Monster

2100 Words
Rania terbangun saat alarm ponselnya berbunyi nyaring di dalam ruang kamar yang temaram. Ia lupa mematikan alarm di ponselnya yang selalu ia atur setiap pagi karena takut akan bangun kesiangan, mengingat kantornya lumayan jauh sehingga Rania harus berangkat lebih awal. Ketika membuka mata, Rania buru-buru mematikan alarm tersebut sebelum alarm itu berhasil membangunkan seseorang di sampingnya. Rania menghela napas lega setelah bunyi alarm itu menghilang, mengembalikan kesunyian dalam ruangan temaram. Lampu utama kamar memang sengaja dimatikan, karena patner tidurnya semalam mengeluh tidak bisa tidur jika lampu dinyalakan. Hanya lampu di samping tempat tidur yang dibiarkan menyala, sinarnya tak begitu terang masih mampu menyorot wajah di sisi kanan Rania. Wajah tampan yang tertidur lelap dan tampak begitu tenang dalam tidurnya. Rania menelan ludah, refleks mengusap lehernya. Kilasan bayangan semalam kembali menghantui pikirannya. Meski sekuat tenaga ia menahan ingatan itu agar tidak keluar, tapi ia gagal mencegahnya. Rania menegang kala teringat kembali apa yang terjadi tadi malam, membuatnya nyaris mati sia-sia di kamar ini. Rania memejamkan mata saat Rehan perlahan melucuti pakaiannya, lalu mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di atas tempat tidur berukuran king. Tempat tidur yang begitu luas, empuk dan nyaman untuk ditiduri. Namun, Rania justru merasakan hal sebaliknya. Tubuhnya seolah terguncang saat mendarat di atasnya, ditambah sengatan kecil yang seperti menggerayangi sekujur tubuhnya, seakan banyak paku-paku kecil yang menancap di seluruh tubuhnya. Rania ingin menangis, ia ingin lari meninggalkan tempat laknat ini. Tapi apa daya dirinya tak mampu, ini semua sudah jadi konsekuensi dari keputusan nekatnya menggadaikan mahkota kesuciannya demi uang satu milyar. Uang yang ia peruntukan untuk membebaskan diri dari jeratan utang dan ancaman rentenir tua. "Kau siap Rania?" Suara berat tapi terdengar sangat seksi, berhasil menarik atensi Rania. Mengalihkan perhatian Rania dan mulai terfokus pada si pemilik suara yang malam ini menjadi clientnya. Mata Rania berkedip-kedip saat sorot matanya kini tengah menatap sosok di depannya. Sosok gagah yang dengan percaya dirinya menunjukkan badan atletis, perut rata yang dipenuhi benjolan otot-otot kekar, bagaikan roti sobek yang menggiurkan. Ditambah lengan berotot dan bahu yang terlihat kokoh, sukses membuat Rania takjub untuk sesaat, sebelum akhirnya suara itu kembali memecah keterdiamannya. "Apa kita bisa mulai sekarang, Rania?" Rehan tidak terlalu buru-buru melakukannya, walau tubuh polos Rania sejak tadi terus memancingnya untuk menerkam. Namun, ia masih bisa menahan diri, memastikan Rania benar-benar siap. Rehan tak ingin melakukannya tanpa persetujuan patnernya, ia sudah berjanji untuk bermain lembut dan menciptakan momen paling berkesan untuk Rania. Rania menelan ludah. Walau gugup dan takut, ia dengan mantap menganggukkan kepala, memberikan izin pada Rehan untuk memulai sesi malam ini. Rania ingin semuanya cepat selesai dan malam ini berlalu dengan cepat. Walau kenyataannya jarum jam seakan bergerak begitu lambat, seolah waktu sengaja ingin menyiksanya lebih lama di ruangan ini. "Kalau begitu aku akan mulai sekarang." Rehan mulai mengurung tubuh Rania di bawah kendalinya, menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan di kedua sisi kepala Rania dan sorot mata yang tak berkedip terus memandang lapar tubuh wanita di depannya. "Katakan padaku jika kau merasakan sakit," pinta Rehan, dibalas anggukan ragu oleh Rania. Rehan memulainya dengan ciuman lembut. Disusul usapan lembut tangannya di setiap daerah teritorial milik Rania. Walau ini sentuhan pertama dan membuat risih, tapi sebisa mungkin Rania menahan diri untuk tidak menepis tangan Rehan yang sekarang mulai bergerilya, menjelajahi setiap jengkal dari tubuhnya. Awalnya berjalan dengan baik, Rehan menepati janjinya untuk melakukannya dengan sangat lembut. Membuat ketakutan Rania berangsur-angsur menghilang, menggantikannya dengan buaian lembut yang nyaris melayangkan akal sehatnya. Hingga kejadian tak terduga menyentak Rania. Jantungnya seketika berhenti sepersekian detik dengan napas tertahan di tenggorokan. Siapa kira jika Rehan akan mencekik lehernya. Bahkan saat Rania membuka mata, ia bisa melihat kilatan kemarahan dan api kebencian yang terpancar jelas dari sorot mata Rehan. Tangan kekar yang sebelumnya memberikan sentuhan lembut di sekujur tubuhnya, kini dengan sekuat tenaga mencengkram erat leher Rania. Mungkin juga bisa mematahkan batang lehernya dalam hitungan detik, melihat bagaimana lelaki itu mengerahkan semua tenaganya sampai urat-urat di sepanjang lengan kokoh itu tampak menonjol. "Mati kau!" Rania meneteskan air mata, saat suara Rehan terdengar memasuki gendang telinganya. Dengan sorot mata tak berdaya, Rania mencoba memohon pada Rehan. Tangannya menahan pergelangan tangan lelaki itu yang semakin keras menekan lehernya. Rania ingin membuka mulutnya, mengucapkan permohonan agar Rehan mengakhiri penderitaan ini. Namun, ia tak berdaya karena cengkraman tangan Rehan di lehernya membuat ia kesulitan mengeluarkan kata-kata. Bahkan rasanya ia seperti akan mati. "Aku akan mengirimmu ke neraka, KARIN!" teriak Rehan, suara baritonnya berhasil menyetak Rania sampai melotot ketakutan. Rania yang di ambang keputusasaan dan juga nyawa yang berada di ujung tanduk. Mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyingkirkan tangan Rehan dari lehernya. Ia memaksakan mulutnya terbuka, mencoba mengeluarkan sepatah kata yang mungkin bisa menghentikan aksi Rehan. Karena jika ia gagal menghentikan aksi Rehan, maka nyawanya jadi taruhan. "P-pak ...." "P-pak, Re-han." "To-long, hen-ti-kan." Dengan terbata-bata Rania memohon. Air mata terus mengucur deras, membasahi wajahnya yang memerah karena cekikan Rehan. "P-pak, saya bisa mati!" Rania berhasil menyentak Rehan, menghempas tangan kekar itu dari lehernya. Sontak setelah itu Rania batuk-batuk. Rehan yang tersadar dengan apa yang barusan ia lakukan pun hanya bisa terdiam sesaat. Ia memandangi kedua tangannya yang nyaris saja merenggut nyawa Rania. Ia benar-benar tak menyangka, entah apa yang ada di pikirannya tadi sampai bertindak senekat itu. Yang Rehan ingat, kejadian itu kembali terulang lagi, wajah wanita sialan itu kembali menggelapkan pikirannya. Rehan pikir Rania berbeda, karena sejak awal ia sudah tertarik. Tapi ternyata akhirnya sama saja. Ketika Rehan akan melakukan sesi inti dari permainannya, wajah Karin kembali muncul dan membuat Rehan hilang akal sehat. Ia yang melihat di bawahnya Karin, tanpa pikir panjang langsung mencekiknya. Padahal jelas-jelas itu bukan Karin, melainkan Rania. Rehan juga bingung, kenapa hal ini bisa terjadi. Padahal tadi ia bisa turn on bersama Rania. Biasanya tidak jika bersama wanita-wanita lainnnya, itu kenapa para wanita itu menyebar rumor kalau Rehan impoten. Tapi kali ini Rehan membuktikannya, dengan Rania miliknya bisa berdiri tegak menjulang bagaikan tiang listrik. Namun, kesialan selalu menghampirinya, gara-gara wajah wanita sialan itu, Rehan mengacaukan semuanya. "Rania, maafkan aku." Rehan meraih tangan Rania yang menatapnya ketakutan. "Maafkan aku, aku khilaf, sungguh. Aku tadi benar-benar khilaf. Aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan barusan." Rania terdiam, tak bereaksi dan hal itu membuat Rehan semakin merasa bersalah. Rehan menghela napas panjang, melepaskan tangan Rania dari genggamannya. "Maaf telah mengingkari janji, saya telah menyakiti kamu." Rehan kembali seperti pertama kali bertemu, bersikap formal dan mengganti aksennya jadi saya. "Jika kamu merasa dirugikan, kamu boleh laporkan saya ke polisi atau minta kompensasi berapa pun." Rania tidak menjawab, tetap memilih diam. Tapi matanya terus menyorot Rehan dengan pandangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rehan yang merasa tidak bisa memperbaiki keadaan pun berniat untuk mengakhiri malam ini sampai di sini. Ia berniat untuk beranjak dari tempat tidur, tapi tiba-tiba saja Rania menahan pergelangan tangannya. "Anda mau ke mana?" cicitnya dengan suara bergetar. Rehan menoleh pada Rania, memandangi wanita itu yang menatapnya takut. Lalu beralih menatap tangan yang menahan pergelangan tangannya, tampak gemetar. "Butuh keberanian besar buat saya datang ke sini. Jadi saya tidak bisa pulang dengan tangan kosong," ucap Rania, kali ini terdengar lebih mantap dari sebelumnya. Tak ada keraguan dari ucapannya barusan. Rehan kembali memandangi wajah Rania. Mata wanita itu berkaca-kaca, tampak sembab dan juga memerah. Hal itu membuktikan kalau apa yang ia perbuat sebelumnya benar-benar parah sampai-sampai membuat wanita itu menangis seperti itu. Rehan yang merasa bersalah, lantas melepaskan tangan Rania dari pergelangan tangannya. Tentu saja tindakan itu mengejutkan Rania, tapi sebelum Rania sempat menuntut penjelasan, Rehan lebih dulu mengeluarkan cek dari saku jasnya. "Ini cek setengah milyar, kau bisa mencairkannya di bank. Itu bayaranmu malam ini," kata Rehan, lalu beranjak dari tempat tidur. Ia memungguti pakaiannya dan bergegas memakainya. "Bayaran?" Suara Rania menghentikan aktivitas Rehan yang sedang memakai celananya. "Kita belum melakukan apa-apa. Saya tidak bisa menerimanya, ini tidak sesuai dengan kesepakatan. Saya datang ke sini bukan untuk mengemis, jadi saya tidak bisa menerimanya dengan cuma-cuma," ucap Rania dengan berani. Rehan menarik resleting celananya, lalu menatap Rania untuk waktu yang lama. Ia heran, juga tak habis pikir dengan wanita di depannya. Jika wanita-wanita lain akan dengan senang hati menerima uang darinya tanpa harus bekerja, tapi Rania justru tidak mau menerima uang sebesar itu secara cuma-cuma. Padahal jika wanita itu mau menerimanya, ia akan untung besar dan tak perlu merasa dirugikan karena tak perlu lepas segel. Lalu, kenapa Rania justru menolaknya? "Saya tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Mungkin kita bisa memulainya lagi dari awal." Mata Rania berkedip, bibirnya semakin bergetar saat nekat mengucapkan ajakan itu pada Rehan. "Saya sangat butuh uangnya, jadi apa pun yang terjadi, saya harus tetap melayani Anda sebagai gantinya. Bahkan jika kejadian seperti tadi harus terulang lagi, saya tidak merasa keberatan." Bohong kalau Rania tidak merasa keberatan ataupun takut. Ia sangat takut, tapi ia tak bisa berhenti begitu saja. Demi uang satu milyar, ia memaksa dirinya untuk tetap bertahan apa pun yang terjadi. Katakanlah Rania bodoh. Diberi kebebasan bukannya lari malah sengaja menghantarkan diri ke lubang buaya. Ia pikir kali ini bisa bebas, rasanya mustahil jika Rehan sudah menatapnya penuh minat begitu. "Baiklah." Rehan berjalan mendekat ke tepian kasur. "Tapi tidak untuk malam ini. Sebagai gantinya, kamu bisa menemani saya tidur? Saya tidak bisa tidur sendirian." Rania terdiam sesaat, tidak mengerti apa maksud ucapan Rehan tentang menemaninya tidur. Tapi kemudian ia langsung mengangguk, mengambil keputusan nekat. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rania pikir Rehan akan melakukan sesuatu, tapi nyatanya lelaki itu hanya memeluknya lalu tertidur lelap. Rania tak menyangka jika di balik wajah tampan itu ada monster yang bersembunyi. Mengingat bagaimana Rehan semalam nyaris merenggut nyawanya, Rania seakan tak percaya lelaki itu bisa berubah jadi monster menakutkan. Padahal sejak awal Rehan selalu bersikap lembut dan manis, walau juga menyebalkan saat perdebatan alot soal kesepakatan yang tertulis di atas kertas bermaterai. Namun, Rania juga merasa lega. Karena semalam Rehan tak jadi melakukan apa-apa. Walau Rania juga sempat menyesali tindakan bodohnya yang malah menolak untuk pergi dan menawarkan diri untuk melakukannya lagi dari awal. Bodoh memang, harusnya Rania langsung pergi saat Rehan memberinya cek senilai setengah milyar. Tapi yang dilakukannya malah menjerumuskan diri sendiri. "Bodoh, bodoh, bodoh!" Rania mengutuk diri sendiri jika mengingat ucapannya semalam. "Bego banget sih, Ran!" Rania memukul kepalanya, berdecak keras, lalu mengembuskan napas kasar. "Mau ditaruh di mana muka kamu, Ran?" Rania menutup wajahnya, malu. Ia tak siap jika harus berhadapan dengan Rehan nantinya. Lantas, Rania pun mengambil keputusan untuk kabur. Rania bergegas turun dari tempat tidur dengan hati-hati, memastikan pergerakannya tak membuat Rehan terusik dalam tidurnya. Setelah itu Rania memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai, memakainya dengan buru-buru sebelum Rehan bangun. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Rania menyempatkan diri untuk memandang sejenak Rehan. "Maaf," lirih Rania. "Saya harap, Anda bisa memaafkan perbuatan saya." Bukan tanpa sebab Rania meminta maaf. Karena setelah ini ia berniat kabur, persetan dengan perjanjian yang sudah dibuat. Rania berniat mengundurkan diri dari kantor, ia juga berniat untuk meninggalkan kota ini. Rania tak bisa membiarkan dirinya terus di sini, terngiang-ngiang akan kejadian yang sudah berlalu. Rania ingin memulai hidupnya yang baru, walau dengan begitu ia akan menjadi orang jahat karena secara tidak langsung telah menipu Rehan, client sekaligus bosnya. Rania langsung menyambar cek di atas nakas, lalu memasukkannya ke dalam tas dan bergegas pergi meninggalkan kamar tersebut. Tak berselang lama setelah kepergian Rania, Rehan terbangun oleh suara dering ponselnya. Tangan kekar Rehan meraih ponsel di atas nakas, lalu mendekatkan benda pipih itu ke dekat telinga. Suara bariton dari seberang sana langsung menyentak Rehan. "Kamu di mana, Rehan? Papa sudah nungguin setengah jam di depan pintu apartemen kamu!" "Apa?" Rehan langsung terlonjak bangun, matanya melotot horor. "Papa di depan apartemen aku?" Rehan kelabakan, bingung setengah mati. Bagaimana ia menjelaskan pada papanya tentang lokasinya sekarang. Pasalnya kalau papanya sampai tahu ia masih bermain wanita, bisa habis digorok. Secara papanya sekarang jadi over protective setelah kasus yang pernah menimpanya dulu. "Em ... Rehan ...." Rehan gusar mencari jawaban yang tepat, ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Lalu tersadar jika sisi kasur sebelahnya sudah kosong. Ke mana wanita itu? Rehan tak menemukan keberadaan Rania di sebelahnya, ia lantas menyisir seluruh ruangan itu. Setelahnya Rehan sadar kalau Rania sudah pergi, tak ada barang-barangnya yang tertinggal, bahkan juga cek yang semalam ia berikan sudah diambilnya. Rehan menghela napas kasar, ia benci bangun di pagi hari seorang diri. "Rehan, kamu dengar papa? Kamu di mana sekarang? Papa---" "Rehan di luar, ada urusan. Papa tunggu saja di sana, Rehan segera kembali." Rehan menutup panggilan tersebut tanpa menghiraukan ocehan papanya yang marah-marah. Rehan bergegas memakai pakaiannya, setelah itu pergi meninggalkan ruang kamar itu sambil menghubungi seseorang. "Halo, temukan seseorang untukku, sekarang," ucap Rehan saat panggilan tersambung.  —————
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD