16. Istri, Mas.

2096 Words
Aiden bersiul sambil berjalan menuju mobilnya. Entah mengapa setiap harinya ia selalu saja bertambah semangat. Dengan kaos berwarna hitam, dan celana pendek berwarna putih, Aiden sudah merasa keren hari ini, dan siap untuk bertemu dengan Deema. Ia pun mulai melajukan mobilnya untuk menjemput Deema. Tak lupa, Aiden pun menyalakan musik kesukaannya. Ketika melihat kearah ponselnya, ia tidak mendapatkan pesan apapun dari Deema. Kenapa Deema tidak pernah mengirimkan dirinya pesan terlebih dahulu? Pasti saja selalu dirinya yang mengirimkan pesan. "Di isi pulsa udah, di isi paket internet udah. Kenapa ya?" Tanya Aiden kepada diri sendiri. Aiden pun mengetikan sesuatu di ponselnya untuk mengingatkan Deema jika ia sudah dalam perjalanan untuk menjemput dirinya. Butuh waktu 20 menit, untuk Aiden bisa sampai di taman tempat mengantar dan menjemput Deema. Dari sini, Aiden bisa melihat ada seorang perempuan memakai terusan dan cardigan duduk di bangku taman sambil melihat ponselnya. Aiden mematikan mobil, dan berjalan untuk menghampiri Deema. "Sendiri aja." "Astaghfirullah! Kaget Gue." Deema memegang jantungnya yang berdetak lebih kencang karena terkejut dengan kehadiran Aiden yang tiba-tiba. "Ee-eh maaf ..." Kata Deema sambil menunduk malu. "Hm ...." "Sekarang?" Tanya Deema lagi untuk mencari topik pembicaraan. Ia malu karena Aiden menatapnya seperti itu. Bagaimana tidak, Aiden melihat kearahnya seperti singa ingin menerjang mangsanya. "M--mas?" Panggil Deema. "Ngomong apa tadi?" Tanya Aiden. "Manggil M--mas?" "Bukan, sebelumnya." Deema mengerutkan dahinya untuk berpikir. "Sekarang?" Tanya Deema lagi. "Bukan. Pertama kamu ketemu saya." "Hehehe iya maaf ... Habisnya aku kaget barusan." "Jangan gitu lagi," kata Aiden. Seolah-olah Deema terhipnotis dengan perkataan Aiden, ia pun nurut mengangguk. "Ayo," ajak Aiden yang mempersilahkan Deema berjalan terlebih dahulu. Deema yang tidak ingin berjalan terlebih dahulu itu pun memilih diam. Dan saat ini, Aiden dan Deema sama-sama diam saling menatap. 'Sial, kenapa Gue harus diem kaya gini? Mana cakep banget ni orang' hatinya berbicara. "Kamu duluan," kata Aiden. Deema yang tidak ingin terjadi drama pun mengangguk, dan berjalan terlebih dahulu. Ia menjadi tegang dan sedikit takut ketika berjalan seperti ini. Ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil, Aiden mulai menyalakan mobilnya, itu tandanya sebentar lagi Deema akan sampai di rumah Aiden untuk pertama kalinya. Entah mengapa saat ini Deema merasakan sangat canggung di dekat Aiden. Tidak seperti hari-hari lalu, Deema masih bodo amat dengan semua hal menyangkut Aiden. "Bajunya suka?" Tanya Aiden yang merasa Deema memakai baju yang dibelikan olehnya. Deema mengangguk. "Suka." Ada perasaan senang ketika melihat Deema memakai baju pemberiannya. Aiden pun cukup terkejut dan tersipu di saat melihat Deema yang terlihat cantik menggunakan pakaian seperti itu. Aiden tidak berbohong jika Deema memang cantik dan manis, walaupun tanpa riasan di wajahnya. Deema merasakan jika Aiden terus melirik ke arah dirinya, Deema pun ikut melirik ke arah Aiden. Di waktu yang bersamaan, mata mereka pun bertemu. Buru-buru keduanya berpura-pura untuk tidak melihat. "E--ekhem ...." Deema mengeluarkan suaranya. "Kenapa?" Tanya Aiden yang mengerti maksudnya. "Ha? Enggak apa-apa kok ...." "Mau ke tempat lain dulu, atau langsung ke rumah saya?" "Emmm ... Serius, Mas?" "Serius?" Tanya Aiden yang tidak mengerti. "Aku serius diajak makan malam? Nanti kalau aku bikin salah gimana?" Kata Deema yang akhirnya mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang terus terngiang di kepalanya. "Bikin salah, ya salah." "Mas ..." Rengek Deema kesal. Deg, Suara jantung Aiden saat mendengar rengekan dari Deema. Ia menjadi gugup saat ini, dan pikirannya kurang fokus. "K--kenapa? Ada yang salah?" Kenapa dirinya jadi gugup seperti ini di depan Deema? "Enggak. Nanti gimana kalau aku bikin salah? Terus aku belum ngerti kenapa aku bisa diajak makan malam keluarga kamu. Padahal kita baru ketemu Senin kemarin." Deema masih tidak percaya alur ceritanya secepat ini dengan Aiden. Baru saja ia kemarin putus dengan Avyan, tapi sekarang ia sudah dekat dengan Aiden. Deema tidak salahkan? Menganggap dirinya dekat dengan Aiden? "Kamu enggak akan bikin salah. Kalau ada apa-apa nanti, bilang saya." "Tapi ini seriuskan?" Tanya Deema lagi. "Hmm ... Bunda taunya kalau kamu pacar saya. Dia tadi seneng banget, sampe nyuruh saya cepet-cepet jemput kamu." Deema membelalakkan matanya terkejut mendengar cerita dari Aiden. "Aduh ... Nanti aku coba ngobrol deh sama Bunda kamu, kalau aku gak punya hubungan apa-apa sama kamu, selain murid dan guru. Pasti kamu bebankan?" "Gak perlu." "Gak perlunya, Mas?" "Gak perlu, itu bukan beban saya. Sudah lupakan." Aiden sudah tidak ingin membahas. "Kamu tidak suka pakai make up?" Tanya Aiden yang tidak pernah melihat Deema memakai make up. Deema yang ditanya seperti itu oleh Aiden pun memegang wajahnya. Jangankan memakai make up, membeli pencuci muka pun ia tidak mampu. "Ha-emm ... Kenapa? Muka aku jelek banget pasti ya?" "Enggak, bukan itu maksud saya." "Kamu seperti Kaila, tidak pernah memakai make up. Saya suka," lanjut Aiden. Deema menengok kearah Aiden, memastikan jika telinganya tidak salah mendengar. "Kok kamu aneh ya akhir-akhir ini?" Tanya Deema. "Aneh?" "Kita baru ketemu, belum juga satu Minggu. Terus, kita pun bertemu tanpa sengaja dengan hal yang cukup tidak baik. Kamu gak salah?" "Aku bukan kegeeran atau apa, tapi ... Kamu terlalu serius," lanjut Deema. "Orang yang bertemu baru beberapa jam saja sudah menikah. Kita sudah bertemu beberapa hari, dan saya sudah tau sikap dan sifat kamu." Jantung Deema berdebar lebih kencang. Ia tidak pernah seperti ini berbicara dengan laki-laki. Ia tidak pernah merasakan rasa seperti ini. Jujur, Deema belum pernah cinta kepada siapapun itu, selama hidupnya, Deema hanya fokus dengan hidupnya, tanpa memikirkan hal lain. Deema tidak mengerti perasaan apa ini, yang jelas, Deema nyaman berada di samping Aiden, semenjak Aiden datang di kehidupannya. Apa ... Ini cinta pertamanya? Apa Aiden benar-benar cinta pertamanya? Ah, sudahlah ... Deema membiarkan ini berjalan semestinya, ia tidak ingin memaksa apapun yang terjadi di dalam hidupnya. Deema tersenyum kearah Aiden. Ia lebih percaya diri disaat Aiden berbicara seperti itu. Dan Deema tau, dan semua ini sudah jelas, jika Aiden mulai mendekatinya selayaknya perempuan dan laki-laki. "Mas mau kemana? Kok?" Tanya Deema yang melihat Aiden menepikan mobilnya di sebuah toko yang cukup besar. Ini toko kosmetik dan obat-obatan. "Turun, saya mau kasih kamu sesuatu." Kata Aiden yang terlebih dahulu turun dari mobilnya. Aiden berjalan beriringan, tepat di samping Deema. "Kata Kaila ... Perempuan itu suka sama hal-hal kaya gini," katanya ia bercerita sambil berjalan, dan membukakan pintu toko untuk Deema. Deema menahan senyumnya karena mendengar ucapan Aiden, ia merasakan kupu-kupu beterbangan keluar dari tubuhnya. Aiden mengambil keranjang belanjaan, Deema baru pertama kali masuk ke toko yang sangat besar ini. Teman-temannya sempat mengajak ke sini, tapi Deema tolak karena tidak memiliki uang. Tapi akhirnya, Aiden mengajak dirinya ke sini. "Terus?" Tanya Deema yang ingin kembali mendengar cerita Aiden. "Kamu perempuan, kalau saya bawa ketempat ini kamu pasti senengkan?" Deema melihat kearah Aiden. Ia pun berpikir. "Emm ... Seneng enggak ya?" "Enggak seneng? Kalau enggak seneng mau saya bawa ke mana?" "Bawa ke pelaminan, Mas. Hahaha ...." Deema tertawa sambil berlari untuk menuju lantai dua. Karena di sana tempat berbagai kosmetik dan keperluan wanita berada. Aiden ikut tertawa melihat Deema sangat menggemaskan dimatanya. "Awas jatuh," kata Aiden yang melihat Deema berlari. Banyak tersenyum seperti ini, sepertinya membuat dirinya awet muda. Ia pun menghampiri Deema yang tengah menunggunya di ujung eskalator ini. "Cepet, hanya sepuluh menit, Bunda sudah menunggu." Deema terdiam. "Aku gak tau mau beli apa. Lagipun ua--" "Syutt ... Kamu ambil barang-barang yang kamu mau, atau tokonya bawa pulang ke rumah saya?" Deema memajukan bibirnya, Aiden pasti saja mengusulkan ide yang sangat gila. Ia pun dengan ragu melangkahkan kakinya untuk membeli perlengkapan perawatan kulit. Tapi, ketika melihat harganya yang sangat fantastis itu, Deema kembali mundur, ia tidak mampu. "Diambil, Deema ...." Deema menggeleng. "Lama." Kata Aiden yang mengambil benda-benda yang sudah dilihat oleh Deema kedalam keranjangnya. "M--mas ... Itu mahal loh ...." "Mahal? Saya sudah tau, Kaila kalau berbelanja pun tidak cukup satu digit." "M--mas ..." Deema sungguh tidak enak hati. "Deema ... Saya masih mampu membeli toko ini buat kamu." "Bukan gitu, Mas ... T--tapi ... Kamu jangan anggap aku matre ya? Bukan aku yang mau loh ...." "Enggak ada cewek yang matre. Semua cewek butuh kaya gini. Ayo cepet, Bunda udah SMS saya." Deema dibantu oleh Aiden pun memilih semua keperluan yang diinginkan Deema. Tidak hanya perawatan kulit, Aiden menyuruh Deema untuk membeli semua kosmetik yang Deema suka. "Bagus yang mana, Mbak?" Tanya Aiden kepada pegawai perempuan yang tengah membantu Deema memilih lipstik. "Karena istri Bapak punya kulit yang putih dan bagus, warna apapun cocok. Tapi sekarang lagi musim ini, warna coral," katanya sambil menunjuk prodak tersebut. 'istri Bapak? Anjir pacaran aja Gue belum ....' gumam Deema Aiden pun sama-sama ikut terkejut disaat pegawai itu menganggap mereka suami istri. "Saya ambil ini, dan ini," kata Deema yang mengambil dua warna berbeda dari lipstik yang ia pilih. "Sudah, Mas ... Udah enggak ada yang dibeli lagi," kata Deema yang ingin mengakhiri foya-foyanya hari ini. Deema berjalan kearah kasir untuk membayar semua belanjanya. "Mas, jangan kabur." Ingat Deema. "Iya ... Saya di sini." Aiden tersenyum kecil. "Totalnya jadi dua juta tujuh ratus dua puluh sembilan ribu." Deema terkejut mendengar nominal tersebut, dengan santai Deema bisa melihat jika Aiden membuka dompetnya dan memberikan kartu berwarna hitam ke kasir. "Sini, saya yang bawa," ucap Aiden yang mengambil alih tiga paperbag yang Deema bawa. Transaksi selesai, mereka pun berjalan untuk menuju mobil dan melanjutkan perjalanan untuk bisa sampai di rumah Aiden. "Uang kamu habis gimana?" Tanya Deema. Ia tahu jika gaji guru tidak seberapa. "Deema," ingat Aiden. Ia tidak suka jika Deema terus membahas hal seperti ini. "Iya, terimakasih, Mas ..." Katanya sambil tersenyum. "Nah, gitu. Uang saya tidak akan habis hanya untuk membelikan kamu seperti itu." "Kamu seneng?" Tanya Aiden. Deema mengangguk dengan antusias. "Seneng banget." Aiden pun tersenyum. "Inget. Senin mulai sekolah. Jangan pakai rok pendek lagi, atau saya razia." "Loh, kok gak boleh pakai rok pendek? Kan saya pakai rok pendek." "Ganti." "Kok Mas ngatur aku sih?" "Hak saya. Mbak tadi aja bilang kalau kamu istri saya." "Ya ampun. Pak Aiden! Nyebelin banget sih!" .... Setelah berbagai drama, akhirnya mereka pun sampai di rumah Aiden. Deema sedikit memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik yang ia beli di perjalanan tadi. "Mas, ada yang aneh gak?" Tanya Deema sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit tidak percaya diri karena ini baru pertama kalinya ia pergi ke rumah laki-laki. "Cantik," ucap Aiden yang melihat penampilan Deema. "Hahaha ... Bohong banget nyebelin." Kesal Deema dan sekarang turun terlebih dahulu karena melihat Yara yang sudah menunggu di luar rumah. Deema akhirnya menginjakkan kakinya di rumah Aiden yang sangat mewah ini. Jalanan dari gerbang depan menuju pintu rumahnya pun harus menggunakan mobil. "Selamat sore, Bu." Sapa Deema sambil mencium tangan Yara. "Sore, sayang ... Masyaallah kamu cantik sekali. Panggil Bunda saja, jangan Ibu," katanya. Deema tersenyum disaat Yara memeluk dirinya. Tak lama, datang seorang laki-laki yang sudah berumur sambil tersenyum. "Perempuan ini ternyata yang membuat istri dan anak perempuan saya terus bercerita." "Ayah, kenalin ini Deema. Deema, ini suami saya, panggil saja Ayah." "Selamat sore, Y--yah," sapa Deema dengan canggung, tak lupa mencium tangan ayah Aiden. "Aiden, lama banget sih, masa jam segini baru datang," protes Yara disaat Aiden datang. "Namanya juga orang pacaran, pasti kangen-kangenan dulu lah, Bun." Kaila datang mengompori. "Diem," kata Aiden kepada Kaila. "Masuk yuk, Bunda belum selesai masaknya." "Belum selesai, Deema bantu ya." "Dengan senang hati." Deema melihat kearah Aiden yang ada di belakangnya, saat ini ia sudah di gandeng oleh Yara untuk berjalan menuju dapur. Aiden mengangguk dan mengikuti Deema di belakangnya. Sepertinya Deema sedikit malu karena ini baru pertama kalinya. "Bunda masak sebanyak ini?" Tanya Deema yang melihat banyak sekali bahan-bahan masakan yang disediakan. "Iya, soalnya kamu mau datang." "Ya ampun, Bunda. Enggak perlu sebanyak ini." "Enggak apa-apa, ini sebuah penyambutan." Deema berekspresi meringis di depan Aiden. Bukannya ia tidak suka berada di sini, melainkan ia sedikit tidak enak hati karena berbohong jika ia dengan Aiden tidak pacaran. Aiden yang sedang duduk di kursi pantry pun hanya mengangguk sambil tersenyum. "Kamu ngapain sih di sini? Biasanya juga pergi kesana," kata Kaila yang melihat Aiden tengah duduk diatas pantry. "Biasanya ya, Deem. Dia mana mau ngilatin Bunda masak kaya gini," Kaila memang benar-benar kompor. "Biarin," kata Aiden dengan santai. "Deema bantu buat bersihin seafood-nya ya, Bund." Deema mengusulkan diri untuk membantu Yara membersihkan seafood karena ia melihat sepertinya itu belum di cuci bersih. "Kamu bisa?" Tanya Yara. "Iya, aku bisa bersihinnya. Mau di masak apa, Bunda? Asam pedas, saos Padang atau yang lain?" "Wah, kamu kayanya jago masak deh," kata Kaila. "Enggak, Kak. Aku cuma sedikit ngerti aja." "Kamu bisa masak seafood juga? Boleh, kamu bikin apa aja bebas. Aiden memang gak salah pilih calon istri," ucap Yara. Aiden yang melihat bundanya sangat antusias itu tersenyum. Hatinya pun senang dan bahagia melihat ketiga perempuan yang tengah memasak sambil bekerja sama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD