19. Over thinking

1928 Words
Hari Minggu, Deema kembali beraktivitas di toko The K, milik Kaila. Saat ini, pukul 9 pagi, Deema membantu Nomi menghias kue ulang tahun yang cukup besar. Mereka sudah menghias kue ini sejak setengah jam yang lalu, dan belum selesai sampai saat ini.  Pekerjaan di lantai satu baru saja selesai, ada Riki yang menjaganya sambil membersihkan toko. Kaila memiliki tiga pekerja yang multi fungsi dan saling membantu. Jika satu orang tidak bekerja, yang lain membantu untuk membackup pekerjaan mereka.  Rencananya, Kaila ingin mencari satu karyawan lagi untuk membantunya di toko ini. Tapi ia belum menemukan seseorang yang tepat.  "Deema, kamu gak di jemput Aiden?" Tanya Kaila yang baru saja datang sehabis mengantarkan pesanan.  "Emm, enggak, Kak. Aku berangkat ke sini sendiri. Kenapa?" Jawab Deema, ia pun kembali bertanya. Ingin mengetahui dari mana Kaila tahu jika dirinya tidak diantar oleh Aiden.  "Aku nanya aja. Tadi sekitar jam tujuh dia udah pakai pakaian rapi, gak tau mau kemana, kirain mau jemput kamu ... Dan enggak biasanya Aiden pergi di hari Minggu seperti ini." Deema terdiam sebentar, pasalnya semalam Aiden bilang, jika ia tidak mengabari dirinya untuk menjemput, berarti ia tidak akan menjemput. Dan Deema tidak mendapatkan pesan sampai jam 8, ia pun memilih untuk pergi sendiri ke sini.  "Enggak, Kak. Mungkin dia ada kerjaan," kata Deema yang tidak ingin mencampuri urusan Aiden. Sebab ia paham, ia bukan siapa-siapa Aiden.  "Emm ... Iya kali ya. Yauda deh, semangat kerjanya semuanya." Kaila pun pergi menuju ruang pembuatan kue. Sepertinya ia akan membuat kue baru lagi.  "Kamu sedeket itu sama adiknya Kak Kaila?" Tanya Nomi yang kepo, karena ia melihat pun sepertinya Deema sangat dekat dengan Aiden.  "Ha? Eng--enggak kok, Mbak. Akukan muridnya pak Aiden. Mungkin keliatan deket aja karena itu," jawab Deema. Ia memang merasa tidak memiliki hubungan spesial dengan Aiden. Ya, ia tidak memiliki hubungan spesial yang harus di ketahui orang.  "Tapi, kalian kok berdua cocok banget yaa ..." Kata Nomi sambil senyum-senyum.  Deema yang berada di sebelah Nomi pun menyenggol bahu rekan kerjanya itu pelan. "Ah. Mbak Nomi bisa aja," katanya. Dan mereka pun tertawa bersama. Dibalik suara tawa Deema yang lepas. Ada satu pikiran yang menggangu dirinya, kemana perginya Aiden di hari Minggu ini? Dan dengan siapa Aiden pergi? Lalu, mengapa Aiden tidak menghubungi dirinya? Sungguh, pikiran-pikiran itu terus saja terlintas di kepalanya.  Apakah dirinya berhak berpikiran seperti ini? Atau ... Memang hanya Deema yang merasakan perasaan ini sepihak? Deema bingung, sampai-sampai .... "Deema! Kamu salah kasih warna!" Kata Nomi yang mengejutkan Deema yang tengah melamun sambil mengerjakan pekerjaannya itu.  "Hah! Ya ampun, Mbak! Aku harus gimana?" Ia sudah terlanjur menyimpan krim berwarna kuning, seharusnya kue bagian atas itu di beri warna biru.  "Aduh, gimana ya? Kamu kenapa kecapean?" Tanya Nomi yang mengambil alih posisi Deema.  Jika ia mengambil krim berwarna kuning ini, hiasan yang lain akan hancur. "Ha? Eng--enggak ... Aku melamun tadi. Maaf ...." "Bentar, pesanan ini harusnya biru atasnya, Deema. Kamu gak liat gambar itu?"  "Iya, Mbak. Aku melamun maaf." "Kenapa ribut-ribut, cantik?" Kaila datang sambil membawa keranjang kue.  "Em ... Ini, Kak, Deema salah kasih warna krim." "Maaf, Kak Kaila. Aku kurang fokus. Insyaallah aku ganti kerugiannya," katanya yang merasa bersalah.  Ini semua gara-gara Aiden yang terus hadir di dalam pikiran Deema. Aish! Deema merasa kesal dan tidak mood hari ini. Baru saja semalam ia merasa moodnya sangat-sangat baik, tapi sekarang ia merasa moodnya sangatlah buruk.  "Mana? Ini pesanan buat sore nanti ya?" Tanya Kaila.  Dengan senyum dan rasa sabarnya, ia pun menghampiri Deema dan Nomi yang tengah kebingungan itu. "Tenang ya ... Jangan panik. Kita, bisa bikin gradasi dari kuning dan hijau." Sambil berbicara, ia sambil mencontohkan bagaimana caranya menutupi kesalahan ketika sedang menghias kue seperti ini. "Ini masih bisa di perbaiki, dengan hasil yang lebih cantik."  Kaila dengan lihat mengoleskan krim berwarna kuning dan biru di atas kue. Ajaibnya, kue itu menjadi gradasi warna yang sangat cantik. "Selesaikan?" Tanyanya sambil tersenyum.  "Wah ... Bagus banget jadinya," kata Nomi. Kaila mengangguk. "Pinggirnya kasih mutiara putih. Biar enggak terlalu monoton."  "Deema, silahkan di lanjut. Lebih fokus ya," katanya sambil menepuk pundak Deema.  "Maaf, Kak. Aku bakal lebih fokus. Aku perlu ganti keru--" Kaila dengan cepat menggeleng. "Enggak, kamu gak perlu ganti apapun. Ini lebih baik dari gambar contohkan?" Deema mengangguk.  "Dan perlu diingat, gambar ini hanya contoh. Dan kalian masih bisa berkreasi di sana. Apapun itu, akan aku hargai," ucap Kaila dengan senyum yang selalu meneduhkan. Deema dan Nomi sama-sama mengangguk. Mereka sangat senang bisa bekerja di sini. Mendapat bos yang sabar dan baik, serta mendapat gaji yang cukup besar di sini. "Terimakasih, Kak ..." Kata Deema yang masih merasa tidak enak hati.  "Tidak apa-apa, Deema. Itu bukan masalah yang serius. Silahkan di lanjut saya masih ada adonan yang harus di buat." Kata Kaila. Ia pun kembali masuk kedalam dapurnya.  "Maaf ya, Mbak Nomi." Nomi tersenyum. "Enggak apa-apa, Deema. Aku juga masih maklum, kamu baru di sini. Yasudah, biar aku yang lanjut, kamu ke lantai bawah aja, siapa tau mas Riki perlu bantuan. Ini sebentar lagi selesai." Deema mengangguk. "Iya, Mbak. Aku kebawah ya." Deema membuka sarung tangannya, dan membuang sarung tangan bekasnya itu, kedalam tong sampah. Dengan keadaan tidak semangat, ia pun turun ke lantai satu.  Ketika turun ke lantai satu, ia melihat ada Riki yang sedang membungkus kue-kue kecil, dan memasukkannya ke dalam kardus.  "Mas, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Deema.  "Eh, Deema. Bisa tolong lanjutkan ini? Aku mau cek keuangan, di suruh Kak Kaila," kata Riki sambil bangun dari duduknya.  Deema tersenyum dan mengangguk. "Iya, Mas. Saya bisa." "Di samain sama contoh yang aku bikin aja." Deema pun melihat ada banyak sekali berbagai macam kue. "Ada pesanan kah?"  "Iya, untuk acara ulang tahun, dan dikirim sore atau siang nanti." Deema pun mengangguk, dan duduk di posisi tempat Riki duduk. Ia mulai melakukan pekerjaannya, membungkus kue-kue kecil dan memasukannya kedalam sebuah box berwarna pink yang berlogokan toko kue The K ini.  Sampai, satu pikiran tentang Aiden kembali muncul. Ia merasa tidak tenang hari ini, tanpa sapaan atau pertemuan dengan Aiden. Ia membuka sarung tangannya, dan mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Mengetikkan satu pesan, untuk Aiden. Ia menanyakan Aiden sedang dimana dan sibuk atau tidak.  Pesan itu pun terkirim tanpa hambatan. Deema kembali memasukan ponselnya kedalam saku celana. Dan memakai sarung tangannya untuk melanjutkan pekerjaannya.  .... Sore hari sudah tiba, Deema merasakan badannya pegal-pegal dan sangat tidak enak. Sepertinya ia masuk angin saat ini. Deema duduk di kursi belakang kasir, untuk mengistirahatkan tubuhnya, kepalanya pun terasa pening saat ini.  Sore hari menuju Maghrib ini, pembeli biasanya hanya ada satu atau dua. Ia lebih baik membuka ponselnya, tidak ada satu pesan pun yang masuk dari Aiden. Ada rasa sedikit kecewa di hatinya, ia melihat aplikasi w******p-nya, pesannya pun hanya menunjukkan tanda centang dua abu, dan artinya pesan itu belum terbaca.  "Kenapa Gue harus nungguin kaya gini sih, ngeselin banget emang. Gak biasanya Gue kaya gini," gumam Deema.  Ia merasa kesal dengan dirinya sendiri karena hal ini. Mengapa ia harus menunggu seperti ini? Seolah-olah dirinya sedang mengemis perasaan dari Aiden.  "Arghh ... Ngeselin ...." "Kenapa badan Gue gak enak kaya gini ya? Mana pusing lagi," gumam Deema.  Ia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, jam berwarna biru muda, pemberian Kaila. Saat ini pukul 17.40 dan Deema belum menerima kabar dari Aiden sampai saat ini.  Deema merasa ada sesuatu yang hilang darinya, entah apa itu. Tapi Deema sangat merasa kehilangan.  Suara langkah sepatu dari lantai dua mengalihkan perhatian Deema, Kaila yang sudah memakai tas dan memegang kunci mobilnya berjalan kearah Deema. "Deem, Nomi mana?" Tanyanya, ia berbicara kepada Deema sambil memainkan ponselnya.  "Mbak Nomi kayanya lagi cari makan sama Mas Riki," kata Deema.  Kaila mengangguk. "Kamu tolong jaga sebentar ya. Toko tutup aja jam delapan. Pesanan untuk besok sudah di catat semua ini," ucap Kaila.  Deema mengangguk. "Siap, Kak. Aku nanti bilang sama Mbak Nomi." "Aku langsung pergi ya, ada keperluan mendadak," katanya terburu-buru dan Kaila pun pergi meninggalkan Deema seorang diri di dalam toko.  "Iya, Kak. Hati-hati ... Selamat malam." Jam 8 Deema akan menutup toko, itu artinya ia harus membersihkan tempat ini. Masih ada beberapa kue yang tersisa, dan jika tidak habis ia akan memindahkannya ke lantai atas, agar kue itu masih terjaga kebersihan dan keamanannya.  Pusing yang melanda kepalanya, ia hiraukan. Dulu, Deema sudah terbiasa menahan pusing di kepalanya karena jarang makan. Dan sekarang pun ia harus menahan rasa pusing ini, agar ia bisa cepat menyelesaikan pekerjaannya.  Denting lonceng toko berbunyi, masuklah beberapa pelanggan datang mengunjungi toko The K ini.  "Selamat malam, selamat datang ...." Dengan sigap Deema melayani pembeli ini dengan baik, membuat minuman yang sudah di pesan. Tak lama, dua orang pembeli pun datang dan memesan beberapa kue untuk di kemas dan di bawa pulang.  "Terimakasih ... Silahkan datang kembali." "Hmm ... Mas Riki Mbak Nomi kemana ya? Kok lama banget," gumam Deema yang merasakan tubuhnya semakin sakit.  Tak lama, yang di bicarakan pun datang. Nomi dan Riki datang sambil membawa bungkus makanan. "Deema, maaf ya lama. Kita tadi antri beli makanannya." Deema tersenyum kecil. "Enggak apa-apa ... Mas, Mbak." "Nih, kita bawa mie goreng buat kamu. Kamu istirahat dulu aja ke atas. Sekalian gantian shalat," ucap Nomi sambil memberikan bungkus makanan yang tadi ia ambil.  Deema pun terima dengan baik. "Terimakasih, Mbak. Aku lagi halangan. Kalau Mbak Nomi mau shalat dulu silahkan." "Kamu sakit?" Tanya Riki yang sekarang tengah berada di kasir, melayani pembeli yang akan bayar.  "Ha? Eng--enggak, kayanya cuma efek dari nyeri haid aja."  "Oh iya, Kak Kaila tadi bilang, kalau toko di tutup aja jam 8," kata Deema dengan suara lelah. Karena ia sudah tidak kuat menahan pusingnya. "Eh-eh ... Kamu kayanya sakit deh. Ayo ke atas aja." Deema tidak menolak, ia pun berjalan ke atas di gandeng oleh Nomi. "Kamu kalau sakit bilang aja enggak apa-apa, kamu siap-siap pulang aja ya. Kita bentar lagi tutup toko juga." "Iya, cuma masuk angin aja kayanya ini." "Iya, kamu pulang ya naik taksi aja. Kalau naik angkutan umum kamu harus jalan kedepan." Deema mengangguk. Dia di bantu oleh Nomi menggunakan jaket dan tasnya. "Makasih ya, Mbak ...."  Nomi kembali mengantarkan Deema sampai ke luar toko. "Aku naik angkutan umum di depan aja, Kak. Aku gak bawa uang banyak," kata Deema yang jujur dengan keadaannya.  Nomi dengan wajah khawatirnya bertanya. "Serius kamu bisa jalan dulu ke depan? Atau mau aku panggil Riki buat antar kamu sampai rumah?"  Deema menggeleng. "Enggak perlu, Kak. Aku masih bisa jalan sendiri. Dan lagi pun pelanggan masih banyak." "Aku pamit pulang duluan ya, Mbak. Besok aku datang ke sini jam tiga sore, karena aku baru pulang jam segitu." Nomi mengangguk. "Hati-hati ya ...." Deema pun mulai berjalan. Tak lama, ada yang memanggilnya. "Deem ... Deema," suara Riki memanggilnya.  "Ha? Iya Mas?" Riki sedikit berlari kearahnya sambil membawa satu paperbag sedang.  "Kak Kaila tadi telpon. Suruh bawa pulanv kue yang ada di kulkas. Kamu bawa, ini bagian kamu." Deema pun menerimanya. "Terimakasih, Mas. Aku pulang duluan ya." Tidak ingin berbasa-basi, Deema pun kembali melanjutkan perjalanannya. Ia harus berjalan beberapa ratus meter ke depan dengan keadaan seperti ini.  Perutnya pun terasa sangat sakit karena ini adalah hari pertama ia mendapat haid bulanan.  "Aish ... Sakit banget ...." Deema terus berjalan, hingga akhirnya ia pun tiba di halte bus, untuk menunggu angkutan umum yang akan ia naiki sampai menuju rumahnya.  "Huft ... Dingin banget," gumam Deema.  Ia sudah merasakan jika napasnya memburu, kepalanya semakin pusing, dan ia bisa merasakan jika kaki, bibir, dan tangannya sudah dingin dan sedikit membiru.  Deema menyandarkan kepalanya di tiang penyangga halte bus, ia ingin sekedar mengistirahatkan tubuhnya sampai menunggu bus datang. Sampai ... Ia tidak merasakan jika dirinya sudah tidak sadar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD