29. Hari-hari yang lebih baik

1776 Words
Berjalan dengan pasti masuk ke dalam studio, kabarnya teman-temannya itu sudah menunggu di lantai dua gedung ini. Deema sedikit terheran dengan konsep studio yang sangat gelap, seperti di rumah hantu. Dengan cepat, Deema berjalan menuju lantai dua. Walaupun ia memiliki watak yang galak, tapi ... Untuk hal mistis seperti ini, Deema pun takut. Sampailah ia di lantai dua, untung saja, Deema melihat ada Avyan dan teman-temannya sedang duduk di sebuah sofa. "Nah! Akhirnya Lo datang juga ... Lo yang minta buru-buru tapi ngaret," ucap seorang teman dari Avyan, Deema lupa siapa nama dari orang itu. "Hmm ... Sorry-sorry ... Ayo mulai," ucap Deema yang ingin latihannya ini cepat selesai. Ia kira, orang lain yang akan ngaret, ternya dirinya sendiri yang sudah di tunggu oleh orang-orang. "Ke sini sama siapa?" Tanya Avyan yang sekarang berjalan menghampiri Deema yang bersandar di depan pintu studio yang akan mereka pakai. "Sendiri," jawab Deema santai. "Kenapa gak bilang ke Gue? Gue jemput." "Hmm ... Cepet, Gue mau ada acara lagi." Avyan mengangguk. "Ayo, kita masuk aja. Kita mulai," ucap Avyan yang mengajak teman-temannya. Ada sekitar 10 orang laki-laki di sini, dan 2 orang perempuan, berikut dengan Deema. Mereka mulai menstel alat musik mereka masing-masing. Avyan yang memegang gitar itu, mulai menyesuaikan, dan semua teman-teman Avyan bekerja untuk menyiapkan agar semuanya rapi. "Gue nyanyi sendiri? Yakali, Vyan ..." Kata Deema yang melihat kertas-kertas yang berisi lagu yang akan ia bawakan. "Lo sama Tendi, ada satu lagu yang kalian harus duet," kata Avyan. "Lo cantik banget, Deem," lanjut Avyan tiba-tiba. Deema terdiam sebentar, tangannya yang sedang memegang kertas, sedikit bergemetar. Avyan ada-ada saja, jika dirinya terus di gombali seperti ini, Deema bisa terbang melayang dan tak kembali. "Apasi, Lo. Basi," balas Deema sambil memukul Avyan menggunakan kertas. "Hahaha ... Serius asli ... Kok Lo bisa cantik banget sih ...." "Gue gampar pake mic Lo lama-lama ..." Kesal Deema yang memilih untuk duduk di hadapan mic-nya. "Hahaha ... Yaudah ayolah kita mulai," ajak Avyan yang terus menertawai Deema yang sedang kesal itu. Deema mulai melatih suaranya tanpa musik yang mengiringi. Pertama-tama ia mulai menyanyikan lagu nasional yang untungnya sudah ia hafal. Tapi ternyata itu di modifikasi kembali oleh sekolahnya, menjadikan Deema harus kembali menyesuaikan nada dan suaranya dengan musik yang ada. Tak hanya menyewa studio, sekolahnya pun menyewa pelatih vokal untuk band ini. Deema di latih oleh laki-laki yang sepertinya ... Berusia lebih tua dari Aiden. Dan ... Laki-laki yang sedang mengajar vokalnya itu, ternyata tampan juga, Deema tidak bisa berbohong. Untung saja dirinya sudah terlatih agar tidak grogi. Lama Deema berlatih vokal, sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Deema melihat jam tangannya, ia berjalan ke arah Avyan untuk meminta izin pulang terlebih dahulu, karena di sinilah Avyan yang menjadi ketua dari grupnya. "Avyan, Gue balik duluan. Gue mau ada acara lagi, udah di tunggu." Avyan menyimpan gitarnya. "Lo pulang sama siapa?" "Sendiri. Gue balik duluan ya. Tinggal Tendi ini yang latihan," kata Deema. "Gue anterin ya." Deema menggeleng. "Enggak ... Enggak perlu ...." "Emmm ... Okey, hati-hati ya ..." Ucap Avyan yang mengantarkan Deema sampai ke depan pintu studio. "Guys, Gue balik duluan ya. Makasih buat latihan hari ini ..." Kata Deema kepada semuanya. Mereka pun mengangguk, sambil mengacungkan jempol mereka. Deema pun berjalan keluar studio untuk pergi ke toko the K. Pekerjaan ia sudah menumpuk sepertinya. "Udah, sampe sini aja. Kasian yang lain nunggu," ucap Deema yang melihat Avyan mengantarkannya sampai bawah tangga. Avyan pun mengangguk. "Lo hati-hati ya ... Kalau ada apa-apa telpon Gue." Deema melirik ke arah Avyan dan mengangguk. Ia pun keluar dari studio. "Hahaha ... Mantan gagal move on ..." Gumamnya. Deema pun menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Hanya butuh waktu 7 menit menaiki angkutan umum, Deema akan sampai di toko kue. Tak perlu lama menunggu, ia pun sudah dapat menaiki angkutan umum. Deema masuk, dan hanya ada beberapa penumpang di dalam sini. Deema merasakan getaran di ponselnya terasa. Buru-buru ia melihat siapa yang meneleponnya, ternyata itu adalan Aiden. Tanpa menunggu lama, Deema pun mengangkat telpon itu. "Halo, Mas?" "Kamu dimana? Sudah di toko?" "Emm ... Aku ada di angkot, baru mau ke toko." "Katanya jam dua belas. Kok baru pulang sekarang." Deema menahan senyumnya. "Kenapa memangnya, Mas? Tadi ada beberapa lagu yang harus aku bawain. Kamu masih meeting?" "Hm ... Saya sudah selesai. Tapi masih ada kerjaan. Maaf tidak bisa menjemput." "Iya, enggak apa-apa, Mas. Kamu juga capekkan? Aku matiin dulu ya telponnya. Aku sudah sampai." "Bang, kiri ..." Kata Deema. Ia pun turun dari mobil dan tak lupa membayang ongkosnya. Deema harus menempuh jalan beberapa puluh meter lagi untuk bisa sampai ke toko. "Eh, belum di matiin," ucapnya yang melihat telponnya itu masih tersambung dengan Aiden. "Mas?" Panggil Deema. "Masuk dulu ke toko baru saya matikan." "Mas-mas ... Sekalian aja bawa bodyguard buat aku," kata Deema dengan nada bercandanya. "Oke. Besok saya sewa bodyguard buat kamu." "Eh ... Eh ... Bercanda doang, Mas ya ampun ... Gaji bodyguard sama aku aja gedean gaji dia berkali-kali lipat." "Saya gak tenang kalau kamu pergi sendiri." "Cie ... Udah mulai sayang yaa ... Cie ...." "Udah-udah sampe mana?" "Ini, udah masuk ke toko. Siang, Mbak Nomi ..." Sapa Deema. "Siang, Deem ... Tumben baru datang." "Iya, Mbak aku ada latihan buat pensi. Maaf ya." "Hehehe ... Tidak apa-apa. Kamu sudah di cari kak Kaila. Ke atas saja." "Siap, Mbak ... Aku ke atas dulu." Deema pun berjalan ke lantai dua. "Mas, aku matikan ya telponnya. Mau mulai kerja, sekarang udah percayakan aku di toko?" "Yaudah, nanti malam saya jemput." "Siap, Mas. Semangat kerjanya ...." Deema memasukan ponselnya ke dalam tas. Ia pun sedikit merapikan tatanan rambutnya. "Selama siang, Kak Kaila ... Maaf aku terlambat." "Hey, siang Deema. Kamu habis latihan ya ... Aku tau dari Aiden. Tidak apa-apa ...." "Iya, aku baru selesai latihan, Kak ...." Kaila mengangguk. "Mau bantu aku buat bikin adonan? Ada pesanan banyak sekali buat besok," ucap Kaila. "Iya, Kak. Sebentar aku pakai celemek dulu." Deema sudah menyimpan tasnya, ia pun memakai celemek dan sarung tangan. "Kak, di bawah ada siapa dua orang?" Tanya Deema yang melihat dua orang di bawah sedang membatu Nomi di kasir, dan memakai celemek yang sama. "Oh itu ... Dia karyawan baru di sini. Kamu juga boleh kenalan." "Oh ya? Aku baru tau, Kak ... Harus kenalan ini." "Iya, mereka baru datang pagi tadi. Karyawan baru Deem, Kita jadi bisa bagi-bagi tugas lebih ringan lagi." "Iya, Kak ... Nanti aku berkenalan." "Ayo, bantu aku." Deema membantu mengukur berat beberapa tepung, cokelat bubuk, s**u bubuk, s**u cair, dan masih banyak lagi bahan-bahan untuk membuat kue. Setelah mengukur semua itu, Deema langsung memasukkannya ke dalam mesin yang akan menyatukan semua bahan itu. "Besok kamu mau izin kerja?" Tanya Kaila. "Kak Kaila kok tau? Aku baru mau bilang nanti." "Iya, Aiden bilang ... Kamu mau nemenin dia besok ke luar kota. Memangnya iya?" Dengan ragu, Deema mengangguk. "Iya, Kak ... Aduh ... Maaf ya, aku belum bilang langsung sama Kak Kaila." "Enggak apa-apa, cantik ... Aiden udah berani kok bilang sama aku." Deema pun tersenyum manis di balik maskernya. .... Pukul 5 sore, Deema sedang beristirahat di atap sambil mengisi perutnya yang belum diisi semenjak pagi. Deema baru teringat jika ia belum makan. Tak lama, datang seorang perempuan dan laki-laki, yang juga ikut bergabung makan bersamanya. "Kak Deema, makan sama apa? Aku baru beli mie. Mau?" Tawar Arin karyawan baru di toko kue Kaila. Deema tersenyum dan menggeleng. "Kamu makan aja, aku baru selesai makan. Pesen ketoprak tadi." Arin pun mengangguk. "Aku makan ya, Kak, Mas ...." "Iya, silahkan ..." Kata Deema. Arin adalah perempuan yang masih remaja, tapi kerapihan dan kedisiplinannya patut diacungkan jempol, itu yang membawa dirinya bisa masuk berkerja di toko Kaila. Arin bercerita tadi, jika dirinya putus sekolah karena tidak bisa membayar sekolahnya. Sepertinya nasibnya sama dengan Arin. Riki pun ikut bergabung dan makan bersama mereka. Tak hanya diam saja, mereka pun menyempatkan diri untuk mengobrol bersama, dengan hal-hal lucu dari pengalaman mereka masing-masing. Mereka menghabiskan waktu istirahat mereka dengan tertawa, sampai waktu sudah menunjukkan pukul 17.40. waktunya karyawan lain yang beristirahat. "Aku aja jaga di bawah. Lagi halangan. Kalian shalat dulu aja," ucap Deema yang sekarang berjalan terlebih dahulu untuk turun. Deema memilih duduk di kasir menggantikan Nomi yang menjaga tadi. Ini malam Minggu, biasanya toko di kunjungi oleh banyak orang. Benar saja, datang satu pasangan yang memesan kue ulang tahun yang sudah terpajang di dalam lemari pendingin. "Ini, cheese cake, Kak ...." "Ini ukuran sedang ya, Mbak?" Tanyanya. Deema pun mengangguk mengiyakan. "Iya, ini ukuran sedang. Mau ukuran yang bagaimana?" "Em ... Yasudah itu saja. Bisa di bungkus?" Deema tersenyum dan mengangguk. "Bisa, tunggu sebentar. Mau di beri nama atau tidak perlu?" "Boleh, Kak di beri nama." Pembeli itu menyebutkan namanya untuk di tulis di atas kue oleh Deema. Selesai, Deema memasukan kue itu ke dalam box yang cantik. Tak lupa ia pun memberikan bonus beberapa lilin panjang untuk yang sedang berulang tahun ini. "Kami kasih gratis lilinnya, Kak ...." Mereka pun membayar pesanan mereka dan keluar dari toko. Tak lama, lonceng pun kembali berbunyi. "Selamat datang, Mas ..." Kata Deema yang suaranya mengecil di akhir kalimatnya. "Kok gak semangat gitu?" "Aku kira pelanggan." "Katanya mau jemput malam?" Tanya Deema. "Pekerjaan saya sudah selesai," ucap Aiden yang sekarang duduk di dekat kasir. "Mas capek? Mau di bikin minum apa? Kopi mau?" Aiden mengangguk. "Boleh." Deema pun mulai membuat kopi untuk Aiden. Tak lupa ia pun menyiapkan dua potong kue gulung untuk Aiden. "Ini, pasti belum makan?" Deema hendak kembali ke tempatnya, tapi Aiden menahannya. "Duduk dulu," kata Aiden, yang menyuruh Deema untuk duduk di hadapannya. Deema pun duduk di hadapan Aiden. "Besok mau berangkat jam berapa, Mas?" "Emm ... Kita berangkat jam lima dari sini." "Hah? Sepagi itu?" Aiden mengangguk. "Kita mau ke luar kota, ini weekend. Pasti macet." "Aku harus bangun jam berapa, Mas?" "Jam berapa aja sesuka kamu." "Hm ... Kamu kenapa gak bilang dari lama kalau berangkatnya jam segitu." "Itu udah bilang." Deema menatap Aiden sedikit kesal. Orang yang di tatap itu pun, dengan santainya menyesap kopi yang masih mengeluarkan asapnya itu. "Pak Reno kirim foto kegiatan band, di grup sekolah." "Isinya cowok semua?" Deema teridam dan melipat bibirnya. "Ha? Emm ... Enggak kok, ada ceweknya juga," kata Deema yang membantah. "Satu orang?" "Enggak. Dua orang sama aku." "Genit-genit sama cowok?" "Boro-boro, mau genit. Orang ngomong sama aku aja gak aku jawab." "Bener?" Tanya Aiden lagi. "Bener ... Mas ...." "Yasudah ...." "Kalau cemburu bilang." "Iya." Jawab Aiden singkat yang membuat Deema tertawa terbahak-bahak. "Utu ... Utu ... Gemesh banget sih ...." Untung saja di sini tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Mereka jadi bisa memanfaatkan waktu mereka untuk berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD