Bab 1

1406 Words
Suara decit rem mobil menghentikan langkahku saat menuju apartemen setelah pulang dari acara perkumpulan mahasiswa asal Indonesia di kampus, cuaca dingin sedikit membuat sendi-sendi tubuhku kaku. Beberapa kali aku membuat gerakan agar rasa kaku tadi hilang, tidak lama aku melihat Trias turun dari mobil tadi. "Shavi, bisa bicara?" Ujar Trias, aku menghela napas dan melihat wajah kekasih yang sudah dua hari tidak aku sapa dan temui. "Buat apa lagi Trias? Bukannya kamu sudah membuat keputusan? Ya sudah silakan menikah dengan wanita pilihan ibumu," balasku dengan lantang agar Trias berhenti menggangguku. Tiga tahun pacaran aku pikir hubunganku dengan Trias akan baik-baik saja, tapi nyatanya dua hari yang lalu akhirnya aku tau kalau Trias sudah dijodohkan oleh ibunya dengan wanita lain. Aku, Shavina Putri Baratta tahun ini menginjak usia 22 tahun. Atas keinginanku sendiri aku memilih melanjutkan kuliah di London bersama Trias, kekasih yang sudah menjadi kekasihku sejak tiga tahun yang lalu. Trias Harizona, laki-laki yang berhasil membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Hubungan kami bisa dibilang banyak rintangan karena keluarganya tidak terlalu menyukaiku, yeah pasti kalian bilang bodoh sekali keluarganya tidak menyukai putri pertama keluarga Baratta tapi terkhusus ibunya tidak butuh menantu kaya, ia hanya butuh menantu yang bisa diatur dan menjadi ibu rumah tangga sepertinya. Aku? Jangankan menjadi ibu rumah tangga, diatur saja aku tidak suka makanya aku memilih kuliah jauh agar tidak diatur daddy. "Shavi, menikahlah denganku." Trias masih mencoba membujukku agar mau menerima ajakannya untuk menikah. Helloww, aku masih muda untuk hidup dalam ikatan pernikahan. Aku masih ingin melanjutkan kuliah S2 dan juga karir yang ingin aku gapai setinggi langit. Pernikahan hanya akan mengukungku dalam ikatan yang akan sulit aku lepaskan. "Maaf, aku tidak bisa." Jawabku dengan jujur. Bukannya aku tidak mencintai Trias, jujur aku sangat mencintainya tapi hidupku lebih penting dibandingkan pernikahan. Ada bentuk kekecewaan muncul di wajah Trias. "Aku tidak bisa menolak keinginan ibu," lanjutnya. Aku tersenyum simpul, menepuk bahunya dua kali dan diakhiri dengan hembusan napas. "Mungkin kita belum berjodoh," balasku. Setelah itu aku masuk kembali ke dalam apartemen meski sedih harus putus tapi ini lebih baik daripada aku harus memaksakan diri masuk dalam ikatan pernikahan sedangkan aku ingin bebas terbang mencapai cita-citaku yang belum terwujud. **** Aku pikir setelah putus setahun yang lalu, aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan Trias karena aku kembali ke Jakarta lebih awal tanpa memberitahunya tapi aku akhirnya bertemu lagi dengan Trias saat perusahaan yang baru aku rintis mengadakan seminar untuk mempromosikan produk yang perusahaanku jual. Ah iya, setelah pulang dari London aku mendirikan perusahaan kecil yang bergerak dibidang penjualan produk kecantikan wanita seperti cream, lipstick, bedak tabur, eye shadow dan lain-lain. Sebenarnya aku bisa membuka perusahaan besar menggunakan nama keluarga Baratta tapi aku tidak lakukan karena membangun usaha dari kecil lebih menyenangkan dibanding menerima hasil cepat melalui koneksi keluarga. Daddy pun mendukung keputusanku untuk mandiri tanpa bantuannya, ia pun ingin meneruskan Baratta Group ke tangan Ryan, adik bungsuku. "Gimana kabar kamu, Shavi?" Trias mulai membuka pembicaraan di antara kami. Aku menyeruput jus orange pesananku, aku melihat Trias dengan tatapan biasa. Tidak ada yang berubah darinya walau ini pertemuan kami setelah satu tahun lamanya. "Ya beginilah, biasa saja dan juga sedikit sibuk. Kalau kamu? Bagaimana pernikahannya?" Ada nada penuh sarkas dari balik pertanyaanku karena aku melihat Trias tidak seperti laki-laki yang sudah menikah. Trias tertawa pelan, "Apakah aku sudah seperti laki-laki beristri? Pernikahan itu gagal, ibu tidak terlalu menyukai wanita itu," jawabnya. Aku tertawa mengejek, ingin rasanya mengatakan 'Wanita seperti apa sih yang diinginkan ibumu?' Tapi aku memilih diam. Lagian itu bukan urusanku apakah Trias jadi menikah atau tidak. "Jangan mengejekku, Shavi. Bagaimana denganmu? Apakah sudah menemukan penggantiku?" Tanyanya. Aku kembali menyeruput sisa jus orange. "Tidak, pekerjaanku lebih penting dari apapun. Baiklah, aku senang kita bertemu lagi dan aku tidak menyangka kamu juga menjual alat-alat kosmetik sepertiku," aku berdiri dari kursi dan berniat kembali ke ballroom untuk melanjutkan acara seminar. "Perusahaan keluarga dan sepertinya kita akan sering bertemu lagi, Shavi. Tentu untuk urusan pekerjaan," balasnya, ia pun berdiri dan menjulurkan tanganku. Aku membalas uluran tangannya dan berharap kami bisa menjadi partner kerja yang baik. Hari itu menjadi hari pertama aku menjalin hubungan lagi dengan Trias walau hanya sekedar hubungan bisnis. Perusahaan Trias merupakan salah satu pemasok kosmetik paling terkenal di Indonesia dan menjalin hubungan baik akan mempermudah mengenalkan perusahaanku ke rekan kerja lainnya. Hanya saja aku lupa hubungan bisnis dan asmara ternyata tidak bisa disatukan, seringnya kami bertemu membuatku mulai merasakan cinta yang sempat aku kubur selama satu tahun. Aku mulai menjalin kembali hubungan dengan Trias diam-diam agar tidak ada yang tau termasuk keluarga Trias. Seiring berjalannya waktu hubungan kami bisa dibilang lebih dari sekedar kekasih yang hanya menghabiskan waktu dengan makan, jalan-jalan dan nonton bioskop. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen milik Trias, apartemen yang setiap malam hanya terdengar lenguhan nafsu birahi dari mulutku atau pun Trias. Hanya itu yang bisa aku lakukan karena mata-mata ibu Trias ada di mana-mana dan aku malas meladeni ibunya yang selalu menjunjung tinggi hanya wanita perawan lah yang berhak menjadi istri anaknya. Ibu itu lupa anaknya yang telah mengambil keperawanku dan aku bukan wanita yang langsung minta tanggung jawab setelah kami berhubungan seksual. Anggap saja itu hanya selingan agar hubungan kami tidak monoton. **** Aku menghempaskan tubuh di atas sofa kamar setelah satu hari ini sibuk mengawasi pasokan dari satu mall ke mall agar produk kosmetik yang perusahaanku produksi bisa dikenal masyarakat umum, bahkan sudah seminggu ini aku tidak berkunjung ke apartemen Trias. Tok tok tok "Masuk." Pintu kamar dibuka dan aku melihat Ryan berdiri sambil berkacak pinggang, rasanya sudah lama aku tidak bertemu Ryan. "Apa sih dek, datang-datang bukannya peluk kakak eh kamunya malah berkacak pinggang kayak mau ngajak perang," ujarku lembut. Ryan mendekatiku lalu menghambur ke dalam pelukanku, meski umurnya sudah 18 tahun tetap saja sikap kolokannya masih ada setiap aku pulang ke rumah. "Kenapa sih kakak jarang pulang? Aku kesepian tau!" Omelnya. Sejak mulai usaha sendiri aku memang jarang pulang dan sekalinya pulang pun aku lebih banyak tidur di kamar dan jarang berinteraksi dengan Ryan dan juga daddy. "Maaf ya, lagi sibuk nih. Kamu tau sendiri kalau kakak lagi merintis usaha baru, jadi butuh konsentrasi agar usaha kakak berkembang pesat. Eh iya, ini uang jajan untuk kamu. Jangan boros loh, kami tau daddy paling nggak suka kita menghamburkan uang untuk hal tidak penting," aku memberinya beberapa lembar uang dari hasil kerja kerasku. Ryan langsung memelukku dengan erat. "Ah tadi ngambek, sekarang senyum-senyum dapat uang," aku menjentik keningnya pelan. Ryan tertawa lepas dan keluar dari kamarku. Setelah Ryan keluar ponselku berdering, aku melihat nomor yang tidak aku kenal muncul di layar ponsel melalui video call. Dengan sedikit ragu aku menekan tombol untuk menjawab panggilan video call itu. Dalam video itu aku melihat Trias sedang duduk bersama seorang wanita yang tidak aku kenal. Wanita yang terlihat sederhana, pemalu dan juga cantik. Panggilan video call itu berakhir dan sebuah pesan muncul di layar ponselku. +628118962** : Tolong jauhi anak saya, Trias. Saya sudah mengatur pernikahannya dengan wanita pilihan saya. Ingat, jauhi Trias! Aku yakin panggilan video call tadi dari ibu Trias dan aku yakin ibu Trias mulai mencari calon istri baru untuk anaknya. Mungkin ibu Trias tau tentang hubunganku dengan Trias dan mencari calon istri baru akan mengakhiri hubunganku dengan Trias. **** Aku sengaja menunggu kedatangan Trias untuk membicarakan masalah itu dan setelah menunggu satu jam akhirnya Trias datang. Trias terlihat cukup kaget melihatku ada di apartemennya. "Tumben kamu ke sini? Nggak sibuk?" Entah kenapa terdengar nada penuh sindiran dari balik pertanyaannya barusan. "Kamu dijodohkan lagi?" Tanyaku tanpa basa basi. Trias kaget mendengar pertanyaanku. "Kamu tau darimana?" Aku tertawa miris, andai video call tadi tidak aku jawab mungkin aku tidak akan pernah tau tentang perjodohan itu. "Ibumu, dari siapa lagi?" Balasku tajam. Trias menggaruk kepalanya dengan kasar. "Shavi ... Masihkah kamu menolak menikah denganku setelah hubungan kita sudah sampai sejauh ini?" Tanya Trias. Aku membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin. Aku menghabiskannya dalam sekali teguk. "Menikah? Jawabanku masih tetap sama seperti tahun lalu, Trias. Aku tidak mau menikah untuk menyenangkan ibu kamu, paham?" Aku mengambil tas dan berniat mengakhiri pembicaraan kami hari ini karena ujung-ujungnya aku yakin kami tidak akan pernah mendapat jawaban yang sama. "Aku terpaksa menerima rencana ibu untuk menikah dengan Selvi," ujar Trias. Ah jadi nama wanita itu Selvi? Sudah sedekat itu ternyata hubungan mereka. "Baiklah, silakan." Balasku sebelum aku pergi meninggalkan Trias dengan gerutuan keluar dari mulutnya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD