Felora belum mengatakan apa pun selain kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menatap pria paruh baya yang ada di depannya. Jantungnya berdebar kuat, akhirnya setelah hampir dua puluh tahun dirinya hidup di dunia, ia bisa melihat secara langsung rupa Hanan Luham. Dia duduk di sana dengan tidak nyaman. Tidak bisa nyaman, apalagi menyingkirkan perasaan terpaksa. Namun, lidahnya terasa kaku, bibirnya enggan terbuka untuk mengatakan apa pun. Halim memberi kode pada Kikan dan lainnya untuk meninggalkan ruangan di sana, “kami tinggal ya, Fel...” Felora menatap ayahnya, Halim memberi usapan kecil penuh makna. “Aku mau Sagara tetap di sini,” Felora tidak mau hanya berdua dengan Hanan, sungguh dia sangat tidak nyaman. Dia butuh ditemani agar bisa bertahan lebih lama atau jika tidak, bisa j