PART 10 - MISSION IMPOSSIBLE.

1859 Words
Menjalin sebuah hubungan tidak semudah membalik telapak tangan. Entah hubungan antar kekasih, atau pun hubungan persahabatan. Danil, Ega dan Dipta salah satu dari orang yang berhasil untuk saling menghargai, sekalipun sering kali terdengar saling memaki, saling memukul atau saling mengumpat satu sama lain, nyatanya mereka berhasil menjaga persahabatan hingga tahun ketiga di sekolah ini. Tinggal beberapa bulan lagi mereka lulus dari sekolah ini. Danil dan Dipta memang rencana kuliah, entah dengan Ega. Karena perekonomian keluarga Ega di bawah Danil dan Dipta. Mereka selalu bersama dalam setiap kesempatan, entah itu nongkrong di lapangan, main game di parkiran motor atau bahkan menyantap makanan di kantin. Seolah jika hanya sendiri atau berdua ada yang kurang lengkap. Kebanyakan para siswi lebih sering memperhatikan mereka bertiga, karena lebih penasaran dengan sosok Danil yang memiliki wajah tampan di atas Ega dan Dipta, tapi memiliki sikap cuek. Tidak seperti Ega dan Dipta yang lebih ramah dalam bersikap. Seperti halnya saat ini. Danil masih asyik menyantap baksonya, mengunyahnya perlahan, sambil menikmati rasa dari makanan olahan itu, sementara Ega dan Dipta sudah lebih dahulu menghabiskan makannya. Walau begitu Ega dan Dipta masih tetap menemani dengan menghabiskan minumannya. Suasana kantin pun semakin ramai. "Kenyang banget dah hari ini," ucap Ega sambil mengusap perutnya. Tak lama mata Ega memindai sesosok tubuh yang tak henti sering ia sapa kala berjumpa. Ega dan segala rayuan mautnya sudah terkenal di sekolah ini. Walau hingga saat ini belum ada satupun siswi yang berkenan menjadi kekasihnya. "Selamat siang Hana, beli bakso juga ya?" Telinga Danil menangkap suara Ega. Ia menoleh sedikit, dan melihat sosok gadis yang beberapa hari lalu ia beri ceramahan dan berakhir dengan ucapan terima kasih yang sebenarnya terlambat sekali. Tatapan kesal masih ia tunjukkan pada gadis ini. Sementara Hana menatap pada ketiga orang yang ia tahu bersahabat. Siapa yang tidak kenal Danil, Ega dan Dipta. Tiga sahabat yang selalu terlihat bersama di segala suasana. Danil yang tampan tapi cuek. Dipta yang tinggi kurus tapi sedikit ramah. Ega yang sedikit gemuk dan paling ramah di antara yang lain. Walau begitu hanya Danil yang bisa dikatakan memiliki wajah tampan dengan tubuh yang proporsional, tidak kurus dan tidak gemuk juga. Hanya sayang di mata Hana, Danil terlalu jutek angkuh dan sebutan lainnya. Tapi anehnya selalu jadi buah bibir kaum hawa di sekolah ini. Danil kembali melanjutkan makannya, setelah sepersekian detik bertatapan dengan Hana. Gak penting. "Aku cuma ambil nampan." Hana memperlihatkan nampan kosong di tangannya. "Gorengannya habis ya?" Mata Ega terlihat menatap nampan Hana penuh harap. Barangkali ada sisa yang bisa dipinta. Danil baru sadar dengan plastik besar yang pernah ia lihat dibawa Hana pagi itu. Oh ternyata dia jualan gorengan. Rajin amat sih, sekolah sampai jualan gitu. Hana tersenyum. "Iya, maaf ya. Besok ada lagi kalau kamu berminat." "Bonus dong Hana sekali-kali." Kedua alis Ega turun naik. Kembali melancarkan jala pemikat. "Bonus?" tanya Hana bingung. "Iya, buy one get ten." BUGH! Punggung Ega dipukul Dipta. Membuat bukan hanya Ega yang kaget, Danil pun sama. Ia menghentikan makannya dan menatap kesal pada Dipta. Karena apa yang Dipta lakukan mengganggu keasikannya makan. "Eh sakit gila." Mata Ega melotot ke arah Dipta. "Buy one get ten. Lo beli apa merampok?" Ega memasang senyum lagi. "Eh namanya juga usaha, boleh kan Hana, kalau abang Ega sesekali berharap lebih?" Kini kening gadis manis dengan kulit kuning langsat itu melipat heran. "Udah Hana, gak usah dengar, temen gue lagi lupa minum obat." Dipta mengibaskan tangannya, supaya Hana lekas pergi. Dengan menggeleng, Hana berlalu pergi. Sebelumnya ia menoleh pada Danil, tapi melihat Danil yang enggan menatapnya, membuat Hana berlalu pergi. "Usaha deketin cewek jangan kayak gitu kali. Yang ada si Hana ogah deket-deket sama lo," saran Dipta. Ega mengernyit mendengar nasehat Dipta yang penuh semangat. Kayak dia berhasil aja. "Tar lo liat cara gue deketin Evelyn,"ucap Dipta bangga. Ega memasang wajah mau muntah. "Bah! Kayak yakin aja Evelyn bakal terima lo." "Lah, kenapa gak? Persentasi Evelyn terima gue, lebih banyak daripada persentasi Hana terima lo." "Lo kata mereka suku bunga bank pake persentasi segala." "Bukan suku bunga bank yang cuma dikit persentase kenaikannya tiap bulan. Mereka lebih pantas diibaratkan seperti bunga yang tengah merekah di taman, yang sanggup membuat persentase debaran jantung gue naik seratus persen kali lebih," tutur Dipta yang sukses membuat Ega menganga. Sejak kapan Dipta berubah menjadi penyair? Karena ia lebih cocok jadi kang sayur daripada kang syair. Danil meletakkan sendok di mangkok, tanda ia selesai makan. "Lo masih mau ribut berdua? Gue balik." Tanpa memperdulikan sahabatnya, Danil bangkit menuju kelas. Mending dia berdiam di dalam kelas dan membuka buku daripada di sini membuka telinga mendengar sahabatnya beradu pendapat tentang wanita, yang ada dia bisa muntah. Sayang bakso yang baru saja mendarat di perutnya ini jika harus keluar lagi. "Set dah, main cabut aja. Tunggu oy." Ega bergegas mengikuti Danil, Dipta pun tak kalah cepat. "Ditunggu malah main cabut aja." ** Matahari siang itu sudah mulai terik, ketika Danil dan kedua sahabatnya sudah mulai keluar kelas dan berjalan menuju parkiran motor. Bubaran sekolah sudah ditandai bunyi bel sejak tadi. Tapi Dani dan kedua sohibnya memang menunggu bubaran kelas agak lama. Karena parkiran motor pasti macet dengan banyaknya siswa yang bawa kendaraan roda dua ke sekolah. "Kita jalan kemana nih?" tanya Danil. "Sorry brader, gue lagi ada misi." Alis Dipta turun naik dengan wajah bangga. "Misi? Mision imposible?" celetuk Ega. "Evelyn, biasa he he he. Gue mau ke sekolah dia bentaran. Usaha bro, usaha." Dipta menepuk bahu Danil. Sementara Danil hanya menggeleng. Jadi sekarang, wanita lebih penting dari acara nongkrong? Perasaan dulu dia sama Delia selalu mengutamakan acara nongkrong, hingga gadis itu berulang kali protes dan Danil tidak peduli. "Kalau gitu, gue duluan ya misinya." Tanpa menunggu lama, Ega berlari ke arah lapangan. Tatapan Danil dan Dipta ikut kemana Ega sekarang. Mereka menghembuskan napas melihat usaha Ega yang tak pantang lelah ini. Siapa lagi kalau bukan Hana. "Hai Hana, selamat siang." Ega memasang wajah dengan senyum semanis mungkin. "Siang Ega." Hana membalas senyum Ega, dan menoleh ke belakang melihat kedua sahabat Ega melirik ke arahnya. "Mau langsung pulang atau mau ke SMA Perdana?" tanya Ega semanis mungkin. Hana menyelipkan rambutnya yang terbang beberapa ke pipi, kembali memfokuskan retinanya pada wajah ramah Ega. Entah sudah berapa kali lelaki ini menyapanya. Di kantin, di lapangan, di perpustakaan, sekarang di depan gerbang sekolah. Tiada pernah lelah menyapa dan terus tersenyum. "Mau langsung pulang, karena hari ini nampan yang ke SMA Perdana libur." "Aku anter boleh gak?" Kupu-kupu di dalam d**a Ega sudah mulai beterbangan. Bicara dengan Hana saja seperti ini, bagaimana jadi pacar Hana? Otak Ega sudah traveling kemana-mana. Hana melipat keningnya sambil berpikir. "Terima kasih Ega, tapi maaf aku gak bisa terima kebaikan kamu. Mungkin next time ya. Aku duluan Ega." Lalu Hana mempercepat langkahnya, meninggalkan Ega yang termangu berdiri sendiri. Next time lagi? Next time apa next day? Gak sekalian dia bilang next week, next month atau next year sekalian? Susah amat sih mau anter pulang aja. Gratis padahal, gak gue pinta bayaran. Ya kali gue disamain ama kang ojek pengkolan rumah atau Abang ojol yang selalu meminta bintang saat penumpangnya turun. Cuma minta bayaran hati padahal. Hampir Ega jatuh ke depan saat merasakan punggungnya dipukul dari belakang. "Kalau ini baru namanya Mision Imposible ha ha ha." Dipta terbahak melihat kembali kegagalan yang dialami Ega. Sementara Danil hanya mengulas senyum, melihat Ega memiliki inceran baru. Entah sudah berapa banyak siswi di sekolah ini yang menolak cinta Ega. Dan sahabatnya yang satu ini termasuk laki-laki yang tidak pantang menyerah ternyata. "Heran gue ya, diantar naik motor lho, masih aja dia nolak. Apa perlu gue tawarin gendong dia di pundak, biar dia gak capek sekalian?" Ega menggeleng sambil bertolak pinggang menatap sosok Hana yang seakan berjalan terburu-buru. Seperti orang yang memang menghindari Ega. "Gue ada ide, biar dia gak nolak lo," bisik Dipta serius. Dan bodohnya Ega menanggapi dengan alis menukik. "Besok-besok lo bawa Fortuner, dijamin dia gak bakal nolak," pesan Dipta. Lalu ia kembali tergelak. "Kalau bawa itu mah sekalian gue ajak dia honeymoon," gerutu Ega kesal. Seharusnya ia tidak mendengar nasehat Dipta yang menyesatkan. Bagaimana tidak menyesatkan, jika tiba-tiba ia bawa Fortuner ke sekolah. Itu bukan mengundang Hana, tapi mengundang tim abdi negara namanya. Ya kali demi Hana, Ega harus merampok dealer dulu. "Buset dah, mikirnya honeymoon. Jauh oy. Ujian depan mata." ** Dipta memperhatikan dari depan warung yang ada di SMA PERDANA. Ia menunggu gadis bernama Evelyn itu untuk keluar dari gerbang sekolah. Mudah-mudahan kali ini aku bisa bertemu dan meminta nomor telepon gadis itu. Dan seperti dugaannya, sosok yang ia tunggu keluar dari gerbang sekolah. Dipta sudah memasang senyum dan hendak bangkit menghampiri. Tapi langkahnya terhenti, ketika melihat mobil yang berhenti tepat di depan tubuh Evelin. Yang membuatnya terpaku, saat melihat Evelin masuk ke dalam mobil itu, dan membawa tubuh gadis itu pergi. Dipta hanya menganga, shock dan matanya melotot tak percaya, hingga keluar kata-kata dari suaranya yang terdengar seperti orang gagap. "I-itu ... itu kan mobil Om Yusuf." Hah! Dipta membuang napas yang tadi sempat tertahan. Seperti orang habis berlari jauh, Dipta mengelus dadanya. "Kenapa Evelyn masuk ke dalam mobil Om Yusuf ya?" Berjuta pertanyaan muncul di benaknya Dipta. Berbagai prasangka pun berlarian di otaknya. Semakin ia berpikir semakin ia kesal maximal. Membayangkan gadis secantik Evelyn menjadi baby sugar Om-Om seperti Papa sahabatnya. "Masa iya sih, tampang polos gitu jadi dedek-dedek gemes Om-Om." Seketika ia menggeleng. "Ah siapa tahu bukan." "Tapi itu bener lho mobilnya Om yusuf. Gue gak mungkin salah lihat. Plat nomornya gue hapal kok." Kini Dipta berkacak pinggang. "Tapi kalau bukan, ngapain dia masuk ke mobil Om Yusuf. Om Yusuf kan tajir melintir. Buset deh, demen sama yang imut-imut juga ternyata. Untung gue gak ajak Danil kemari. Astaga, ternyata ada yang nasibnya lebih malang dari tetangga gue. Gak kebayang Om Yusuf nikah sama Evelyn. Saingan gue berat banget deh ah. Bukan Danil lagi coy, bapaknya." Dipta menepuk keningnya. "Astaga, gue mikir apa sih. Aneh amat. Siapa tahu Evelyn numpang doang sama Om Yusuf. Numpang pulang gitu maksudnya? Tunggu, pulang ke rumah Evelyn yang dibelikan Om Yusuf gitu? Sama aja dong." Masih dengan mulut mengoceh sendiri. Melupakan jika apa yang Dipta lakukan membuat beberapa orang meliriknya aneh. "Mas, lagi mau test jadi artis ya?" tegur ibu-ibu penjaga warung kopi. "Eh kagak, emang kenapa?" tanya Dipta heran. "Kok dari tadi komat-kamit gak jelas mulutnya." "Saya lagi ngapal mau ujian bu. Nih saya bayar kopinya. Kepo amat sih jadi orang." Dipta memberikan selembar uang lima ribuan ke ibu warung. "Bukan apa Mas, kalau casting sinetron, ajak-ajak saya dong. Kali saya cocok jadi artis. Peran piguran gak apa-apa deh." Ibu warung kicep-kicep sok cantik. Membuat rahang Dipta nyaris jatuh ke lantai. Ia melirik ke arah wanita pemilik warung yang sebenarnya sudah berumur tapi masih berdandan menor, layaknya orang mau melenong. "Serius ibu mau ikut casting sinetron? Mending casting layar lebar bu, lagi butuh orang nih buat peran piguran." Dipta iseng memberi usul. "Hah serius Mas?" "Iya, lima rius malah." Dipta membuat wajahnya seserius mungkin, padahal hatinya sudah siap-siap terbahak. "Apa judulnya Mas ganteng?" Ibu pemilik warung terlihat bersinar kedua bola matanya, hingga dapat dipastikan mampu mengalahkan sinar lampu yang ada di dalam kamar mandi milik Dipta di rumah. "Tenggelam di sumur keramat, bagian nyemplung ke sumurnya, mau gak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD