Halo, Rania

2149 Words
Pagi Rehan benar-benar kacau. Setelah kepergian Rania tanpa pamit, sukses membuat perasaan Rehan jadi acak-acakan. Emosinya tak terkendali, amarahnya menggebu-gebu dan pikirannya terus terusik. Entah kenapa Rehan tidak suka mendapat perlakuan seperti itu dari Rania. Jika biasanya ia yang selalu meninggalkan wanita-wanita itu sebelum mereka bangun, tapi kali ini justru dirinya yang ditinggalkan. Jelas saja hal tersebut melukai harga dirinya sebagai lelaki penakluk banyak wanita. Ditambah kejadian semalam yang membuat pikiran-pikiran liarnya bertebaran memenuhi otaknya, menciptakan prasangka dan dugaan tak berarah. "Rehan, kamu dengar papa?" Suara bariton di depannya menyentak Rehan dari lamunan singkat. Sedari tadi ia terus memikirkan Rania, membuatnya tidak fokus dengan pembicaraan serius bersama papanya. Padahal mereka sedang membahas tentang kantor cabang, kantor baru Rehan yang belum lama ini diakuisisi oleh perusahaan besar Dirgantara Corp yang merupakan perusahaan milik papanya. "Ah, iya, Pa, gimana?" Rehan tampak kebingungan, matanya bergerak gelisah melihat raut wajah papanya yang berubah kesal. "Jadi kamu nggak dengerin papa ngomong dari tadi?" Papa Rehan mendengkus kesal, memalingkan wajah sejenak sebelum akhirnya kembali menyorot tajam Rehan. "Maaf Pa." Rehan mengusap tengkuknya. "Rehan kecapekan, semalaman ini Rehan sibuk pelajari keuangan perusahaan dan kinerja karyawan yang direkomendasikan bu Vela buat jadi sekretaris aku. Semalaman juga aku begadang, makanya sekarang masih ngantuk, jadi nggak fokus gini." Rehan beralibi, mengarang cerita dusta demi membuat papanya percaya dan tidak melakukan interogasi mendadak terhadap dirinya. Rehan tidak siap jika papanya mulai kumat, menanyainya banyak hal. Apalagi kalau sampai tahu dirinya semalam pergi ke klub dan berakhir tidur dengan wanita. Papanya akan marah besar, terlebih jika tahu ia juga mengeluarkan uang sebesar setengah milyar hanya untuk bersenang-senang dengan wanita. Walau yang terjadi semalam bukan sepenuhnya bersenang-senang, mengingat ia belum melakukan apa-apa terhadap Rania. Hanya sebatas pemanasan awal yang cukup membakar hasratnya sampai ke akar-akar. "Apa kamu pikir papa akan percaya?" Papanya memicing, menatap penuh curiga pada Rehan. Rehan jadi salah tingkah, ia memang tak pandai menyembunyikan kebohongan dari papanya. Tapi meski begitu, Rehan tetap mempertahankan kebohongannya. Ia tak akan mengaku meskipun sang papa akan mendesak dan memberikan ancaman, karena itu sama halnya dengan ia bunuh diri. "Papa enggak percaya?" Rehan mengedikkan kedua bahunya. "Terserah, yang penting aku sudah bilang sama papa sesuai faktanya. Tapi kalau papa tetap mencurigai aku terus-terusan, ya sudah, mau gimana lagi." Rehan terlihat acuh tak acuh, berusaha tetap tenang dan santai menyeruput kopinya yang mulai dingin. Papanya menghela napas kasar, tak lagi mempermasalahkan. "Sudahlah, lupakan. Sekarang kembali ke pembicaraan awal. Pokoknya papa mau laporan itu kamu serahkan hari ini juga ke papa." "Hm." Rehan menyahuti dengan malas. "Dan juga papa mau kamu mewakili papa datang ke acara peresmian kantor baru pak Adit siang ini. Papa mau ke luar kota sama mama, oma kamu masuk rumah sakit. Makanya mama sekarang lagi panik banget, pengen buru-buru ke sana," ucap papanya, memberitahu perihal omanya yang mendadak masuk rumah sakit. Rehan nampak terkejut mendengarnya. "Oma masuk rumah sakit, Pa? Oma sakit apa, Pa? Jangan bilang jantungnya kumat lagi?" Sepertinya tebakan Rehan memang benar, ketika mimik wajah papanya berubah lesu, memperkuat dugaannya. Ditambah sang papa juga memberikan anggukan kepala, mengiyakan pertanyaannya barusan. Rehan mengusap kasar wajahnya, ikut khawatir akan kondisi omanya yang memang memiliki riwayat penyakit jantung dan tinggal jauh dari anak-anaknya karena sang oma memilih menetap di Bali. "Apa oma baik-baik saja? Apa sebaiknya aku juga ikut jengukin oma?" usul Rehan, yang ingin sekali ikut papanya menjenguk sang oma. "Nggak usah, biar papa sama mama aja. Kamu di sini saja, handle perusahaan dan gantiin jadwal papa sementara waktu. Kebetulan jadwal papa padat banget, papa juga punya banyak acara yang harus dihadiri. Jadi untuk sementara waktu ini kamu yang handle semuanya. Nanti sekretaris papa akan buatkan jadwalnya dan kasih ke kamu, supaya kamu bisa menyesuaikan dengan jadwal kamu," ujar sang papa. Rehan mengangguk. "Papa atur saja. Salam buat oma, semoga oma lekas sembuh." "Iya." Percakapan mereka pun berakhir, sang papa beranjak dari tempat duduknya. Kebetulan keduanya saat ini sedang berada di sebuah kafe di depan gedung apartemen Rehan. "Oh ya, kapan kamu mau pulang? Mamamu nanyain terus, kapan kamu mau pulang." Rehan mendengkus pelan. "Nanti, kalau mama sudah nggak jodoh-jodohin aku lagi, baru aku mau pulang. Selagi mama masih gencar cari jodoh buat aku, jangan berharap aku mau pulang. Anak papa ini ganteng, masih laku, bahkan banyak wanita yang rela bertekuk lutut demi menjadi pasanganku. Jadi untuk apa mama terus-terusan menjodohkan aku dengan anak teman-temannya yang nggak jelas itu." Rehan begitu kesal jika mengingat kelakuan mamanya yang gencar merancang perjodohan dirinya dengan anak teman-teman sosialitanya, belum lagi sang mama juga sering menjebaknya ke kencan buta. "Mamamu lakuin itu semua karena peduli dan sayang sama kamu, Rehan. Harusnya kamu bersyukur karena mama masih peduli sama kamu, sampai rela-relain buat cariin kamu jodoh yang terbaik. Mama itu nggak mau kalau kamu sampai terjerumus lagi Rehan. Papa juga nggak mau kalau kamu sampai salah pilih wanita, apalagi wanita kayak yang kemarin itu. Papa sama mama enggak mau kamu sampai mengalami hal itu lagi, makanya kami ingin yang terbaik buat kamu. Mencarikan jodoh yang terbaik biar kamu enggak salah pilih wanita lagi." Rehan mengembuskan napas kasar, sudah hapal dengan ucapan papanya yang sering kali dilontarkan jika ia mempermasalahkan perjodohan yang diatur mamanya. "Sudahlah, intinya aku tetap tidak mau pulang semasih mama jodoh-jodohin aku terus," pungkas Rehan, tetap dengan pendiriannya, menolak untuk dijodohkan. Papanya pun menyerah, sadar kalau anaknya memang keras kepala, sama halnya dengan mamanya yang juga tetep kekeh ingin menjodohkan Rehan meski tahu anaknya tidak mau. Bahkan setelah Rehan nekat keluar dari rumah, sang mama juga tetap merancang perjodohan untuk Rehan, dan dirinya sebagai suami pun tak bisa berbuat apa-apa jika istrinya itu sudah kekeh dengan keputusannya. Seakan trauma dengan kasus yang menimpa Rehan beberapa bulan yang lalu, sang mama sekarang jadi selektif terhadap siapa pun yang dekat dengan Rehan. "Ya sudah, papa pulang sekarang. Kamu juga mau berangkat ke kantor kan?" Rehan mengangguk kala sang papa menepuk-nepuk bahunya. "Jangan lupa sarapan dulu, kalau begitu papa pulang dulu. Oh ya, kamu nggak boleh lupa buat dateng ke peresmian kantor baru pak Adit. Papa sudah bilang kalau kamu yang akan menghadiri acaranya." Papanya mengingatkan kembali tugas Rehan siang ini. "Iya Pa, Rehan bakal datang kok." "Ya sudah, papa pulang." "Iya Pa, hati-hati. Salam buat mama sama oma," kata Rehan saat mengantar papanya menuju mobil. "Iya, kamu juga telepon mama sekali-kali. Mamamu kayaknya kangen banget, tiap malam cuma ngeliatin foto-foto kamu. Boleh kesal, tapi jangan benci mamamu," ucap papanya setelah masuk mobil. "Iya Papa, nanti Rehan telepon mama," balas Rehan. Setelah itu mereka pun berpisah. Sang papa kembali ke rumah, sedangkan Rehan langsung tancap gas menuju kantor. Tak butuh waktu lama untuk sampai di kantor, karena jarak tempuh dari apartemen sampai ke kantornya hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Dibandingkan dari rumahnya, jelas apartemen jauh lebih dekat. Alasan kenapa Rehan lebih suka tinggal di apartemen, karena aksesnya yang lebih gampang dan dekat ke mana-mana. "Pagi Pak." Seorang satpam menyapa Rehan saat dirinya memasuki kantor. "Pagi." Rehan membalasnya dengan senyuman ramah. Begitu juga dengan para karyawan lain yang sudah lebih dulu datang, mereka yang berpapasan dengan Rehan pun menyempatkan diri untuk menyapa atau memberikan senyum kesopanan. Hal yang paling Rehan suka dari kantor barunya. Berhubung hari ini ia harus menyerahkan laporan perusahaan kepada papanya. Rehan pun memutuskan untuk ke ruangan bu Vela terlebih dahulu sebelum menuju ruangannya. Ia mau meminta laporan tentang perusahaan dan data semua karyawan, agar memudahkannya dalam berkoordinasi tentang pekerjaan nantinya. Rehan keluar dari lift di lantai lima, di mana ruangan bu Vela berada. Saat keluar dari lift, pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita dengan rambut sebahu, memakai dress selutut bewarna putih dipadu dengan blazer warna pink, sedang mondar-mandir di depan ruangan bu Vela. Rehan menghampiri wanita itu dan ia mengenalinya, wanita yang tidak lain salah satu karyawan yang direkomendasikan bu Vela untuk menjadi sekretarisnya. "Mia?" Wanita yang dipanggil Mia oleh Rehan itu langsung menoleh, nampak terkejut mendapati Rehan di belakangnya. Lantas buru-buru ia berbalik, terlihat gugup, tapi masih sempat memberikan senyuman ramah. "Pak Bos." "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Rehan, sekadar basa-basi. Tapi siapa kira jika Mia akan menjawabnya dengan serius. "Begini Pak." Mia terlihat ragu-ragu, tapi ia juga tak punya pilihan lain. Lantas ia pun menceritakan maksud dan tujuannya datang kemari. "Sebenarnya saya ke sini karena ingin memberikan ini pada bu Vela," Mia menunjukkan amplop bewarna putih di tangannya, membuat Rehan sedikit penasaran akan isi di dalamnya, "tapi ternyata bu Vela justru tidak masuk karena kabarnya anak beliau dilarikan ke rumah sakit pagi ini." Rehan tampak terkejut mendengarnya, pasalnya ia tak mengetahui hal itu dan bu Vela juga tak memberinya kabar soal tidak masuknya beliau. "Memangnya apa itu?" Rehan lantas menanyakan isi amplop tersebut, karena sepertinya amplop itu sangat penting sampai Mia kelihatan kebingungan. "Ini," Mia menatap amplop yang ada di tangannya, lalu kembali menatap Rehan dengan ekspresi sedih, "surat pengunduran diri Rania, Pak. Pagi tadi dia menitipkannya pada saya, katanya dia sedang tidak enak badan jadi tidak bisa datang———" Mia tercekat karena Rehan secara tiba-tiba merebut amplop di tangannya. Mendengar nama Rania disebut, Rehan tanpa berpikir waras langsung mengambil surat dari tangan Mia dan membukanya. Seperti yang dibilang Mia sebelumnya, amplop itu memang benar berisi surat pengunduran diri Rania. Dan hal tersebut sukses membuat kepala Rehan mendidih. Ia merasa sudah ditipu oleh Rania. Setelah banyak uang yang ia berikan pada wanita itu, bisa-bisanya wanita itu malah ingin menipunya, mengingkari kesepakatan dan berniat melarikan diri darinya. Sial! Rehan tak bisa lagi bersabar. Ia kesal, emosi dan ingin marah. Yang pasti dirinya tidak terima diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita, apalagi wanita yang baru ia kenal dan sudah membawa kabur uangnya tanpa menepati perjanjian yang telah mereka sepakati. Awas saja kamu, Rania! Kali ini Rehan benar-benar geram. Ia tak akan pernah melepaskan Rania, bahkan ke ujung dunia sekalipun akan dikejarnya. Ke mana pun kamu pergi, aku pasti akan menemukanmu, Rania. "Pak ...." Mia menganga melihat Rehan merobek-robek surat pengunduran diri Rania. Ia menelan ludah, menatap ngeri Rehan yang menunjukkan ekspresi penuh amarah. Bahkan tubuhnya sampai bereaksi lebih, saking takutnya melihat Rehan yang awalnya tampak ramah tapi kini justru terlihat sebaliknya. Sangat menyeramkan! "Kamu tahu alamat rumah Rania?" tanya Rehan. Mia yang ketakutan refleks mengangguk. Ia tidak mau jadi sasaran kemarahan Rehan, lantas tanpa pikir panjang ia memberikan alamat rumah Rania kepada Rehan. Setelah mendapatkannya, lelaki itu langsung pergi dari hadapannya. Mia akhirnya bisa bernapas leg setelah sosok Rehan menghilang ke dalam lift. "Huh, ganteng-ganteng kalau marah nakutin, kayak valak," dengkus Mia, mengerucutkan bibirnya. Lalu ia terpikirkan sesuatu. "Kira-kira nasib Rania gimana ya? Kayaknya pak Rehan marah banget tahu Rania mau resign." Mia yang malas berpikir pun kemudian mengedikkan bahunya, tak acuh. "Bodo amat ah, itu urusan dia. Lagian salah sendiri resign dadakan." Mia pun berlalu menuju ruangannya. Sementara Rehan sudah melaju di jalan raya. Ia menancap gas, mempercepat laju mobilnya menuju kediaman Rania. Rehan tidak sabar untuk membuat perhitungan pada wanita itu. Ia tak butuh penjelasan, tapi yang ia inginkan ialah pertanggungjawaban. Karena Rania sudah mengambil haknya, seharusnya wanita itu memenuhi kewajibannya. Rehan tak peduli, ia tak mau rugi. Kalau Rania saja bisa bertindak sejauh ini, maka ia bisa lebih nekat dari yang dibayangkan. Setelah menempuh perjalanan lumayan jauh, akhirnya Rehan tiba di depan kediaman Rania. Ia bergegas keluar dari mobil, memasuki pekarangan rumah kecil tersebut. Tapi sialnya, sorot mata Rehan langsung tertuju pada rantai besi bergembok yang menyegel pintu rumah itu. "Sialan!" Rehan mengutuk Rania, karena berani-beraninya kabur setelah menipunya. Ia tak menyangka jika wajah polos itu ternyata sama saja dengan wanita dari masa lalunya yang juga menipu dirinya. "Awas saja kamu, Rania. Aku akan membuatmu menyesal karena sudah bermain-main denganku!" Rehan mengepalkan kedua tangannya, melangkah tergesa-gesa kembali ke dalam mobil. Setelahnya ia segera menghubungi seseorang. "Halo," Orang di seberang sana langsung mengangkat panggilan dari Rehan, "bagaimana? Kau sudah menemukannya?" Rehan mendengarkan laporan dari orang itu. "Oke, kerja bagus, thank's." Akhirnya Rehan mengetahui keberadaan Rania berkat laporan dari orang suruhannya. Lantas ia pun langsung tancap gas menuju alamat yang diberikan orang suruhannya. Beruntung alamat yang dituju tidak begitu jauh dari rumah Rania. Rehan langsung memarkirkan mobilnya di depan pelataran rumah yang sama kecilnya dengan rumah Rania tadi. Ia segera turun, melihat ke sekitar untuk memastikan keadaan. Setelah itu melangkah ke depan pintu. Rehan yang tidak sabar, mengetuk pintu dengan keras dan memburu. Ia tak peduli jika hal itu bisa memancing kemarahan si pemilik rumah. Karena dirinya saat ini jauh lebih marah, rasanya ia ingin memakan Rania sekarang juga. Tak kunjung mendapat sahutan dari dalam, Rehan menambah tempo ketukan menjadi gedoran menggebu-gebu. Hingga terdengar sahutan dari dalam. "Iya sebentar." Rehan mengenali suara itu, suara familiar milik wanita yang sedang ia cari. Suara Rania. Rehan pun semakin kencang menggedor-gedor pintu, hingga tak berselang lama pintu pun terbuka lebar, menampilkan sosok wanita yang langsung terkejut saat melihat dirinya. "Bos?" Wanita itu benar Rania, melotot horor melihat Rehan ada di depannya. "Halo, Rania." Rehan menyapa Rania, dengan ekspresi super dingin. Ia benar-benar menunjukkan sisi seramnya kali ini pada Rania.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD