5

1257 Words
Hari ini aku ke rumah pacarku yang mengerikan itu, secara terpaksa karena masih sayang nyawa. Sudah tiba dari tadi tapi nggak ada nyali walau sekedar memencet bel atau mengabari kalau sudah sampai. Aku takut, rasanya ini lebih mencekam daripada kejebak satu ruangan sama suster ngesot. Aku melirik sepeda motorku yang terparkir di depan rumah Redha. Niat kabur selalu ada tapi rasanya akan sangat menakutkan untuk menghadapi atau sekedar membayangkan nasibku di hari esok. Aku bukan pengecut, cuma takut kalau kabur, aku akan menemui ajal keesokan harinya. Terlalu paranoid nggak, cuma berfantasi sesuai fakta. Ingat, menyelesaikan masalah tanpa masalah, itu hanya prinsip pegadaian. Karena manusia setiap menyelesaikan masalah, terkadang justru nambah masalah. Apa hubungannya? Entah. Trus aku kudu ottoke? Diam aja, pasrah. Begitu prinsipku. Aku bukan fansboy apalagi fansgirl, cuma suka denger temen cewekku ngomong gitu jadi ketularan dan nggak sengaja diterapkan barusan. Pintu terbuka dan aku hanya melongo seperti biasa. Kulihat Redha, dengan pakaian biasa, rambut yang dia biarkan terurai dan wajah yang entah mengapa tampak berbeda. Aku baru menyadari kalau dia itu... biasa aja. "Aku cantik," katanya dan aku buru-buru mengangguk. Rupanya selain berbakat sebagai malaikat maut, dia juga bisa baca pikiran. "Cantik!"Redha menegaskan lagi. "Iya, cantik banget," sahutku. Redha menatapku sinis. "Lama," keluhnya. "Masih muter nyari alamatnya," kataku beralasan. "Kan sudah share location," sanggahnya. "Iya, masih bingung," jelasku. "Oon?" tanyanya dan aku hanya memasang wajah datar. "Sudah kuduga," katanya lagi dimana aku hanya diam meski sedikit merasa sakit hati. Harga diri nggak penting lagi bagiku sejak aku ketemu Redha. Masih bernyawa setelah ini, itu prioritasku hidupku sekarang. "Masuk!" suruhnya. Aku menurut, masuk ke dalam rumah dan langsung terperanjat kaget saat melihat empat orang sudah berdiri menyambutku. "Ini ayahku," kata Redha memperkenalkan seorang lelaki dengan kumis dan jengkot tipis. Wajahnya terlihat galak dan ia menatapku dengan lekat. "Ha-halo, Om. Saya Iqbaal," kataku memperkenalkan diri. Lelaki yang merupakan ayah Redha itu tidak bereaksi, hanya menatapku dan rasanya entah mengapa lebih horor daripada ngeliat hantu kuntilanak nyisir rambut depan mata. "Ini ibuku," kata Redha lagi. Aku beralih mengarahkan pandanganku ke seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah kepala tiga. Kulitnya putih dengan mata yang teduh. Entah mengapa nggak terlalu serem meski dipelototin oleh ibunya Redha. "Iqbaal, Tante!" kataku kembali memperkenalkan diriku. "Udah denger," katanya judes dan aku langsung merasa mual, perutku pusing. "Ini adikku," kata Redha menunjuk seorang anak laki-laki yang sepertinya masih SD. "Ini adikku juga," katanya menunjuk seorang anak laki-laki yang memiliki tinggi badan yang melebihi dirinya. Dari wajahnya, walau hanya perkiraanku, dia sepertinya tidak jauh usianya dariku. "Dani," katanya memperkenalkan dirinya. "Iqbaal," kataku juga memperkenalkan diriku. "Aku kelas X," lanjutnya. "Aku kelas XI," sahutku. "Pacarnya Redha?" tanyanya. Aku mengangguk. "Diguna-guna ya kok mau?" tanyanya. Aku cuma nyengir kaku. Pletak. Redha mendaratkan jitakan ringan di kepala Dani dan lelaki tinggi itu hanya menatap sinis pada Redha. "Sakit tauk!" protesnya. "Lebih sakit mana sama tuduhanmu? Guna-guna, enak aja ngomong gitu. Iqbaal tauk yang nembak aku duluan,” sanggah Redha. Dani menautkan alisnya lalu menatapku lagi. "Kamu yang nembak?" tanyanya meminta kepastian. Aku mengangguk. "Iya." "Kenapa?" tanyanya penasaran. Aku menelan ludah terasa pahit dan sakit di tenggorokan. "Anu," kataku merasa gugup. "Sudah pasti karena Iqbaal suka aku, sudah jangan banyak tanya," sergah Redha tidak suka. "Aku yakin, dia pasti menjadikanmu taruhan," tuduh Dani yang seketika membuatku berkeringat dingin. Apa aku ketahuan? Redha mengernyitkan keningnya lalu menoleh ke arahku. Aku hanya senyum kaku, rasanya aku tidak bisa menyelamatkan diri lagi. "Nggak mungkin, Iqbaal bukan cowok seperti itu," sanggah Redha membuatku terharu. "Ya sudah kalau begitu," kata Dani mengalah. "Sudah, bagaimana kalau kita mulai saja," kata ibunya Redha. Mulai? Apanya? Proses ritual? Proses memasakku atau apa? "Yasudah," kata Redha. Redha mendekat. Awalnya kupikir mau membekapku atau melakukan sesuatu yang aneh, tapi pada akhirnya dia hanya menggandeng lenganku. "Ayo ke ruang makan," ajaknya. Keempat anggota keluarga Redha yang lain sudah jalan duluan. Jadi, aku dan Redha hanya di belakang, berdua, dengan pose seolah pasangan bahagia. Walau kenyataannya aku nggak merasa begitu. "Kamu alergi sesuatu, Baal?" tanya Redha saat kami dalam perjalanan singkat menuju ruang makan. "Iya," jawabku. "Apa?" tanyanya. "Seafood," jawabku dan Redha tersenyum lebar. "Syukurlah," katanya merasa lega. "Kenapa, Re?" tanyaku. "Kami pecinta daging," jawabnya. "Tapi bukan daging dari hewan laut," imbuhnya. Redha melirikku dengan menyeringai dan aku hanya mampu menelan ludah. Mereka bukan pecinta daging manusia juga kan? "Dagingku nggak enak, Re!" kataku tanpa sadar dan Redha menautkan alisnya setelah mendengar pernyataan konyol itu. "Emang pernah makan dagingmu sendiri kok tahu?" tanyanya. "Heh? Ng-nggak sih tapi," aku menghentikan ucapanku saat Redha tiba-tiba berhenti dan menatapku tajam. Cewek itu tiba-tiba menyentuh lenganku, memijat-mijatnya dan sedikit mencubitnya. "Empuk," katanya. "Harus aku coba nggak?" tanyanya dengan wajah polos dan aku segera mundur tiga langkah darinya sambil menyilangkan tanganku untuk membuat tanda X. "Jangan!" larangku tegas. Redha diam lalu tertawa. "Kamu lucu deh, Baal," katanya. "Aku bercanda." Aku menghela napas lega. "Tapi kalau kamu mau, aku bersedia," lanjutnya yang membuatku langsung berkeringat dingin lagi. Redha tersenyum kecil lalu mendekat, menggandeng lagi lenganku. "Udah, ayo makan." ajaknya. Tiba di ruang makan, aku disuruh duduk. Ruang makannya besar dengan meja yang memanjang serta enam kursi. Walau kursi yang kududuki ketara sekali baru ditambah hari ini. Karena kursinya beda sendiri, lebih rendah dan warnanya lebih pudar dari kursi yang lain. "Itu kursi Banas dulu," kata Redha menjelaskan karena melihatku sepertinya kurang nyaman dengan kursiku. "Kami taruh gudang dan baru dikeluarkan hari ini jadi warna dan bentuknya beda karena kami udah ganti kursi makan," kata Dani menimpali. "Memangnya Banas kemana?" kuberanikan diri bertanya. "Mati," jawab Redha. Mati? Jadi aku duduk di kursi orang mati? "Kami liburan dan meninggalkan dia sendirian di rumah selama tiga hari. Saat kami kembali, Banas sudah mati. Sepertinya dia keracunan karena makan sembarangan," jelas Dani. "Heh?" "Banas yang malang," gumam adiknya Redha yang paling kecil. "Jangan sedih, Gan. Bukankah kamu sendiri yang menguburnya?" tanya Ibunya Redha. What? Anak sekecil itu sudah mampu mengubur mayat? Heol. Gan—atau siapa nama lengkapnya menoleh ke arahku yang tanpa sadar melebarkan pupil mataku karena sangat kaget. "Banas itu anjing," katanya dan aku hanya nyengir. "Makanya, kubilang apa, pelihara hewan itu susah," kata Redha. "Itu salahmu karena tidak meninggalkan makanan apapun untuk Banas. Endingnya Banas mati kelaparan," sergah Dani. "Iya, kak Redha jahat ih! Makanan Banas diumpetin," Gan menimpali. "Diem kau, bocah! Kubilang juga apa, hewan itu nyusahin. Makanya harusnya kamu cari peliharaan yang bisa ngurus dirinya sendiri dan bisa kamu tinggal pergi," cerocos Redha. "Mana ada peliharaan kayak gitu?" protes Dani. "Ada," kata Redha. "Kamu punya?" tanya Dani. "Iya," sahut Redha membuatku lagi-lagi kaget dan menoleh padanya dengan reflek. "Ini!" kata Redha sambil memandangku dan demi negara api yang mulai menyerang, aku ingin sekali melancarkan savage kepadanya. "Ya kan?" tanya Redha dan bahkan tanpa diminta aku mengangguk dalam setengah detik. Dani dan Gan nggak bisa menyembunyikan tawa mereka. Aku yang ditertawakan akhirnya cuma bisa pasrah. Aku marah tapi nggak bisa ngelawan dan akhirnya pasrah. Redha tersenyum senang. "Goodboy," pujinya. Aku hanya menghela napas berat. Goodboy? Dia benar-benar menganggapku anjing peliharaan. Benar-benar s**l. "Makasih, Baal," kata Redha pelan saat kulihat semua sudah mulai makan. "Buat apa?" tanyaku. "Sudah berguna," jawabnya. "Aku menyukaimu”. Aku membeku selama beberapa detik, terharu sedangkan Redha tertawa. "Baal, kamu nangis tuh?" ejeknya dan aku seketika menyentuhkan tanganku ke kedua pipiku. "Aku nangis," gumamku dan semua yang berada di meja makan pun menoleh ke arahku dan tertawa keras mengikuti Redha yang sudah ketawa duluan. Aku kenapa? Kok bisa nangis? Apa karena apa yang Redha katakan? Nggak mungkin, deh. Aku Iqbaal, cowok ganteng yang suka ditembak cewek. Ini nggak mungkin!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD