Chapter 02

705 Words
Steven keluar dari dalam kamarnya. Udara pagi Jakarta masih terasa segar, dan sinar matahari menelusup dari sela-sela tirai, mengisi lorong rumah dengan cahaya hangat. Aroma masakan menggoda tercium dari arah dapur, dan suara-suara tawa ringan mengalun samar ke telinganya. Ia menuruni anak tangga perlahan, langkahnya berat tapi mantap, membawa tubuh tegapnya menuju sumber suara. Begitu memasuki ruang makan, pemandangan di depannya membuat dadanya langsung mengeras. Di meja makan bundar yang terbuat dari kayu mahoni itu, duduk Vernon, adiknya, dengan wajah penuh tawa. Lelaki itu tengah menyuapkan sepotong roti ke mulutnya, matanya berbinar menikmati kebersamaan yang hangat bersama istrinya. Di sampingnya, Clara duduk dalam balutan baju rumah berwarna pastel lembut, rambut panjangnya dikuncir rendah, wajahnya segar tanpa riasan, namun tetap terlihat menawan. Clara tertawa kecil saat Vernon membisikkan sesuatu. Tangan Vernon sempat menyentuh tangan Clara, mengusapnya sejenak dengan manja. Wanita itu mengangguk pelan dan kembali tersenyum, senyum yang menohok ke jantung Steven tanpa ampun. Tangan Steven mengepal di balik saku celananya. Rahangnya mengeras, dan ia merasa ada bara yang mendesis dalam dadanya. Pemandangan itu seharusnya biasa. Seorang suami dan istri yang saling mencintai dan menikmati pagi mereka bersama. Tapi bagi Steven, itu seperti pukulan yang tak terlihat. Ia tidak senang melihatnya. Bahkan lebih dari tidak senang. Ia ingin menjadi pria yang ada di kursi Vernon. Ia ingin menjadi alasan di balik senyum Clara itu. Perasaan itu menyesakkan, menampar akalnya, tapi tak bisa ia buang. Setiap detik yang ia habiskan dalam rumah itu hanya membuat benih hasrat yang terlarang semakin tumbuh liar. Clara tidak hanya cantik. Ia lembut, ramah, cerdas, dan bersahaja. Ia adalah tipe wanita yang tak hanya menarik mata, tetapi juga menjerat hati. "Mas Steven!" suara Vernon tiba-tiba memecah pikirannya. Lelaki itu melambai ceria. "Ayo sarapan. Clara masak omelet pagi ini. Kamu pasti suka." Steven tersentak ringan, lalu buru-buru menarik napas panjang. Ia segera mengubah raut wajahnya, menghapus bekas emosi yang sempat muncul. Ia tersenyum tipis, berusaha tampil ramah. "Pagi," ucapnya datar tapi bersahabat. Ia melangkah mendekat, menarik kursi di seberang mereka, dan duduk dengan tenang. Matanya langsung tertuju ke arah Clara. Clara menoleh padanya dan menyambut dengan senyum sopan. "Pagi, Mas Steven. Mau teh hangat atau kopi?" "Teh saja, terima kasih," jawab Steven. Ia memperhatikan cara Clara bangkit, melangkah ke dapur, menuangkan teh ke dalam cangkir, lalu membawanya dengan hati-hati ke hadapannya. Setiap gerakan Clara terasa lambat dalam pandangannya, seperti disorot cahaya khusus di panggung hidupnya. Ketika cangkir teh diletakkan di hadapannya, Steven menunduk sedikit. "Terima kasih." "Sama-sama," jawab Clara dengan suara lembutnya. Steven menyeruput tehnya perlahan. Hangat. Tapi bukan itu yang membakar dadanya. Matanya mencuri-curi pandang ke arah Clara, mengamati dari ujung kepala hingga jemari halusnya yang membolak-balik roti di piring. Ia mengamati cara wanita itu menyibakkan rambut ke belakang telinga, cara ia terkekeh saat Vernon kembali bercanda. Semuanya mengganggu. "Clara ini jago masak, Mas," kata Vernon bangga. "Baru sebulan nikah, tapi rasanya kayak udah jadi istri tiga tahun." Clara memukul lengan Vernon pelan. "Ih, jangan dilebih-lebihkan." Steven memaksakan tawa kecil. "Keliatan kok. Omeletnya enak." "Kalau suka, nanti saya buatin lagi, ya," ucap Clara. Perkataan sederhana itu membuat Steven diam. Kalimat itu biasa, sangat biasa. Tapi ketika keluar dari mulut Clara, itu terdengar seperti janji yang ingin ia simpan. Ia mengangguk pelan. Sarapan berlangsung dalam tawa dan percakapan ringan antara Vernon dan Clara. Tapi Steven hanya banyak diam, lebih banyak memperhatikan daripada berbicara. Ia mengamati setiap ekspresi, setiap tawa, setiap detil dari wanita yang tidak seharusnya menarik baginya. Tapi sudah terlambat. Saat mereka selesai makan dan Clara membawa piring-piring kotor ke dapur, Steven masih duduk di kursinya, menatap punggung wanita itu. Vernon berdiri dan menepuk bahunya. "Aku mau siap-siap ke kantor dulu, Mas. Nanti kita ngobrol lebih panjang." Steven mengangguk. "Oke. Hati-hati di jalan." Vernon menghilang ke lantai atas. Steven duduk sendiri. Di dapur, suara air mengalir dan piring-piring yang saling beradu terdengar pelan. Suara Clara bersenandung lirih mengisi sela ruang. Steven tak bergerak. Ia hanya mendengarkan. Memejamkan mata. Dan membiarkan pikirannya berjalan... terlalu jauh. Wanita itu milik adiknya. Tapi mengapa ia merasa seperti ingin merebutnya? Ia membuka mata, menatap kosong ke arah pintu dapur. Di sanalah batas yang tak boleh ia langkahi. Tapi setiap detik yang berlalu, batas itu terasa makin tipis. Dan Steven... mulai kehilangan arah. Ingin memiliki Clara untuk dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD