24. Savage

2361 Words
Deema sudah mulai bekerja, ia sibuk menghias kue-kue yang sudah matang. Nomi lebih memilih menjaga toko dan menerima panggilan, dan ia membiarkan Deema yang lebih pintar dan jago menghias untuk mempercantik kue-kue itu. "Deem, kamu gak mau pindah ke atas? " Tanya Nomi yang melihat ada beberapa pelanggan di sini. "Memang boleh, Mbak?" Tanyanya. Nomi mengangguk. "Kita pindah aja ke atas, nanti aku yang bilang sama Kak Kaila. Aku bantu ya." Nomi pun membawa beberapa barang menuju lantai atas, begitupun dengan Deema. Tak lama, Aiden turun dan mengambil barang yang sedang di bawa oleh Deema. "Jangan berat-berat. Kamu bawa itu aja," katanya sambil menunjuk pisau kue dan dua buah sendok. Deema membuang napasnya panjang. Aiden, pasti saja mengatur dirinya, dan tidak mau di kalahkan. Deema pun kembali menuju meja dimana ia bekerja tadi untuk mengambil pisau kue dan dua buah sendok itu, lalu ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju lantai atas. "Mbak, makasih ya ..." Kata Deema yang berpapasan dengan Nomi. Nomi mengacungkan jempolnya. "Semangat kerjanya. Bikin kue yang cantik-cantik ya ...." Deema dan Nomi pun sedikit tertawa. Deema merapihkan kembali barang-barang yang akan ia gunakan untuk menghias kue. Tak lupa, ia membawa kue-kue yang sudah cantik ke dalam ruangan yang lebih steril. Ketika hendak masuk ke dalam ruangan itu, Deema melihat Aiden yang berada di tempat kerja Kaila. Mengapa Aiden selalu saja di sini. Dan Deema juga tidak tahu sampai kapan Aiden akan di sini. Selesai menyimpan kue, Deema keluar dan menutup kembali pintu menggunakan bahunya. "Mas, kamu enggak pulang?" Tanya Deema sambil berjalan ke tempatnya. Aiden yang tengah mengetikkan sesuatu di laptopnya itu pun menggeleng. "Enggak. Memangnya kenapa?" Deema jamin, ia tidak akan fokus bekerja sambil di perhatikan oleh Aiden seperti ini. "Kenapa kamu gak pulang?" "Suka-suka saya," katanya santai. Deema melirik sekilas ke arah Aiden. Mengapa Aiden sangat-sangat menyebalkan. "Aku serius, Mas ... Kamu kenapa gak pulang?" "Mau jawab jujur atau bohong?" Deema yang tengah menggunting plastik pun meleset karena mendengar jawaban serta pertanyaan aneh dari Aiden. "Serah Bapak ajalah. Saya ngalah," kata Deema mulai kesal. Deema bisa mendengar jika Aiden sedikit tertawa, ia memilih bangun dan duduk di sebelah Deema. "Kalau saya di sini karena ini toko kakak saya, itu bohong. Saya datang ke sini karena ada kamu, baru itu jujur." Deema menatap aneh Aiden yang ada di sampingnya. "Terus Bapak ngapain di sini?" "Bapak lagi ...." "Eh iya, Mas ...." "Balikan lagi." Sabar-sabar ... Deema harus sabar, Deema harus jadi anak baik, enggak boleh ngeluh dan enggak boleh melawan. "Terus, Mas ngapain di sini? Kenapa enggak istirahat aja di rumah?" "Kalau saya maunya di sini liatin kamu gimana?" "Kamu mantan buaya atau jelemaan kadal? Gombal aja terus, hampir copot telinga aku dengernya ...." Kini, malah Aiden yang melirik sinis ke arah Deema. "Kalau mau apa-apa izin sama saya." Deema melihat kearah Aiden. Ia bingung, apa tujuan Aiden berbicara seperti itu kepadanya? Apa Aiden seratus persen sadar? Atau hanya gombalan semata. Tapi, Deema bisa melihat keseriusan dari wajah Aiden. "Mas kalau deketin cewek-cewek kaya gini ya?" Tanya Deema yang sedikit curiga. Deema rasa, orang-orang kalau sedang bekerja seperti ini, pasti merumpi bersama teman sesama perempuannya. Tapi kali ini, Deema malah merumpi dengan Aiden, yang notabenenya adalah gurunya sendiri, sekaligus .... Ekhem, gebetannya. Katanya. "Memangnya kamu tau kalau saya punya cewek?" Dengan refleks, Deema langsung melihat ke arah Aiden dengan tatapan tajam. "Kamu punya cewek!" Katanya dengan suara yang cukup tinggi. Aiden mengangguk sambil memperlihatkan wajah polosnya. "Kamu serius? Wah! Wah ... Gak nyangka...." "K--kamu serius? J--jadi selama ini ...." Aiden mengerutkan alisnya. "Selama ini?" Tanyanya yang kurang mengerti. "Selama ini kamu cuma boongan sama aku?" "Sama kamu gimana maksudnya?" "Wah ... parah ... Omongan buaya gak bisa di pegang. Pergi kamu jauh-jauh ...." Deema memindahkan kursinya lebih jauh dari Aiden. Aiden menahan tawanya, ia sangat suka melihat Deema yang selalu saja lucu di matanya. Sambil menahan tawanya, Aiden malah mendekatkan kursinya ke arah Deema. "Pergi kamu. Ngapain deket-deket aku. Nanti cewek kamu marah gimana. Aku lagi yang kena." Deema kembali mengangkat kursinya dan kini ia memutari meja untuk duduk lebih jauh dari Aiden. Tidak ingin kalah, Aiden melakukan hal yang sama seperti Deema. "Cemburu?" Tanya Aiden. "Dih, ngapain juga Gue cemburu, Pak. Gak ada urusannya sama saya." "Deema ... Ucapannya." Deema memutar bola matanya malas. "Udahlah, Pak. Gak usah sok perhatian sama saya." "Kamu cemburu? Tanya Aiden lagi. "Iya ... Kamu cemburu. Cie ... Cemburu." Deema melirik ke arah Aiden dengan wajah galaknya. "Pergi, atau aku siram kamu pakai cream?" Kata Deema sambil mengangkat wajah cream yang sangat besar. Aiden mengangkat tangannya, tanda ia menyerah. Ia pun berdiri untuk menghindar dari amukan Deema. "Iya-iya ... Ampun ... Simpen ya ... Simpen ...." "Kamu pergi gak! Atau aku telpon kak Kaila kamu ganggu aku kerja." "Iya, iya saya diem." Setelah melihat Aiden yang sudah diam. Deema pun kembali menyimpan wadah besar itu, dan melanjutkan pekerjaannya kembali tanpa memperdulikan Aiden yang terus melihat ke arahnya. Biar sajalah ... Deema sangat kesal dengan Aiden. "Kamu gak penasaran siapa ceweknya?" Tanya Aiden. "Gak." Jawab Deema tanpa basa basi. "Serius?" "Hmm ...." "Kamu ..." "Hah?" "Kamu." "Maksudnya?" "Ya kamu ..." "Aku?" "Iya, kamu." "Aku, kenapa?" "Cewek saya." Seketika Deema tersedak dengan air liurnya sendiri. Ia selalu saja terkejut dengan ucapan-ucapan aneh dari Aiden. Tidak ingin mengambil pusing, ia hanya mengangkat bahunya. "Kamu gak percaya?" Tanya Aiden. "Apaan sih, Mas. Ngaco deh ngomongnya. Kamu kan baru ketemu aku satu Minggu ini. Kalau aku pencuri, penculik perampok gimana? Kamu masih mau ngerayu aku kaya gitu?" "Pilihan saya gak salah." Deema melihat ke arah Aiden sambil tersenyum kecil. "Kamu bilang kalau aku cewek kamu. Cuma sepihak?" "Terus maunya kaya gimana?" "Tau ah. Gak romantis banget," kesal Deema. "Mau yang romantis? Saya lamar kamu di tengah lapangan SMA mau?" "I--ih ... Mas ... Apaan sih ...." Wajah Deema sudah memerah karena menahan malu. Aiden pasti saja membuat dirinya tak berkutik. Aiden yang melihat itu pun tertawa lepas. ... "Aiden ... Udah dong, sana pergi jangan liatin pacarnya gitu terus dong. Kaya yang enggak ada kerjaan aja. Sana pulang! Bunda suka nyari kamu. Katanya kamu kalau pulang telat terus." Aiden menutup telinganya karena enggan mendengar ocehan-ocehan dari Kaila. Kaila dan Riki baru saja datang sehabis mengantarkan kue ke beberapa alamat. Saat ini jam menunjukkan pukul 17. 35 sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Tetapi Aiden masih saja setia duduk di posisinya sambil memperhatikan Deema yang masih menghias kue. Saat ini Deema tengah menghias kue ulang tahun seorang diri, karena kue ini berukuran sedang dan hiasannya pun simple. "Aiden! Denger gak?" Kata Kaila satu kali lagi. "Ck! Iya-iya ... Lagian kenapa sih? Heboh banget." Kesal Aiden yang lebih memilih membuka ponselnya. Kaila menghampiri Aiden sambil membawa dua buah kotak bekal. "Nih, dari bunda. Dia masak banyak gak ada yang makan. Kamu ajak Deema makan dia belum istirahat dari tadi." Deema yang mendengar itu pun menjawab. "Tidak apa-apa, Kak. Aku masih harus menyelesaikan ini semua," katanya yang masih merasa pekerjaannya sangatlah banyak. Ia masih harus menyelesaikan puluhan kue roll dan tiga kue ulang tahun lagi. Masih banyak bukan? "Udah, kamu makan dulu sama saya. Bosnya ini yang suruh," kata Aiden yang sekarang mengajak Deema untuk menuju loteng atas. Deema melihat ke arah Aiden dan Kaila. Ia sedikit merasa tidak enak bekerja seperti ini, selalu saja di perhatikan oleh Aiden, dan Kaila selalu saja baik kepadanya. Deema takut jika karyawan lain iri kepadanya. "Ayo, makan dulu aja. Ini bisa di kerjakan setelah shalat Maghrib," ucap Kaila. "Kita akan tutup toko sekarang, kasian Nomi dan Riki kerja dari pagi. Lagipun kue di toko sudah hampir habis." Deema mengangguk. "Aku selesaikan ini dulu, nanti menyusul," kata Deema untuk berbicara kepada Aiden. Aiden mengangguk. "Selesaikan saja dulu. Saya tunggu." Dengan gerakan tangan yang cepat, Deema pun menghias bagian atas kue itu dengan beberapa bunga dan mutiara, terakhir ia meletakkan cokelat kecil khas toko ini. "Selesai ..." Katanya. Ia pun sedikit merenggangkan otot-otot tubuhnya. Tak lupa untuk membuka celemek, sarung tangan dan penutup kepala. Ia pun berjalan ke arah Aiden. "Ke atas? Atau di sini aja?" Tanya Deema. Sebentar, Aiden tidak menjawab. Ia malah asik melihat wajah Deema yang tengah tersenyum manis ke arahnya. Deema yang merasa Aiden tengah memperhatikannya itu, membenarkan posisi rambutnya, takut jika ada yang salah darinya. "Ekhem ... Di liatin terus doinya ... Kamu kakak bilangin ya ke bunda biar cepet di kawinin," kata Kaila sambil berkacak pinggang. Deema yang mendengar suara Kaila itu pun menunduk. "Ganggu aja terus, Kak," katanya. "Ayo, kita ke atas." Aiden jalan terlebih dahulu, dan Deema mengikuti di belakangnya. "Kak, aku ke atas dulu ya ..." Kata Deema. "Iya, kalau Aiden macem-macem kamu teriak aja. Atau cubit perutnya yang kenceng," ucap Kaila sambil berekspresi seperti sedang mencubit seseorang. "Hehehe ... Iya, Kak." Deema sedikit tertawa. Untuk sampai di loteng, mereka masih harus menaiki beberapa anak tangga. Kaila menyulap loteng ini menjadi tongkrongan untuk para pegawainya agar tidak jenuh. Di sini sudah ada penutup atap, mereka tidak akan kehujanan ataupun kepanasan. Dan di sini pun Kaila sudah sediakan beberapa kursi dan sofa beserta mejanya. Kini, Aiden lebih memilih untuk duduk di sofa, karena sofa di sini ada dua dengan ukuran yang besar-besar, Deema pun duduk di sofa yang satunya. "Kenapa kamu duduk di situ?" Tanya Aiden. "Ha? Duduklah, Mas. Ngapain lagi." "Di sini, sebelah saya. Sofanya besar ini." "Bukan muhrim, Pak." Kata Deema sambil menahan tawanya. Aiden mengerutkan keningnya. "Kok ketawa?" Deema menggeleng. "Enggak kok, lucu aja liat kamu mukanya polos banget. Kalau di sekolah so sangar," kata Deema yang sekarang duduk di sisi Aiden. "Memangnya saya sangar kalau di sekolah?" "Iya. Kamu memangnya gak tau? Oh iya, kamu tau? Gimana hebohnya tadi waktu kamu ke kelas aku? Fix. Itu heboh banget," ucap Deema bercerita seperti ke teman sebayanya. "Oh ya? Perasaan biasa aja." Deema menghembuskan napasnya panjang. Ia pun bersabda di sofa karena merasa punggungnya butuh sandaran. "Iya kamu liatnya biasa aja. Tapi di sana itu tadi heboh banget. Kamu sih, jadi orang-orang nganggep aku aneh. Katanya aku suka sama sugar Daddy." "Siapa yang bilang kalau saya sugar Daddy? Saya masih muda." Loh, kenapa Aiden yang sewot sekarang? "Hahaha ... Serius, Mas. Ada yang ngomongin aku kalau aku suka sama sugar Daddy. Terus, aku di sangka porotin uang kamu." Deema berbicara dengan nada lelah di akhir kalimatnya. "Enggak kok, enggak sama sekali. Baru juga deket ya, udah jadi omongan orang aja." Kata Aiden sambil membuka kotak bekal itu. Aiden bisa melihat ada beberapa potong nugget, tumis sayuran, perkedel jagung, dan olahan semacam tempe. "Kamu belum makan ya dari siang?" Tanya Aiden. Ia mengambil nasi dan memotong nugget untuk di berikan kepada Deema. "Aaaa ..." Katanya. Deema ragu untuk menerima suapan dari Aiden atau tidak. Mengapa Aiden akhir-akhir ini menjadi so romantis? Akhirnya Deema pun menerima suapan dari Aiden. "Nah, anak pintar," kata Aiden, ia pun tak lupa menyuapkan untuk dirinya sendiri, mengisi perutnya yang kosong. Deema tersenyum, hatinya selalu saja bahagia jika di dekat Aiden. Aiden tahu bagaimana cara membahagiakan seorang wanita, dan Deema suka itu. Baru saja ia bertemu Aiden satu Minggu ini, dan Aiden sudah bisa mengubah hidupnya berpuluh-puluh persen. Ia berjanji dengan dirinya sendiri agar tidak melepaskan Aiden dari genggaman tangannya. "Enak?" Tanya Aiden setelah menyuapkan sendok kedua untuk Deema. Deema pun mengangguk. "Masakan Bunda enak-enak." "Lain kali, ajak saya bertemu kedua orang tua kamu ya. Saya ingin berkenalan." Deema terdiam sebentar, aktifitas mengunyahnya pun ia hentikan. "Emm ... Ibu aku penyakitan, Mas. Mending kamu gak usah ketemu, takut ketularan," kata Deema yang sekarang moodnya sudah sedikit berubah. Ada perasaan tak enak di hati Aiden karena sudah salah berbicara. "Oh ya? Berarti kalau gitu saya harus jenguk ibu kamu dong." Deema menggeleng. "Jangan ya, kamukan sudah tau kondisi aku dan rumah aku kaya gimana. Aku takut kamu ngejauh, setelah ngeliat keadaan hidup aku." Mendengar itu, Aiden menyimpan tempat makannya. Ia tidak pernah menuntut seseorang dari segi apapun. Aiden, jika sudah cinta dengan seseorang, ia pasti akan menerima wanita itu dengan apa adanya. Aiden cukup tersentuh melihat keadaan Deema yang sebenarnya. "Boleh saya pegang tangan kamu?" Tanya Aiden dengan ragu. Aiden tidak ingin menyembunyikan rasa cintanya lagi. Ia sudah nyaman dengan Deema, dan bisa di bilang, Aiden sudah cinta dengan Deema. Deema mengangguk. Aiden pun mengambil kedua tangan Deema untuk ia genggam. Aiden bisa merasakan jika tangan kecil ini sangat rapuh di dalam genggamannya, ia harus memberikan Deema sedikit kekuatan dan pondasi agar tetap hidup. "Saya tidak pernah menuntut seseorang untuk menjadi apapun, Deema. Saya terima kekurangan kamu, apapun itu. Dan saya tidak meminta apa-apa dari kamu, selain ketulusan hati kamu untuk saya." Deema bisa melihat mata Aiden yang sedang menatapnya sangatlah tulus. Deema tidak tahu, sejak kapan air mata ini menetes begitu saja. Deema belum pernah menangis seperti ini di depan laki-laki, bahkan itu ayahnya sekalipun. "Kamu bisa bercerita tentang apapun yang ada di hidup kamu kepada saya. Apapun itu, kamu bebas bercerita." "Saya bisa lihat kamu, kalau kamu perempuan kuat dan tegar. Bisa berdiri kokoh walaupun kamu di terpa badai kehidupan kamu sendiri. Jangan nangis ...." Deema mengusap air matanya dengan kasar. Suara adzan Maghrib pun berbunyi, Aiden melepaskan genggaman tangannya, tak lupa ia mengelus tangan Deema dengan lembut. "Kamu gak malu punya aku?" Tanya Deema. "Malu? Kenapa harus malu?" Deema menggeleng tak bisa menjawab apa-apa. Aiden tersenyum kecil. "Kamu mau tunggu saya?" Tanya Aiden. "Tunggu?" Tanya Deema kembali. "Tunggu saya untuk mencari waktu yang pas, untuk bisa menemani hidup kamu." Deema tersenyum, dan mengangguk. "Lalu sekarang?" Tanya Deema, ia butuh kejelasan dalam hubungan mereka. "Untuk sekarang, kamu hanya perlu ingat satu hal, kalau kita saling membutuhkan." Deema pun mengangguk sambil mengusap air matanya yang menetes. "Bilang ke saya kalau ada apa-apa. Dan, jangan pergi dengan laki-laki lain, selain saya. Dan ... Kalau kamu latihan band, saya ikut." Barusan saja sedih, saat ini Deema sudah tertawa. "Hahaha ... Dasar posesif." Aiden tersenyum lebar. Ini yang ia butuhkan dari Deema, senyum Deema yang selalu menular kepadanya. "Kamu shalat dulu. Aku lagi gak shalat," kata Deema. Aiden pun mengangguk. "Kamu lanjutin makannya sampai habis. Aku shalat dulu," kata Aiden dan pergi dari hadapan Deema. Deema tersenyum senang melihat punggung tegap itu menjauh dari pengelihatannya. Deema seperti sedang berada di dalam mimpi saat ini. Waktu terasa begitu cepat, karena Tuhan menghadirkan Aiden untuknya secara tiba-tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD