BAB 2

1696 Words
Ini pertama kalinya Zee menginjakkan kaki ke Bandara Internasional Seokarno Hatta. Zee berjalan bersama penumpang lainnya menuju pintu kedatangan. Bandara ini jauh lebih basar dan megah dari pada bandara Supadio Internasional Pontianak. Aktifitas juga jauh lebih sibuk, ia melihat orang berlalu lalang, menunggu ada yang sedang boarding pass ada juga penumpang no-show sedang marah-marah kepada petugas, karena penumpang yang melakukan booking, namun haknya tidak muncul saat jadwal penerbangan. Ya, seperti inilah aktifitas sibuk di bandara. Zee mengedarkan pandangan kesegala area bandara. Dirogohnya ponsel disaku celana, ia mencari nomor kontak pak Heri. Karena ibu Melinda, mengatakan bahwa ketika tiba di bandara, maka ia hubungi nomor ini. Katanya pak Heri adalah salah satu supir Manhattan Hotel. Zee menekan tombol hijau pada layar, ia letakkan ponsel itu di telinga kiri. Ia menunggu hingga sang pemilik nomor mengangkat panggilannya. “Hallo,” Zee mendengar suara berat dari balik speaker. Zee melihat jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 09.20 menit. Padahal masih terhitung pagi, lihatlah cuaca di luar sana begitu panas. “Selamat pagi pak,” “Selamat pagi juga,” “Ini saya Zeze dari Pontianak, karyawan Manhattan hotel, saya sudah di depan pintu kedatangan,” “Owh iya ibu, saya sudah di depan, nunggu ibu, saya berkemeja hitam,” ucap pak Heri. Zee mencari keberadaan orang yang dimaksud. Ia mencari sosok berpakaian hitam, dan jumlahnya memang banyak ada di sana sini. Zee mendapati apa yang ia cari, di sana hanya ada satu orang yang memegang ponsel ditelinga kirinya. Laki-laki separuh baya itu sepertinya menyadari kehadirannya. Zee lalu berjalan ke arah beliau, dia bertubuh tambun, berkemeja hitam dan tersenyum memandangnya. Pak Heri memperhatikan penampilan Zee, wanita itu mengenakan celana jins dan kemeja berwarna putih. Penampilannya terlihat rapi dan menarik, wanita inilah ternyata sekretaris direktur selanjutnya. Ia berharap dia betah, karena wanita ini merupakan satu-satu nya sekretaris yang diangkat langsung dari luar daerah, “Ibu Zee ya,” pak Heri memasukan Hp disaku celana. Zee tersenyum dan mengangguk, "Iya pak, maaf ya bapak sudah nunggu lama," Zee menyelipkan rambutnya ditelinga. “Enggak apa-apa bu, sudah biasa seperti ini. Biasa saya juga nungguin tamu bapak dari luar kota, malah lebih lama lagi,” ucapnya sambil terkekeh. Pak Heri mengulurkan tangan ke arah Zee, “Perkenalkan saya Heri Minarto, supirnya pak Erik,” Zee membalas uluran tangan laki-laki itu, “Saya Zeze Mahendra, biasa di panggil Zee,” “Katanya Ibu dari Pontianak ya,” “Iya, pak,” “Jauh juga ya bu, sampai dimutasi ke Jakarta. Bapak harap ibu betah kerja di sini,” “Semoga saja pak,” “Maaf bu, sini kopernya saya bawain," “Iya pak,” Zee tersenyum menyerahkan kopernya kepada pak Heri. Zee mengikuti langkah pak Heri menuju ke area parkiran. Zee melihat dia memasukan koper dibagasi, dan membuka pintu mobil untuk Zee. Pak Heri mempersilahkan Zee masuk. Semenit kemudian mobil dan meninggalkan area bandara. “Masih pagi tapi panas banget ya pak,” ucap Zee membuka topic pembicaraan. “Maklum bu, namanya juga Jakarta,” “Tapi lebih panas di Pontianak loh pak,” “Masa’ sih bu,” “Serius, kalau enggak percaya coba bapak ke Pontianak,” ucap Zee sambil terkekeh. *** Satu jam kemudian, Zee menatap bangunan kost bertingkat tiga, tepatnya di belakang gedung Manhattan Hotel. Ia pikir kost yang akan ditempatinya mirip kost-kostan biasa dan sederhana. Ternyata kost ini terbilang cukup mewah, yang ia bayangkan sebelumnya. “Saya disuruh pak Erik ngantar ibu kesini, disini tempat tinggal ibu selama kerja di Jakarta. Memang dicarikan letaknya dekat dari kantor, hanya perlu jalan kaki ke depan. Kata bapak, jika ibu sudah siap, langsung menghadap bapak hari ini juga," Pak Heri menyerahkan kunci kepada Zee. Zee menerima kunci kost itu dari tangan pak Heri, “Saya menghadap pak Erik jam berapa pak?," Tanya Zee. “Kapan saja bu, ibu siapnya jam brapa? Nanti saya konfirmasi ke bapak,” Zee melirik jam ditangannya menunjukkan pukul 11.10 menit, “Jam 2 siang ya pak saya kesana, soalnya ingin bebenah dulu,” “Iya bu, nanti saya sampaikan. Kalau ada apa-apa hubungin saya saja,” pak Heri melangkah meninggalkan Zee menuruni tangga. “Iya pak,” Zee menatap pak Heri menjauh darinya. Zee membuka hendel pintu, ia mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan. Ruangan kamar ini tidak terlalu besar dan tertata rapi. Sepertinya memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ini hanya sebuah kamar, tempat tidur berukuran sedang, dengan saprai berwarna putih, serta di sana dan Tv flat berukuran 42 inchi. Ia melangkahkan mendekati kamar mandi. Ia memeriksa tempat yang paling privacy itu, ternyata lumayan bersih. Kamar ini lebih mirip kamar hotel menurutnya. Jujur kost ini jauh lebih baik dari pada kamarnya di rumah. Zee menggulung rambut ke belakang. Agar lebih leluasa untuk beraktifitas, ia akan menyusun bajunya di lemari. Pakaian yang ia bawa tidak banyak, hanya yang penting-penting saja. Selebihnya ia akan membeli di sini saja, toh harga pakaian di sini jauh lebih murah. Jika sempat ia akan ke Tanah Abang, mencari pakaian. Setalah menyusun pakaian Zee lalu segera melaksanakan ritual mandi dan beristrahat sejenak. *** Zee memfokuskan penglihatannya, sambil menahan kantuk. Zee mencari ponsel yang ia letakkan tempat tidur. Ponsel itu terselip dibawah bantal, diliriknya jam digital pada layar menunjukkan pukul 01.15. Ternyata sudah dua jam ia terlelap. Zee menegakkan punggung sambil merenggangkan otot-otot tubuh. Ia lalu berdiri mengambi handuk kecil miliknya di lemari. Ia akan mencuci wajahnya di kamar mandi. Setelah itu Zee melangkahkan kaki menuju lemari. Pilihannya kali tertuju pada kemeja berwarna coklat pastel dan dipadu dengan rok hitam selutut. Tidak lupa blezer hitam ia kenakan. Zee mencoba memblow rambutnya sebentar, ia tidak ingin berpenampilan acak-acakan di hadapan seorang direktur. Terlebih ini merupakan pertama kalinya ia bekerja. Baginya wanita itu harus menjaga penampilan, ia bahkan terkadang berdandan berjam-jam lamanya agar terlihat menarik. Mungkin di luar sana banyak yang bilang bahwa laki-laki suka melihat wanita yang alami tanpa dandan. Itu hanya mitos belaka, masalahnya laki-laki sama sekali tidak tahu bagaimana cara membedakan make up natural dan tidak. Setidaknya wanita itu harus memakai bedak atau lipblam. Apalagi ia sebagai wanita pekerja, dituntut selalu tampil segar. Bertemu rekan kerja, dan klien, setidaknya ini membuktikan bahwa ia menghargai diri sendiri dan orang lain. Point penting berdandan akan membuat semua orang bersemangat, dan dinilai memiliki kepribadian yang rapi. Zee menatap penampilannya sekali lagi, tidak ada satupun yang kurang pada dirinya. Ia mengambil tas berwarna coklat miliknya. Ia melangkah meninggalkan kamar kost, menuju Manhattan Hotel. Zee menghela nafas, ditatapnya bangunan berlantai sepuluh itu. Zee memasuki lobby dan disambut ramah oleh security. “Ada yang bisa saya bantu bu?,” Tanya security itu. “Saya ingin bertemu dengan pak Erik, sudah janji bertemu beliau,” “Owh pak Erik, ibu sudah buat janji sebelumnya?,” Tanyanya lagi. “Sudah pak,” “Mari bu, saya antar ke ruangan pak Erik,” security meninggalkan area lobby. Zee mengikuti langkah security, masuk ke lift dan menuju kelantai lima. Zee melihat laki-laki itu membuka pintu untuknya. “Bapak ada didalam, silahkan masuk,” Zee mengangguk dan lalu tersenyum, “Terima kasih, pak,” Zee manarik nafas dan membuka pintu secara perlahan. Zee menatap ruangan berdominasi warna putih, ruangan itu tertata rapi dan ia melihat sebuah lukisan wanita bali berukuran besar yang menggantung di dinding. Zee menutup pintu kembali dan masuk ke dalam. Zee memandang laki-laki bertubuh bidang itu sedang berdiri. Dia menoleh ke belakang, seakan tahu bahwa dirinya lah wanita yang ditunggu. Iris mata saling berpandangan sama lain. Zee berusaha tenang, ia memperhatikan wajah laki-laki itu. Dia memiliki rahang kokoh, mata tajam dan alis tebal. Wajah itu tanpa senyum, Zee menelan ludah, menahan gugup. Ia pikir direktur yang di milikinya memiliki tubuh pendek, bertubuh gemuk, dan berkumis, ternyata semua luar ekspetasinya. Nyatanya dia begitu tampan, "Masuk lah," ucapnya tenang. Zee mengikuti intruksi dan lalu duduk di kursi kosong. Erik memperhatikan wanita itu, ada beberapa alasan kenapa ia memilih sekretaris dari luar daerah. Karena biasa karyawan perantau lebih giat bekerja dari pada di sini. Tentu saja harus memenuhi kualifikasi sebagai sekeretaris. “Kamu Zeze Mahendra,” ucapnya, membaca profil di dalam map. “Iya pak,” Erik memperhatikan Zee, wanita itu sama saja seperti sekretaris sebelumnya. Berpenampilan menarik, make up tidak berlebihan dan memiliki tubuh ideal. “Sudah diberitahu sebelumnya, posisi kamu sebagai sekretaris ?,” “Sudah pak,” “Apa kamu sudah berpengalaman menjadi sekretaris sebelumnya?,” “Belum, basic saya sebelumnya adalah accounting, karena saya lulusan sarjana ekonomi, tapi tidak menutup kemungkinan saya bisa, menjadi seorang sekretaris,” “Coba jelaskan kepada saya sekretaris itu seperti apa, saya ingin tahu cara pandang kamu tentang seorang sekretaris,” Erik ia ingin tahu bahwa calon sekretarsinya itu cerdas atau tidak. Zee tidak menyangka bahwa laki-laki dihadapannya ini bertanya seperti itu kepadanya. Jika ia tahu ada pertanyaan ini, maka ia akan menyonteknya di google saja. Oh Tuhan, kenapa ia tidak kepikiran ditanya seperti ini. Ia seperti sedang di interview oleh ibu Melinda. Ia pikir akan langsung kerja dan diberi tugas menumpuk. Zee menarik nafas ia lalu memandang iris mata itu, “Menurut saya, sekretaris itu adalah seorang administrasi yang bersifat asisten. Maaf itu saja yang saya tahu, itu juga karena saya membaca novel romance yang saya baca,” “Tapi yang saya ketahui bahwa seorang sekretaris itu sebagai citra perusahaan, karena dialah orang yang diberi tangan kanan dan kepercayaan langsung oleh pimpinannya,” ucap Zee lagi. Erik yang mendengar itu lalu tersenyum, ternyata dia cukup cerdas, “Penjelasan kamu bisa saya terima,” gumam Erik. “Bapak tenang saja, saya orang yang mengerti tentang pembukuan, accounting, mampu berbicara bahasa Inggris dan saya sudah terbiasa berbicara di depan publik,” Dengan melihat cara dia berbicara, ia tahu bahwa Zeze Mahendra ini adalah wanita yang cerdas, staff inti di Pontianak memang mencari sesuai kualifikasi yang ia pinta. “Saya pikir kamu cerdas, penjelasan kamu begitu lugas. Sepertinya kamu cocok bekerjsama dengan saya,” “Terima kasih pak,” "Oke, saya harap kamu bisa bekerja dengan baik, Job description kamu sudah ada di meja, ruangan kamu disebelah sana,” Erik lalu berdiri dan melangkah mendekat ke arah pintu sebelah ruangannya, dibukanya pintu, ia melirik Zee mengikuti langkahnya. "Di sini ruangan kamu, bekerjalah dengan baik. Jika tidak mengerti Job description yang telah dilampirkan, kamu bisa menannyakan kepada saya," "Baik pak," ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD