Bab 8

1944 Words
Gilina memarkirkan mobil di garasi dan membawa Gerand masuk kerumah meski jutaan pertanyaan pasti keluar dari mulut mertuanya, tapi Ia tidak mungkin membiarkan Gerand ditinggal sendirian diluar. Setelah bersusah payah membawa tubuh Gerand yang lumayan berat, Gilina berhasil masuk ke rumah walau gerutuan tidak berhenti keluar dari mulutnya,  terlihat Seloira keluar dari kamar karena mendengar keributan dipintu masuk. "Kamu dari mana? Dan siapa dia?" Seloira menghampiri Gilina dan membantu memegang Gerand, Seloira mencium aroma alkohol dari tubuh Gerand. "Nanti aku jelaskan ya Ma, sekarang kita buang saja bule jadi-jadian ini ke gudang belakang aja, bikin rempong saja bisanya" ujar Gilina dengan kejam, dan tanpa belas kasihan. "Buset janda satu ini... tega bener dah... memangnya tidak ada kamar kosong apa, masa gue mau di letakkan di gudang, di kira kasur kapuk kali ya, mending tidur di kamarnya #eh" ujar Gerand dalam hati. "Ah kamu tega, masa sama tamu kayak gitu.... hmmmm kita baringkan saja dia di kamar Valle, mumpung disana kosong" balas Seloira tertawa. "Loh memangnya yang mau nyewa belum datang" Seloira memang berniat menyewakan beberapa kamar kosong di rumahnya. "Aha..." Gerand tersenyum licik mendengar pembicaraan Gilina dan wanita yang dipikirannya kemungkinan ibu dari Gilina. "Aduh ini bule dosanya banyak kali ya, berat amat..." Gilina yang tau ada kesempatan melampiaskan kekesalannya sengaja mencubit pinggang Gerand untuk membalas sakit hatinya. "Astaga kenapa pake cubit segala sih, dasar jalak!!! Lihat saja.... tunggu pembalasan gue" Gerand sengaja bertingkah layaknya pria mabuk, memegang pinggang Gilina. Gilina yang kaget mendorong Gerand ke kasur Valleria, Seloira yang melihat Gerand jatuh tertawa terpingkal-pingkal. "Ya ampun Gili, kamu kejam amat sama dia, awas loh... benci dan cinta beda tipis.. au ah kamu urus dia, jangan di isengin lagi kasihan itu anak" Gerand yang menahan diri supaya aktingnya tidak ketahuan berpura-pura mengoceh. "Awas lo besok kalo sudah sadar" ancam Gilina, setelah itu Gilina keluar dan menutup pintu kamar Valleria dan menuju kamar Ano. "Fiuhhhh itu  janda... galaknya ngalahin galaknya satpam" Gerand berdiri dan menatap ruangan yang sudah dipersiapkan Seloira untuk disewakannya. "Tuhan lagi-lagi menolong gue" senyum licik kembali keluar dari mulut Gerand. **** Setelah yakin Ano sudah tidak menangis lagi akibat mimpi buruk, Gilina kembali kekamarnya, percakapannya dengan Ano mengenai mimpi itu membuatnya yakin Jilino belum rela Ia membagi hati ke pria lain, dan niatnya menerima Adam menjadi surut, baginya kebahagiaan Ano lebih penting, apalagi mendengar Ano mengatakan Ia tidak mau ada pria lain menggantikan Jilino, kecuali pria itu Ano sendiri yang memilihnya. Gilina menatap jam ditangannya, hari menjelang dini hari, matanya belum sedikitpun menunjukkan tanda-tanda mengantuk, Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman, matanya menatap pintu kamar Valleria, dan pagi hari nanti Ia harus menjelaskan kepada seluruh anggota keluarga siapa Gerand dan kenapa Ia bisa tidur dirumah mereka. Ketika Gilina hendak masuk kekamar, Ia mendengar derap langkah dari arah taman belakang, bulu kuduknya berdiri apalagi tadi pagi ketika hendak pergi Ia mendengar pembincangan Bibi dengan tukang sayur mengenai rampok yang mulai merajalela di komplek perumahan mereka. "Siapa!!!" Entah keberanian darimana Gilina berteriak, derap langkah semakin terdengar mendekat, Gilina semakin ketakutan. Ia berlari ke kamar mertuanya. "Ma, Pa... ada rampok diluar" Seloira yang mendengar membuka mata dan menggoyangkan tubuh Arkhan. "Mas, ada suara Gili tuh...ayo bangun" Seloira memasang kimono dan menghidupkan lampu disamping ranjangnya. Arkhan berdiri dan membuka pintu, terlihat wajah ketakutan menantunya. "Ada apa" tanya Arkhan, Gilina memberi kode agar tidak berisik, Arkhan mendengar derap langkah. "Rampok, ya Tuhan... Mas ada rampok" Seloira yang panik memegang tangan Arkhan, Arkhan mengambil kayu dibelakang pintu kamar mereka, Ia meminta Gilina dan Seloira tetap berada di dalam kamar sementara Ia yang akan menghadapi rampok. "Hati-hati Mas" Arkhan mengendap-endap berjalan menuju taman belakang, meski Ia sudah tak lagi muda, keinginan untuk melindungi istri dan menantunya terlihat sangat besar. Arkhan melihat bayangan disekitar kolam renang, dan ketika ia mendekati bayangan itu. Tanpa diduga bayangan itu menerjang Arkham, Arkhan terlempar kesuduh kolam dan kepalanya membentur ujung kolam, Arkhan merintih kesakitan sedangkan rampok berlari keluar dari rumah, teriakan Arkhan membuat Seloira dan Gilina ketakutan, dan untungnya Gerand yang belum tidur mendengar teriakan dan berlari keluar dari kamarnya, Ia kaget melihat Gilina dan Seloira ketakutan. "Ada apa" tanya Gerand, Gilina dengan gugup menjawab "Ada rampok, Papa...." Gilina menunjuk taman belakanh, tanpa memperdulikan kalo kini Ia  sedang berakting mabuk, Gerand keluar dan melihat Arkhan memegang jidatnya. "Bapak tidak apa-apa? Rampoknya kemana?" Tanya Gerand, Arkhan menunjuk arah pintu belakang yang terbuka, Gerand hendak mengejar Rampok tapi tangan Arkhan menahannya. "Tidak perlu..." Arkhan melihat wajah Gerand, istrinya benar... mata Gerand terlihat familiar. "Tapi rampoknya bisa saja kembali..." Gerand membantu Arkhan berdiri. "Biar saja dia kembali, jika anda mengejar dia, ada jaminan anda bakal kembali dengan selamat? Harta bisa dicari tapi tidak dengan nyawa" Arkhan menepuk bahu Gerand dan kembali masuk kerumah. Gerand masih berdiri dan melihat punggung Arkhan yang mulai menjauh. "Tidak pak... cukup 1 kali saya meregang nyawa, dan kata-kata Bapak benar... nyawa lebih penting dari apapun" uajr Gerand. Gerand masuk dan melihat bagaimana keluarga Gilina saling mengkuatirkan, terlihat betapa dekatnya mereka, sangat berbanding terbalik dengan hidupnya. Kedua orang tuanya meninggal, meninggalkan dirinya sendiri beserta ribuan aset atas namanya. "Pokoknya kita harus lapor polisi, ini sudah sangat mengkuatirkan, kalo rampok tadi menyerang papa bagaimana, kasihan Ano dan juga penyewa kamar atas, mereka pasti merasa rumah ini tidak aman" ujar Gilina. "Percuma lapor polisi, tetangga yang kemalingan kemarin sudah lapor, tapi tetap saja rampok masih beraksi, yang terpenting sekarang lebih siaga dan sepertinya kita harus mencari penyewa baru secepatnya agar rumah ini ramai dan rampok enggan untuk masuk" ujar Arkhan. "Bapak mencari penyewa baru? Kalo saya mau menyewa lantai atas bisa?, diatas sepertinya lumayan besar, saya bisa menggunakan ruangan atas sebagai rumah saya" ujar Gerand, Gilina menatapnya kaget sedangkan Arkhan dan Seloira saling menatap. "Maksud anda ketiga kamardiatas kamu yang akan menyewa? Buat apa? Memangnya kamu tidak punya rumah" tanya Arkhan, Gerand mengeluarkan kartu namanya, meski kini saat tidak tepat, Ia harus memperkenalkan dirinya agar keluarga Gilina tidak memandang Ia pria jahat yang datang menganggu anak mereka. "Del Castillo... hmmm jadi anda pemilik perusahaan itu, dalam rangka apa anda bisa tiba-tiba berniat menyewa rumah saya" tanya Arkhan menyelidiki. "Pa, jangan diladeni... dia sedang mabuk... dan tujuannya menyewa rumah kita buat mencari gara-gara dengab Gili, udah lupakan dan lebih baik Papa mengobati bengkak di kepala Papa" Gilina berniat menarik tangan Arkhan. "Rumah saya sedang di renovasi, anda bisa cek langsung kalo tidak percaya" ujar Gerand menatap kearah Gilina. "Daripada saya menyewa Apartemen dan tinggal sendirian, bukannya tinggal disini lebih hemat dan keamanan rumah juga lebih meningkat karena ada pria lain yang tinggal, rampok saya yakin tidak akan berani menginjakkan kaki dirumah ini lagi" Seloira mengangguk, sepertinya ide Gerand bisa diterimanya, semenjak Valleria menikah, ruangan atas memang kosong, ia serta anak-anak memilih tidur menggunakan kamar dibawah. "Bagaimana sayang" tanya Arkhan kepada istrinya. "Aku sih terserah Mas, asal Mas setuju ya aku setuju atau tanyakan saja kepada Gilina, bukannya dia lebih mengenal tamu kita ini" ujar Seloira, Gilina mendengus kesal mana mungkin ia menolak sedangkan kedua mertuanya seperti setuju. "Terserah papa dan mama, Gili nurut aja" Gerand tersenyum, Arkhan dan Seloira mengangguk tanda mengerti. "Baiklah, ruangan atas akan menjadi wilayah teritoria anda, ah kita terlalu formil... sedangkan sebentar lagi kita bakal hidup serumah, bagaimana kalo saya memanggil nak Gerand dan nak Gerand memanggil saya Papa dan Mama saja, mumpung anak lelaki saya sudah tidak ada" ujar Arkhan. "Baiklah Pa..." Gilina lagi-lagi hanya bisa mendengus kesal, mau membantah tidak mungkin karena ia bukanlah pemilik rumah, pasrah dan bersikap waspada mulai saat ini harus ia terapkan jika berada 1 rumah dengan Gerand. **** Setelah perbincangan yang menguras tenaga, akhirnya Gerand resmi tinggal satu atap dengan Gilina meski beda lantai. "Ini, aturan selama tinggal dirumah ini" Gilina meletakkan sehelai kertas diatas meja, Gerand mengambil kertas itu dan membaca satu persatu. Peraturan dan juga kewajiban serta Hak Tuan Gerando Del Castillo yang terhormat selama tinggal dan menyewa lantai atas. 1. Peraturan : a. Dilarang menginjakkan kaki kearah kamar pribadi lantai bawah b. Dilarang mendekati anak pemilik rumah. c. Dilarang bikin keributan d. Dilarang membawa wanita asing kecuali saudara. e. Dilarang mencampuri urusan anak pemilik rumah. f. Dilarang merokok karena akan menjadi contoh buruk. g. Dilarang menganggu anak pemilik rumah. "Ini mah bukan aturan dari Papa, tapi anda buat sendiri demi kepentingan anda" ujar Gerand. "Berisik, baca lagi" balas Gilina. 2. Kewajiban : a. Merapikan ruangan atas tanpa bantuan keluarga pemilik rumah. b. Hmmmm apa ya, pokoknya menjaga properti seperti milik sendiri 3. Hak : a. Mendapatkan makan pagi, siang dan malam. b. Boleh menggunakan kolam renang. Gerand tertawa dalam hati, Gilina semakin menarik dimatanya, bukannya aturan dibuat untuk dilanggar dan usahanya mengejar Gilina dimulai dari sekarang!!!. "Deal!!" Gerand langsung menanda tangani dan menyerahkan kembali kepada Gilina. "Makasih" Gilina meninggalkan Gerand dan kembali masuk ke kamarnya. Gerand mengambil ponselnya dan menghubungi sekretarisnya "Ya pak" suara serak sekretarisnya menyadarkan Gerand kalo jarum jam masih menunjukkan pukul 4 subuh. "Maaf saya menganggu tidur kamu, mulai hari ini... saya pindah rumah, tolong kamu persiapkan semua barang-barang saya" "Pindah kemana pak, kemana saya harus mengantar barang bapak" "Ke rumah yang kelak akan menjadi rumah saya" **** Sudah 5 hari Gerand tinggal satu atap dengan Gilina, Ano orang pertama yang girang melihat dan mengetahui kalo Gerand tinggal satu rumah dengannya, meski Gilina melarangnya terlalu sering berada dilantai atas tapi wajah Ano yang memohon izin mau tidak mau membuat Gilina pasrah, tak jarang Ia dan Gerand bertengkar dan yang memicu pertengkaran itu sebenarnya tidaklah terlalu penting, apalagi ditambah mertunya menerima Gerand dan bersikap ramah. "Mau nebeng?" Tanya Gerand ketika melihat Gilina menendang ban mobilnya yang kempes, Gilina membuang wajahnya. "Aih belagu amat mbak, hati-hati nanti saya culik terus buang ke comberan mau?" Ujar Gerand menggoda Gilina. "Iya saya belagu, makanya anggap saja saya tembok... jangan sapa, jangan tegur apalagi deketin" balas Gilina. "Waduh, kalo temboknya secantik anda, saya mau dong jadi catnya... menempel dan tidak lekang oleh cuaca" Gerand berusaha menahan muntah dan eneg mendengar gombalan kampungan yang keluar dari mulutnya sendiri. Gilina memelototkan matanya dan berjalan keluar. "Lebih baik naik taxi daripada semobil dengan bule kampung bin alay" gerutu Gilina. "Mbak, udah jangan sungkan... naik saja mobil saya, lebih empuk dan nyaman daripada taxi lagian apa tidak takut nanti di rampok supir taxi?" Gerand sengaja menakuti Gilina, dan sepertinya berhasil. Gilina terlihat bimbang dan ragu, apalagi dulu Ia pernah mengalami hampir dirampok didalam taxi. "Saya butuh mobil, dan mengganti ban adalah pilihan yang tepat" Gilina tersenyum licik, sekali-kali memberi pelajaran dan perhitungan kepada bule palsu tidak masalah bukan. "Ganti ban? Memangnya anda bisa?" tanya Gerand, Gilina menggeleng. "Terus apa tunggu montir? Tapi kelamaan bukannya  anda mengejar rapat" tanya Gerand, Gilina menggeleng kembali. "Bukan montir... tapi anda, anda bisakan mengganti ban? Tidak mungkin tidak bisa" balas Gilina. "Hah? Saya? Saya tidak bisa..." ujar Gerand menolak, Gilina tau mana mungkin bule bisa mengganti ban, apalagi orang sekaya Gerand, sangat berbeda dengan Jilino yang mahir, hitungan menit juga selesai jika dia yang mengganti ban bocor. "Ya sudah saya naik taxi saja, permisi" Gilina mengibaskan rambutnya dan berjalan menuju pangkalan taxi didepan komplek. "Dasar wanita aneh.... Gili tunggu, oke oke saya coba gantikan bannya, tolong tunggu sebentar, jika 30 menit tidak selesai, anda bawa saja mobil saya" Gilina menghentikan langkahnya dan berbalik dengan wajah menahan tawa. "Baiklah, ban serap taukan letaknya dimana?" Tanya Gilina, Gerand membuang nafas dan membuka dasi serta kancing atas kemejanya, lengan baju dinaikkan dan ia mulai mengerjakan ban mobil Gilina, Gilina masuk kedalam rumah dan tertawa terbahak-bahak. "Mampus, siapa suruh nyebelin jadi orang" tawa Gilina yang lepas tak luput dari perhatian Arkhan dan Seloira, tawa yang sudah lama tidak mereka lihat semenjak Jilino meninggal. "Sepertinya sebentar lagi kita harus belajar melepaskan Gilina Mas" ujar Seloira, Arkhan setuju dan memeluk pinggang istrinya. "Iya, tapi sebelum Gilina pergi... Mas mau nanya, kok pinggang kamu semakin mengecil? Bukannya Mas udaa larang kamu diet" "Aih Mas ingat udah tua, bukan lemak yang ditimbun tapi kebahagiaan anak dan cucu, aku kurus karena membantu nak Gerand merapikan lantai atas, ya demi Gili jugakan, makanya kita setuju menerima Gerand, padahal kita tau semua akal-akalan Gerand, mabuk dibuat- buat dan juga usahanya menaklukkan Gili melalui Ano, dia pikir kita anak kemarin sore ya Mas, gak tau aja dia kalo raja modus itu masih Mas pemenangnya" Arkhan tertawa dan mencium pipi Seloira. "Mudah-mudahan Gili bisa membuka hatinya" "Semoga" balas Seloira. **** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD