Pernikahan 2

1012 Words
Ibarra ingin memaki, kenapa dia harus menyanggupi perjodohan konyol ini. Orang tuanya begitu tega menjodohkannya dengan gadis depresi yang mungkin dia tak akan paham kalau telah bersuami. Hanya demi balas budi dan kemajuan perusahaan, mereka sanggup menggadaikan kebahagiaannya. Ibarra yang menunduk diam sangat kaget ketika orang tua mereka sepakat kalau pagi itu juga dirinya akan menikah siri dengan Delia. Dikarenakan tidak mungkin mereka akan mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran sementara mengingat kondisi Delia yang belum pulih sepenuhnya. "Bagaimana Delia, kamu akan menikah siri dulu dengan Barra? Setelah itu kalian bisa mengurus pernikahan di KUA. Nanti jika kondisi kamu membaik, kita adakan pesta pernikahan?" Pak Irawan bertanya pada putrinya dengan penuh perhatian. Delia menatap Ibarra cukup lama. Laki-laki itu pun menatapnya dengan pandangan dingin. Meski psikisnya belum benar-benar pulih, dia bisa tahu kalau tatapan pria di depannya menunjukkan rasa tak suka. "Bagaimana, Delia?" tanya Pak Irawan lagi. Dan dijawab anggukan kepala oleh putrinya. Bagai hipnotis, Ibarra sama sekali tidak bisa berkata tidak. Keinginan orang tua dituruti. Dia akhirnya sah menikahi Delia meski masih siri. Pagi ini seperti mimpi bagi pria berahang kokoh itu. Dia seperti terjebak dalam labirin yang diciptakan kedua orang tuanya sendiri. Kenapa mereka begitu tega dengan anak kandungnya sendiri? Lantas bagaimana dengan Cintiara? Ibarra tidak bisa membayangkan hancurnya perasaan sang kekasih. Dalam hati Ibarra terbayang remuknya perasaan Cintiara. Namun mereka yang ada di ruangan itu juga tidak menyadari bahwa ada hati lain yang tak kalah hancur melihat gadis pujaannya menikah dengan pria lain. Dokter muda itu hanya bisa menunduk dalam-dalam. Samudra, kesempatan untuk memiliki perempuan yang dicintai menguap seperti pudarnya kabut pagi. Sebenarnya dia bisa melihat kalau Ibarra hanya terpaksa menikahi Delia, karena perencanaan keluarga. Samudra tahu semuanya. Sebab setelah kedua orang tuanya tiada dalam sebuah kecelakaan pesawat, Samudra yang saat itu baru berusia sepuluh tahun akhirnya diasuh oleh Pak Irawan. Menjadi kakak angkat untuk Melia, Delia, dan Nira. Melia meninggal dunia di rumah sakit setelah menjadi korban perampokan di rumahnya. Samudra akan menjadi pria tak tahu diri jika nekat berterus terang ingin menikahi Delia. Sementara Pak Irawan sudah menganggapnya seperti anak sendiri. "Usiamu sudah tiga puluh tiga, Sam. Menikahlah. Sampai kapan mau ngejomblo. Kamu sudah mapan untuk membangun rumah tangga," kata Pak Irawan ketika mereka makan malam bersama suatu hari. Setelah Samudra mulai bekerja di sebuah rumah sakit swasta di kota Surabaya, laki-laki itu memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan dekat rumah sakit. Kadang seminggu sekali di waktu luangnya, dia berkunjung ke rumah Pak Irawan. Atau pas ada acara tertentu, ia selalu menyempatkan untuk datang. Inilah bentuk balas budinya pada orang yang telah membuatnya seperti sekarang ini. Jasa Pak Irawan tidak akan pernah ia lupakan. "Mak Ni, obatnya Delia masih ada, kan?" tanya Samudra pada wanita setengah baya yang bekerja di rumah papa angkatnya. Wanita itu yang mengurusi segala keperluan Delia. "Alhamdulillah, masih ada, Mas." "Oke. Kalau dia ikut suaminya, tolong obatnya jangan sampai ketinggalan." "Njih, Pak Dokter. Nanti saya ingatkan Mbak Delia." Samudra yang hendak pulang, berhenti di dekat tangga ketika melihat Delia turun. "Hai, selamat pengantin baru adikku yang cantik dan sholehah," ujar pria itu sambil tersenyum pada Delia. Meski perasaannya telah lebur, dia akan berusaha tetap menjadi kakak yang baik untuk Delia dan Nira. "Makasih, Mas." "Aku belum nyiapin kado buatmu. Kamu mau kado apa?" Delia diam sambil menunduk. "Doakan saja aku bahagia, Mas. Itu akan jadi kado terindah buatku." Perasaan Samudra tersentuh. Dadanya terasa penuh dan sesak. "Tentu. Mas akan doain kamu. Telepon Mas jika kamu butuh sesuatu atau ada apa-apa." "Hu um." Samudra menatap gadis yang kini sudah bergelar istri orang itu cukup lama. Selama ini kepadanya saja Delia mau banyak bicara. Berhadapan dengan orang baru hanya menimbulkan ketakutan baginya. Jika Ibarra tidak memahami hal ini, akan memperburuk psikis adik angkatnya. Entah apa tujuan papa angkatnya menjodohkan Delia dengan Ibarra yang tampaknya tidak memiliki perasaan terhadap gadis yang diam-diam ia cintai. Samudra menarik napas sejenak. "Mas pulang dulu ya!" "Iya." Delia menatap punggung pria itu hingga hilang di balik pintu. Kemudian kembali naik ke lantai dua. Berada satu kamar dengan Ibarra membuat Delia kebingungan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Lelaki itu pun sangat dingin dan enggan memandangnya. * * * "Mbak Delia nggak mau minum obat, Pak." Asisten rumah tangganya memberitahu Ibarra yang ada di ruang kerjanya. Sudah hampir sebulan ini dia mengajak Delia tinggal di salah satu apartemen milik keluarganya. Supaya teman-temannya tidak tahu bahwa ia menikahi perempuan yang terganggu psikisnya. Pria umur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kesal. Meletakkan bolpoinnya di meja lantas ke kamar mereka. Ibarra mengambil obat dan air minum di nampan yang disediakan oleh ART-nya. Kemudian meletakkan obat itu di telapak tangan Delia. "Kamu minum obatnya. Jangan menambah masalahku dengan hal sepele begini," ucap Ibarra sambil mengangsurkan segelas air putih. Delia tidak ingin berdebat, meskipun sebenarnya sudah bosan minum obat. Tidak ada perhatian layaknya seorang suami pada istrinya. Sebulan ini mereka tetap menjadi orang asing yang terjebak hidup dalam satu atap. Namun Delia juga tahu, ia sering mendengar Ibarra bicara dengan seseorang. Berkata mesra dan membujuknya. Dia memang depresi tapi tidak gila. Jadi masih bisa menyimpulkan apa yang dilakukan suaminya. Orang yang sering di teleponnya itu pasti kekasihnya. Lalu untuk apa setuju menikahinya jika ada perempuan lain yang Ibarra cintai. Setelah pria itu keluar kamar, Delia menatap hampa pada lantai marmer di kamarnya. Terus hubungan mereka ini sebagai apa? Terikat pernikahan tapi tidak saling bercanda. Bicara pun hanya seperlunya saja. Delia rubuh di pembaringan, peristiwa kejam itu kembali terbayang dan membuatnya menggigil ketakutan. "Kamu kenapa?" tanya Ibarra saat kembali masuk kamar dan melihat Delia meringkuk dengan tubuh dibasahi keringat. Delia menggeleng. Ibarra menyentuh kening istrinya yang basah berpeluh. "Aku nggak apa-apa," ucap Delia lirih. "Harusnya kamu rutin minum obat. Siang tadi kata Mak Ni obatnya juga nggak kamu minum." Ibarra geram juga. Jika terjadi apa-apa, dialah orang yang sekarang paling bertanggungjawab. "Maaf, aku hanya menyusahkanmu saja," ucap Delia lirih. Namun jelas di dengar oleh Ibarra. "Jika nggak ingin menyusahkan aku. Sebaiknya kamu harus baik-baik ngurusi dirimu sendiri." Delia ketakutan saat memandang wajah tampan Barra yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan sebagai seorang suami. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD