Rindu 2

880 Words
Mengingat Melia membuat kaki Delia gemetar tiba-tiba. Bayangan sang kakak yang dinodai oleh kekasihnya sendiri di atas ranjangnya membuat Delia bergidik, ngeri, dan lari keluar kamar. Kemudian duduk dengan napas ngos-ngosan di atas sofa. Lelaki yang dicintai kakaknya tega m*****i dan menjadi otak perampokan di rumah mereka. "Mbak Delia, minum air dulu!" Mak Ni yang sudah hafal kebiasaan Delia segera mengangsurkan segelas air putih, sambil duduk di sebelah gadis itu dan mengusap punggungnya. "Makasih, Mak," ucap Delia lirih. "Kalau Mbak bosan di rumah, kita bisa pergi jalan-jalan. Nanti Mak Ni telepon Cak Rohmat biar nganterin kita keliling kota." Delia memandang ART-nya cukup lama. Dia tertarik dengan tawaran Mak Ni. Semenjak menikah ia tidak pernah jalan-jalan. Setelah bertemu dokter Era sepuluh hari yang lalu, Delia juga langsung pulang. Dokter Era adalah seorang psikiater yang menangani Delia sejak pertama mengalami depresi. Setahun ini dokter itu yang melakukan psikoterapi dan memberikan obat-obatan untuk mengatasi kecemasan serta stres yang dialami Delia. Setelah Delia mengangguk, Mak Ni segera menghubungi sopir pribadi mamanya Delia. Wanita itu sudah berpesan, kalau Ibarra sibuk dan Delia ingin jalan-jalan, Mak Ni disuruh menghubungi Cak Rohmat saja. Setengah jam kemudian Cak Rohmat sudah membawa Mak Ni dan Delia keliling kota Surabaya. Gadis itu menikmati perjalanannya sambil menepis ketakutan melihat orang-orang asing di luar sana. "Delia, tidak semua orang jahat. Banyak orang baik di dunia ini. Terapkan positive thinking dalam dirimu. Banyaklah ber-husnudzan. Lawan pikiran buruk yang berusaha mempengaruhimu." Delia ingat ucapan Samudra. Dokter umum yang menjadi kakak angkatnya. Mereka pernah dibesarkan bersama-sama dalam satu rumah. Satu-satunya lelaki di antara empat bersaudara. Namun dialah yang memanjakan ketiga adik perempuannya. Dulu ke mana-mana Delia membawa kendaraan sendiri. Dia gadis yang sangat mandiri. Namun sekarang berbalik seratus delapan puluh derajat. Tanpa mereka, Delia tidak bisa apa-apa. Sungguh itu sangat menyedihkan baginya. "Mak Ni, kita ke rumah sakit. Bertemu Mas Sam sebentar," pintanya pada wanita setengah baya yang duduk di sebelahnya. "Oke, Mbak," jawab wanita itu dengan wajah sumringah. Sedapat mungkin Mak Ni harus menunjukkan kegembiraannya di hadapan Delia, itu saran dari Samudra. "Cak Rohmat, mampir ke rumah sakit sebentar ya! Ada yang kangen sama abangnya." Ucapan Mak Ni membuat Delia ikut tersenyum. Wajahnya tak lagi semurung tadi. "Ashiaapp, Nyonya," jawab Cak Rohmat sambil mengangkat tangannya ke udara. "Nyonya siapa?" sahut Mak Ni cepat. "Nyonya Barra lah, masa Nyonya Mak Ni." Cak Rohmat memandang putri majikan dan rekan kerjanya dari spion tengah. "Dulu Nona, sekarang kan udah jadi Nyonya." Maksud Cak Rohmat ingin mencerahkan suasana, tapi justru membuat Delia kembali diam. Dirinya hanya menjadi nyonya di atas kertas saja. Mak Ni yang paham bagaimana kehidupan Delia dan Barra menyentuh tangan majikan perempuannya. Membuat wanita cantik itu menoleh dan membiarkan Mak Ni menggenggam tangannya. Mobil telah terparkir di halaman rumah sakit. Tidak lama kemudian seorang laki-laki muda dengan tubuh tinggi, memakai celana hitam dan kemeja warna biru menghampiri Delia di dalam mobil yang pintunya terbuka. "Assalamu'alaikum," sapa Samudra. "Wa'alaikumsalam," jawab Delia sambil tersenyum. Mak Ni dan Cak Rohmat pun ikut menjawab salam. "Ada yang kangen sama, Mas dokter," ucap Mak Ni pada Samudra. Membuat laki-laki itu tersenyum lebar. Kangen di sini tentunya memiliki makna yang berbeda. Delia kangen padanya sebagai adik kepada seorang kakak, tapi dirinya .... Semenjak Delia menikah, mereka jarang bertemu. Biasanya tiap akhir pekan pasti ketemuan di rumah, meski sebentar untuk makan malam bersama. "Kamu baik-baik saja, kan? Kamu keluar ini pamit nggak sama Barra?" tanya Samudra menatap wajah Delia yang terlihat lebih kurus. "Ya, aku baik-baik saja. Tadi aku nggak pamit." "Nggak boleh gitu dong! Kalau keluar rumah harus bilang dulu sama suami." Samudra mengingatkan. Delia tersenyum sambil mengangguk. "Mas Samudra weekend ini pulang ke rumah papa, kan?" "Tentu. Weekend kemarin Mas juga pulang. Kamu yang nggak pulang." "Hu um. Tapi Minggu nanti aku pulang." "Oke, kita bisa ketemu nanti. Oh ya, tadi malam kamu nelepon Mas. Ada apa?" Delia diam sejenak kemudian menggeleng. Samudra tidak bisa percaya begitu saja, tapi ia tidak mengejar pertanyaan. Pandangannya tak beralih dari wajah polos Delia, gadis yang sangat dirindukannya. Gadis yang mungkin tidak bahagia dalam pernikahannya. Seandainya saja dia mampu menentang semuanya waktu itu .... "Mas, aku pulang dulu ya. Selamat bekerja!" pamit Delia setelah beberapa lama mereka hanya saling diam. "Oke. Weekend ini kita ketemu di rumah. Kalau ada apa-apa telepon saja ya." Samudra mundur menjauh dan membiarkan Cak Rohmat memundurkan kendaraan dan melaju pergi dari sana. Mobil kembali membelah padatnya lalu lintas kota pahlawan. Suara decit rem, klakson, dan deru knalpot menyatu dalam satu aspal. Mentari tanpa kompromi, bersinar garang membakar bumi. "Kita berhenti di toko lapis Surabaya, Cak," pinta Delia. Dijawab anggukan kepala oleh Cak Rohmat. Tiga ratus meter kemudian lelaki itu berhenti di sebuah toko kue yang berada di deretan pertokoan jalan pakis haji. Mak Ni ingin turun sendirian saja, tapi Delia ingin ikut. Dia hendak memilih kue lain yang ia sukai. Ketika Mak Ni sedang bicara dengan karyawan toko, Delia yang menoleh bersitatap dengan Ibarra yang tengah berjalan di koridor pertokoan sambil menggamit pinggang seorang gadis cantik. Delia mengalihkan pandangan pada etalase roti. Beberapa menit kemudian bilang ke Mak Ni bahwa akan menunggu wanita itu di mobil saja. Ternyata Ibarra sudah menunggunya di sana. Bersandar pada bodi mobil dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana. Apa pria itu akan bilang bahwa gadis tadi adalah kekasihnya? * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD