanan mereka setiap jamnya menumpuk.
Deema lelah, tapi hatinya bahagia. Ia memiliki secercah harapan untuk bisa menghasilkan uang karena bekerja di sini. Ia dengan senang hati, menikmati lelah ini di setiap saatnya. Lagi pun, ia bekerja di sini tanpa paksaan, dan ia menjadikan pekerjaannya ini sebagai hobinya.
Baru bekerja satu hari di sini, Deema sudah bisa merasakan capeknya orang bekerja bagaimana. Mungkin ini yang orang tuanya rasakan karena setiap hari ribut karena masalah uang.
"Deem, pulang ke arah mana?" Tanya Riki yang sedang memakai helmnya.
"Eh, Mas. Saya pulang ke jalan batu," kata Deema menjawab.
Saat ini, ia sedang mengistirahatkan dirinya sejenak, di lantai satu. Dan beberapa menit kemudian ia akan pulang dengan menaiki angkutan umum.
Kaila memberi dirinya uang makan sebesar 50 ribu setiap harinya. Gajinya akan diberikan setiap satu Minggu sekali sebesar 600 ribu rupiah. Membayangkan uang sebanyak itu mengisi dompetnya, membuat Deema sangatlah senang. Semoga saja uangnya itu cepat terkumpul dan Deema bisa membayar uang sekolah, walaupun hanya separuhnya.
"Ayo bareng aku, Deem ...."
"Ha? Ayo, Mas. Tapi kamu gak keberatankan?" Tanya Deema. Setidaknya uang makan pemberian Kaila akan aman di dalam dompetnya.
"Enggak. Kita satu arah."
"Sebentar, Mas. Saya ambil tas dulu," kata Deema sambil berjalan kearah kasir mengambil tas kecilnya.
"Ayo." Mereka pun berjalan keluar toko dengan Riki yang berjalan terlebih dahulu.
"Deema, pulang dengan saya."
Suara Aiden yang berasal dari lantai dua, menghentikan kedua langkah orang yang tengah keluar dari toko itu.
"H--hah?" Mengapa Deema selalu saja seperti orang gagap ketika mendapat ucapan yang mengejutkan dirinya.
"Tadi siang kamu janji pulang sama siapa?" Tanya Aiden masih dengan tatapan datarnya.
Riki yang tidak mau mencari masalah ia pun lebih baik mengalah. Karena tujuannya tidak ingin mencari keributan, hanya ingin berbuat baik mengantar Deema. Lagi pun ia pikir ini sudah malam hari. "Yasudah, kamu pulang sama adiknya Mbak Kaila aja. Aku duluan."
"Eh, Mas Riki, hati-hati ya. Maaf, Mas ... Hehehe ...."
Riki tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku duluan ya. Mari, Mas," kata Riki yang menyapa Aiden juga.
Aiden hanya mengangguk dan Deema melambaikan tangannya.
"Ekhem!"
Deema terkejut mendengar suara batuk yang Aiden buat. Ia pun melirik kearah Aiden yang air mukanya sudah berubah. "Dih, Bapak kenapa? Keselek kompor?" Tanya Deema sambil mengangkat alisnya.
"Hm ..." Aiden pun berdehem dan meninggalkan Deema seorang diri di dalam toko.
"Eh ... Eh kok saya di tinggal, Pak? Bapak gak jelas banget sih," kesal Deema sambil menghentakkan kakinya.
Kepala Aiden pun muncul di pintu. "Mau keluar atau saya kunci?"
"Yauda, kunci aja," kata Deema sambil melipat tangannya.
"Yauda," balas Aiden yang menutup pintu toko.
"Eh ... Eh ... Pak! Bapak!" Kesal Deema sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Aiden pun membukakan kembali pintu toko. "Cepet keluar Deema ..." Ucap Aiden dengan nada sabarnya.
Deema pun keluar dari toko. Kaila sudah pulang sejak satu jam yang lalu karena ada seminar yang harus ia hadiri malam ini. Kaila menitipkan tokonya kepada Aiden untuk menutup tokonya dan memegang kuncinya.
"Kamu tunggu sini, saya ambil mobil dulu." Tanpa melihat kearah Deema, Aiden pun pergi ke samping bangunan ini.
Deema merasa, saat ini suasana mereka sudah seperti sepasang kekasih yang tengah bertengkar. Nada bicara Aiden pun lebih dingin dari biasanya.
Deema mengiyakan ajakan Riki karena Deema kira tidak ada lagi orang selain dirinya dan Riki. Ternyata, Aiden ada di lantai dua. Padahal, sore tadi, ia melihat Aiden keluar dari toko dan pergi. Mungkin Aiden kembali lagi karena Kaila yang menyuruh, Deema tidak ingin berpikiran lebih.
Klakson mobil Aiden pun berbunyi, Deema berjalan dan membuka pintu mobil, lalu duduk di sebelah Aiden. Tanpa basa-basi, Aiden pun mulai melajukan mobilnya.
Deema melirik-lirik kearah Aiden diam-diam. Tidak biasanya Aiden diam terus seperti ini. Apa Deema berbuat salah? Tapi ... Ia merasa tidak membuat salah sama sekali dengan Aiden.
"Pak?" Panggil Deema karena ia merasa sangat tidak enak hati ketika melihat Aiden yang diam sedari tadi.
Aiden tidak menjawab panggilan Deema. Deema rasa, pasti ini ada yang tidak beres.
"Pak Aiden?" Panggil Deema satu kali lagi sambil melihat kearah wajah Aiden.
Aiden hanya melirik Deema sekilas. Deema yang tidak mengerti pun mengerutkan keningnya. "Pak Aiden kenapa sih? Kok gitu banget sama saya. Kalau gak mau nganterin yauda turunin aja," kata Deema yang dirinya pun sedikit kesal.
Aiden masih belum menjawab semua perkataannya. "Pak, Pak Aiden ...."
"Saya bukan Bapak kamu," katanya dengan singkat.
"Terus? Bapakkan guru saya."
"Hmm ...."
"Pak, nyebelin banget sih kaya cewek lagi PMS tau gak," kesal Deema karena baru tahu sisi lain dari sikap Aiden yang sangat aneh ini.
"Pak ...."
"Saya dengan laki-laki tadi lebih tuaan laki-laki tadi. Saya bukan Bapak-bapak."
Nada bicara Aiden sudah seperti seorang pacar laki-laki yang marah dengan pacar perempuannya. Ada rasa gemas di dalam diri Deema karena mendengar Aiden berbicara seperti itu.
Deema menahan tawanya. Untung saja Deema adalah orang yang sangat peka sejagat raya. Aiden ternyata tidak suka ketika dirinya memanggil 'bapak'
"Jadi, saya harus manggil anda siapa?" Tanya Deema yang masih ingin bercanda dengan Aiden.
"Gak perlu pake bahasa formal. Kita bukan pesaing bisnis."
Kita? Deema melipat bibirnya untuk menahan tawanya yang ingin menyembur. Aiden laki-laki datar itu ternyata tidak bisa berbicara yang benar jika di depan wanita.
"Iya, Mas Aiden," kata Deema sambil mengubah posisinya untuk melihat kearah Aiden.
Deema bisa melihat jika ekspresi wajah Aiden perlahan berbeda. "Hahahaha ... Geli banget ya, Pak?" Kata Deema tertawa.
Mendengar itu, Aiden kembali mengubah mode wajahnya menjadi datar. "Hm ...."
Deema mengusap wajahnya. Bingung menghadapi laki-laki seperti ini. Lagi pun dirinya bukan siapa-siapa Aiden, tapi mengapa dirinya yang harus pusing di sini.
"Bapak marah lagi?" Tanya Deema.
"Bapak mau apa?" Tanya Deema lagi.
"Entah."
"Huft ..." Aiden memang benar-benar seperti anak kecil.
"Yauda, kalau Bapak masih marah, saya turun aj--"
"Panggil panggilan lain kalau di luar sekolah, dan jangan pakai bahasa formal jika dengan saya. Umur kita gak terpaut terlalu jauh."
Belum sempat Deema menyelesaikan ucapannya, Aiden dengan cepat menyerobot berbicara.
Sudah Deema duga, arah pembicaraan mereka kearah sini. "Jadi, kamu mau aku panggil apa?" Kata Deema dengan nada lembutnya.
"Mas."
"Hah? Serius, Pak? Eh ... Em ...."
"Mas? Kakak aja deh, aku malu manggil kamu kalau kaya gitu," ucap Deema yang ingin mengutuk dirinya sendiri karena ini bukan dirinya yang dulu. Mengapa dirinya sangat cepat berubah sekali jika di dekat Aiden? Tidak ada amarah atau bentakan yang ia keluarkan dari dalam mulutnya ketika dekat dengan Aiden.
"Laki-laki tadi, kamu panggil Mas. Yauda kalau kamu ga--"
"Iya-iya, Mas Aiden." Deema sedikit meringis karena telah mengeluarkan kata-kata yang sangat geli itu di mulutnya.
"Nah, kalau ginikan jadi lebih santai."
"Kamu mau bawa makanan apa pulang ke rumah?"
"Hah? Aku mau langsung pulang aja. Udah malam juga."
"Pulang kerja itu, harus bawa makanan buat keluarga," kata Aiden. Deema bisa melihat jika Aiden menepikan mobilnya di tempat parkir, di sepanjang jalan ini banyak sekali makanan kaki lima.
"Kamu mau ikut atau di sini?" Tanya Aiden.
"Aku di sini aja," jawab Deema.
Aiden mengangguk dan turun dari mobil untuk membeli sesuatu yang bisa Deema bawa pulang.
Deema sudah melihat Aiden pergi ke sebuah gerobak penjual sate ayam. Ia pun melepas beban yang ada di pundaknya dan bersandar dengan nyaman. Ia menatap lurus kearah Aiden sambil tersenyum.
"Anjir, gak nyangka banget Gue harus ngomong kaya gitu sama laki-laki lain. Hahaha ..." Kata Deema sambil tertawa.
"Tapi, kenapa Gue seneng ya deket dia? Pak Aiden ... Gemes banget, walau emang sikapnya kaya anak kecil." Deema tidak habis berhenti berbicara sambil melihat kearah Aiden yang sekarang tengah duduk menunggu pesanannya sambil memainkan ponsel.
"Makasih ya, Pak. Berkat kamu, hidup saya perlahan membaik. Walau baru beberapa hari kita bertemu."
Deema merasakan kantuk dan rasa capek di dalam dirinya. Ia pun menutup matanya mencoba untuk tertidur, sambil menunggu Aiden menyelesaikan pesanannya.
"Mau, ada la--" Aiden datang dan melihat Deema tertidur dengan dengkuran halus.
Aiden melihat pakaian Deema yang hanya memakai baju lengan pendek itu. Ia pun membuka jaket yang ia pakai, dan ia berikan kepada Deema untuk menyelimuti tubuh anak muridnya itu.
Sebentar, Aiden melihat tidur Deema yang sangat damai. Hendak membeli makanan lain, Aiden lebih memilih masuk kedalam mobil dan menyimpan makanan yang sudah ia beli tadi di jok belakang mobil. Lebih baik ia dengan cepat mengantarkan Deema pulang agar Deema bisa cepat-cepat beristirahat.
Setelah bertemu Deema beberapa hari yang lalu, Aiden merasakan perubahan drastis yang ada di dalam hidupnya. Ia merasa tidak lagi kesepian, ia merasa sedikit terhibur jika di dekat Deema. Dan satu lagi, anehnya Aiden ingin sekali melindungi Deema.
Kembali Aiden melihat Deema yang tengah menutup matanya. Ada satu perasaan aneh yang muncul di dalam dirinya. Ia menggelengkan kepalanya, membuang hal-hal yang tidak mungkin yang ada di pikirannya.
Tidak mungkin jika ia menyukai Deema, karena mereka baru saja bertemu. Mengingat masa lalunya, Aiden butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa mencintai pacarnya dulu, dan Aiden memutuskan untuk berpisah karena perempuan yang Aiden pacari selalu saja menuntut dirinya, dan mengatur dirinya. Aiden yang merasa dirinya laki-laki, tidak suka seperti itu, ia hanya ingin mencari perempuan yang menurut kepadanya, dan juga memahami keadaan dirinya. Bukan menuntut untuk menjadi seseorang yang sempurna.
"Deema ... Sudah sampai ...."
"Deema?" Dengan suara beratnya, Aiden memanggil Deema yang tengah tertidur.
"Ha? Em ... Aduh ...."
Deema bangun dari sandaran duduknya, ia merasakan seluruh badannya sangat sakit. "Bentar," kata Deema yang sekarang merenggangkan otot-otot di tubuhnya.
"Udah sampai, Pak? Eh maaf, Mas." Deema masih setengah sadar dan matanya masih sangat lengket untuk di buka.
"Sudah sampai taman. Mau aku antarkan sampai rumah?"
Deema menggeleng. "Enggak usah, Mas. Aku turun di sini aja." Deema merapihkan tatanan rambutnya, dan memakai tasnya.
"Aku pulang ya, terimakasih ...."
"Deema, sebentar ...."
Hendak membuka pintu mobil, Aiden menahannya untuk turun. "Pakai jaketnya, udara malam gak baik buat kesehatan. Apalagi kamu capek bekerja dari pagi." Deema mengangguk dan memakai jaket Aiden yang sangat besar itu di badan kurusnya.
"Ini, buat makan malam."
Deema pun menerima dengan senang hati plastik putih yang Aiden berikan kepadanya. "Terimakasih ... Aku pulang."
Deema pun keluar dari mobil dan menunggu Aiden untuk pergi dari hadapannya.
Aiden membuka kaca mobil. "Selamat malam, Mbak." Kata Aiden sambil melajukan mobilnya.
"Anjir! Di kira Gue mbak-mbak SPG." Kesal Deema yang rasa kantuknya hilang karena Aiden.
Memastikan mobil Aiden sudah pergi. Deema pun berjalan untuk sampai di rumahnya. Hari yang cukup indah, Deema merasakan Aiden memang benar-benar mengubah hidupnya.
Deema berharap, ia terus dipertemukan oleh orang-orang baik seperti Aiden. Sampai di rumah nanti, Deema ingin sekali merebahkan tubuhnya dan langsung tertidur. Karena esok pesanan semakin menumpuk.
Deema pun sampai di rumahnya. Ada Ratu yang tengah mengerjakan tugas sekolah di tengah rumah.
"Rat, Lo udah makan?" Tanya Deema.
"Kak Deema? Aku kira siapa."
"Udah makan?" Tanya Deema satu kali lagi.
Ratu menggeleng. "Belum, Kak. Ibu lagi di kamar, dia sakit."
Deema terkejut mendengar ucapan dari adiknya. Ia pun segera menyimpan tas dan membuka jaketnya.
"Ibu sakit apa, Rat?" Tanya Deema dengan khawatir. Walaupun ia sangat dingin dengan kedua orang tuanya, Deema masih sangat peduli dengan hal itu.
Ia berjalan menuju dapur. Ternyata, Aiden memberikan dua bungkus sate ayam untuknya. Ia pun menyimpan ke dua piring yang berbeda. Lalu membawa kedua piring itu menuju ruang tengah.
"Lo makan habisin, biar perut Lo gak sakit," kata Deema yang membuat mata Ratu berbinar karena melihat makanan yang sangat enak di depannya.
"Wah ... Makasih. kak ..."
Deema hanya mengangguk, dan sekarang berjalan kearah kamar Kinanti yang berada di sebelah kamarnya. Kamar ini sangat kumuh dan gelap. Deema menyalakan lampu kuning yang menghiasi tempat ini.
"Bu, bangun. Sudah minum obat?" Tanya Deema.
Kinanti membuka matanya. Ia menggelengkan kepalanya. "Makan ya, Bu."
"Kamu mencuri di mana?"
"Ibu! Kenapa hidup Ibu sefrustasi ini sih? Deema gak mencuri Bu! Deema kerja!" Emosinya terpancing karena Ibunya selalu saja berbicara seperti itu.
"Ibu pikriin diri Ibu sendiri. Anak-anak Ibu, semuanya sudah besar-besar. Makan, Bu. Aku beli buat Ibu."
Deema keluar kamar Kinanti dengan perasaan kesal, sedih bercampur aduk di sana.