7

1335 Words
Cemburu adalah tanda cinta, itu yang selalu dikatakan orang-orang. Karena cinta, maka kecemburuan itu ada. Sayangnya, banyak yang lupa kalau rasa cemburu bisa tercipta bukan hanya karena cinta tapi karena rasa benci, iri atau sebuah obsesi. Ini bukan sebatas hipotesis semata, aku Iqbaal Rizky Akbar yang selalu ganteng sejak kandungan sampai 100 tahun depan kalau masih hidup, sudah membuktikan dengan kedua mataku sendiri. Ini bukan sekadar berita hoax atau kesimpulan tanpa pengamatan. Ini sudah terbukti sebagai kebenaran. Aku sudah menelitinya dengan aku sebagai variabel X, Redha sebagai variabel Y dan Fira sebagai alat ujinya. Hasilnya : aku dan Fira nyaris mati di tangan Redha. Semua ini berawal dari ide terburuk yang tercetus dari manusia paling teraniaya sedunia, si Fares. Apes karena aku percaya padanya untuk memberikan solusi untuk mengatasi masalahku untuk bisa lepas dari Redha. "Oi, Baal," panggil Fares dengan senyum sumeringah di pagi hari saat dia baru saja datang. "Kenapa, Res?" tanyaku heran melihat mukanya berseri-seri kayak baru saja disemir. "Aku ada ide," jawabnya dengan semangat. "Ide apa?" tanyaku malas, masih asyik nyandarin diri di sandaran kursi dengan kaki selonjoran. "Ide biar kamu bisa putus dari Redha," jawab Fares dengan wajah cerah. "Ho...." pekikku, seketika duduk tegak dan memajukan diri ke Fares dengan antusias tinggi kayak lagi nonton bola. "Apa idenya?" tanyaku nggak sabaran. Fares menyeringai licik. "Tapi, ide ini butuh mental baja dan sedikit bantuan dari cewek yang menurutmu lebih cantik dari Redha," jawab Fares. "Huh?" Aku mengerutkan dahi. "Nih, menurutmu apa yang paling nggak cewek sukai dari kita kaum cowok?" tanya Fares, sok berteka-teki dia, padahal ulangan Sejarah nyontek ke aku mulu. "Kalau kita nggak nurutin kemauan mereka?" tebakku. "Deng, salah!" ujar Fares. "Hah? Kan bener? Redha selalu marah kalau aku tidak menuruti keinginannya," sanggahku nggak terima.   "Iya, bener tapi itu bukan yang paling mereka nggak suka. Ada sebagian cewek yang bisa nerima kita meski nggak nurut, walau itu langka banget," jelas Fares. "Oh gitu. Trus apa dong?" tanyaku lagi. "Tebak, dong! Nggak seru kalau langsung kukasih tahu," elak Fares. "Elah," desisku. "Apa ya?" "Ah, kalau kita nggak ngabarin seharian?" tebakku. Fares menggeleng. "Bukan," "Kok gitu?" "Kalau cuma nggak ngabarin seharian, mereka juga sering melakukannya. Lagian kalau gitu doang, kita punya s*****a ampuh biar mereka nggak bawel," jelas Fares. "Apa tuh?" tanyaku. "Ketiduran," jawab Fares yang seketika membuatku menganga. "Gitu doang?" tanyaku nggak percaya. "Huum atau bilang aja lemot, nggak ada paketan atau hp disita orangtua," jawab Fares santai. "Ho, kamu gitu juga ke Ally?" tanyaku. Fares mengangguk. "Berhasil?" "Nggak." "Anjir. Haha.” Fares tertawa puas. "Itu cuma berlaku pada cewek tipe tertentu, Baal." "Elah, k*****t," desisku. "Dih, trus alasan yang kamu maksud apa dong?" tanyaku mulai kembali ke titik awal. "Tebak, dong." "Ogah!" "Aih, yaudah." "Apa?" "Perselingkuhan/" "What? Kamu nyuruh aku selingkuh? Mau mungut dimana aku selingkuhan, Res?" pekikku kaget. Fares ngakak mendengar perkataanku. "Mungut, kamu pikir selingkuhan itu sejenis sampah?" sergah Fares. "Bukan ya? Yang sampah itu mantan pacar?" "Bukan," kilah Fares. "Trus?" tanyaku penasaran. "Yang bonceng tiga di jalan," jawab Fares. "Itu nyalahin aturan," elakku. "Bukan, itu cabe-cabean," bantah Fares. "Huh? Kamu jualan kok bisa cabe bonceng tiga?" tanyaku kebingungan. Fares ketawa geli. "Iqbaal nggak tahu cabe-cabean, polos amat otakmu, Baal!" ejek Fares. "Dih malah gitu," dengusku kesal. "Ya, maaf! Jangan ngambek kayak cewek gitu, Baal," goda Fares. "Aku emang pengen putus dari Redha, Res! Tapi kalau selingkuh, aku nggak mau," tolakku. "Kenapa?" tanya Fares penasaran. "Aku merasa nggak suci lagi kalau selingkuh, merasa tertelanjangi harga diriku," jelasku. Fares ngakak, so hard bahkan sampai meneteskan airmata. Apanya yang lucu coba dari apa yang aku katakan barusan? "Maksudku kamu nggak harus selingkuh beneran, Baal. Buat aja Redha salah paham, ntar dia pasti mutusin kamu duluan!" terang Fares. "Oh gitu," kataku manggut-manggut, mulai paham rencana Fares. "Iya, makanya sebaiknya kamu cari cewek yang bisa natural ngebantu kamu lepas dari Redha. Ada usul gitu, siapa yang kira-kira bisa bantuin kau?" tanya Fares. Aku diem, mikir bentar. "Baal, nyontek PR Geografi dong!" Aku dan Fares menoleh bersamaan, menatap Fira yang berdiri di depan kami. Fira yang ditatap jadi merasa aneh. "Apa sih kok natap gitu?" tanya Fira merasa kurang nyaman. "Fir, bantuin aku ya," pintaku. "Huh? Ngapain?" tanya Fira. "Berakting," jawab Fares. "Huh?" Aku dan Fares pun menjelaskan rencana kami ke Fira. Di luar dugaan, si Fira setuju. Kami akan mulai melakukan rencana kami pulang seolah. Aku pun merasa lega, sebentar lagi aku akan lepas dari cewek mengerikan itu.           Tunggu aja Re, aku pasti akan putus denganmu hari ini dan aku bakal nyanyi... Sayonara no mae ni let go.. Mengkhayal ketinggian, mendarat kepala duluan, mati. Semua tidak berjalan sesuai keinginan. Redha terdiam, menatapku yang sudah digandeng Fira. Teman sekelasku itu sepertinya terlalu memghayati perannya sehingga dia tidak merasa sungkan saat melingkarkan tangannya di lenganku. Padahal jalan di dekatku saja menurutku sudah cukup. Redha nggak mengatakan apa-apa, hanya menatap kami dengan perasaan datar yang entah mengapa menyebalkan. Tak berapa lama dia pun mendekat kepadaku. "Poochy," panggilnya. Aku bergidik ngeri, wajahnya tanpa ekspresi penuh seandainya dia nggak memandangku dengan tatapan mata sinis yang menusuk. Aku sangat yakin, kalau ada laser di mata Redha, aku sudah terpotong-potong jadi delapan. "Hai, Re," sapaku dengan gugup. Redha hanya diam, mengalihkan pandangannya ke arah Fira. "Kamu ngapain?" tanya Redha dengan tatapan yang sama, setajam mata elang yang lagi ngincar anak ayam. "Gandeng pacarku," jawab Fira dengan tatapan tajam yang mirip, dia nggak mau kalah. Walau tatapan matanya kuakui nggak setajam Redha. "Pacarmu? Dia pacarku!" bantah Redha tegas. Fira mempererat gandengan tangannya di lenganku sehingga tubuhku semakin menempel padanya. "Iqbaal ini pacarku," katanya ngotot, sepertinya dia menghayati sekali perannya sebagai selingkuhan. "Hoo, jadi benar firasatku waktu itu. Kamu suka Poochy," kata Redha sambil menaik-turunkan kepalanya. "Poochy, poochy, kamu pikir Iqbaal heran peliharaan?" ketus Fira. "Iya," jawab Redha tanpa ragu sehingga membuatku pengen nangis. "Kurang ajar banget kamu," sergah Fira. "Yang kurang ajar siapa? Kamu atau aku? Dimana-mana pihak ketiga itu menunjukkan kekurang ajaran tauk!" serang Redha. "Kamu aja yang nggak tahu diri makanya Iqbaal cari pengganti. Kamu sadar nggak, sikapmu itu ngebuat Iqbaal menderita?!" Fira balik menyerang. "Menderita kalau denganku? Kamu bisa jamin kalau sama kamu Poochy lebih bahagia huh? Kamu bodoh? Katanya IPA-1 tapi otak setingkat udang," sindir Redha. "Apa kamu bilang?" Fira emosi sehingga nyaris mendaratkan tamparan di pipi Redha seandainya Redha nggak menangkap tangan Fira. "Denger ya, cinta yang dimulai dengan cara yang salah, tidak akan bahagia. Kalaupun bahagia, itu hanya satu-dua bulan, di bulan ketiga, aku yakin Iqbaal akan putus asa lalu membunuh dirinya sendiri," ujar Redha lalu menghempaskan tangan Fira sehingga teman sekelasku itu nyaris jatuh. Grap. Tiba-tiba Redha sudah memegang dasiku. Dia menariknya dengan kuat sehingga aku merasa sakit karena tercekik. "Re, Re, Redha, sa, sakit!" rintihku dengan terbata-bata. "Lebih sakit mana sama hatiku, Baal?"  tanyanya dengan mata elang yang sudah kembali jadi mata kucing. Tatapannya benar-benar meluluhkan hatiku. "Ma-maaf, Re," mohonku. Redha melepas dasiku lalu beralih lagi pada Fira. "Kamu selingkuhan Iqbaal beneran atau cuma pura-pura?" tanyanya dengan ekspresi wajah yang menyeramkan. Fira hanya menelan ludah. Ketakutan. "A-apa bedanya?" Fira masih mencoba melawan. Padahal jika aku jadi Fira, aku akan segera mengaku saja. "Bedanya? Itu membuatku bisa mengambil keputusan dengan bijak," jawab Redha. "Kalau kamu selingkuhannya, maka…" Redha melepas salah satu sepatunya lalu menunjukkannya pada Fira. "Aku akan memukulmu dengan ini sampai pingsan." Fira menelan ludah lagi. Tangannya bahkan gemetar. Bertahanlah, Fir! "Tapi kalau pura-pura, aku akan memberimu diskon hanya dengan peringatan tanpa perkelahian. Bagaimana?" Redha bernegosiasi seolah ini adalah permainan. Fira menatapku, terpaksa aku menganggukkan kepalaku pelan, memintanya mengaku. "Aku pura-pura," jawab Fira. "Good, sekarang pergi!" suruh Redha. Fira mengangguk lalu segera pergi meninggalkan aku dan Redha berdua. "Baal," panggil Redha. "Ya-ya?" sahutku dengan keringat dingin. "Aku nggak suka membunuh," katanya sambil memegang pundakku. "Kamu belum mau mati kan?" katanya dengan menyeringai. Aku hanya mengangguk cepat dengan air mata bercucuran. "Good Poochy," katanya sambil mengusap airmataku. "Pulang yuk," ajaknya lalu menggandeng tanganku dengan enteng. Sial. Seumur hidup, aku nggak mau lagi pura-pura selingkuh. Pura-pura saja sudah nyaris mati, bahkan nyaris membuat temanku mati bersamaku apalagi beneran. Redha, sungguh nggak tertandingi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD