Nirmala menghapus air matanya yang mengalir kembali. Dengan tersendat, wanita itu menceritakan semuanya. Tanpa ada yang ditutupi. Karena selama ini ia memang sangat dekat dengan putra dari budhenya itu. Mamanya Hans adalah kakak dari Papanya Nirmala.
"Nanti Mas akan menemui Bre."
"Ja-jangan, Mas."
"Jangan gimana? Mas harus menyelesaikan ini."
Nirmala diam. Hans menatap iba. Ia tahu, kalau Nirmala tidak mungkin melakukan perbuatan yang dituduhkan Brian. Sejak kecil ia kenal sepupunya itu bagaimana.
"Mas, jangan beritahu orang rumah dulu. Jangan kasih tahu Mas Pandu. Aku mohon."
Hans mengangguk. "Oke. Terus kamu masuk kerja nggak hari ini?"
"Tidak. Besok, mungkin," jawab Nirmala sambil menunduk. Rasanya ia belum siap bertemu Brian. Karena kantor mereka bersebelahan.
Setelah beberapa saat mereka saling diam, dan Hans selesai mengecek ponsel, akhirnya pria itu berdiri.
"Mas berangkat kerja dulu. Nanti Mas pesankan makan lewat online, ya."
Nirmala mengangguk. "Maaf, ngrepotin, Mas."
"Emang dari dulu kamu suka ngrepotin, kan."
Nirmala tersenyum canggung. Biasanya dia akan membela diri, meledek, dan bercanda. Tapi kali ini tidak. Hans yang semula berniat bercanda jadi nggak enak hati. Didekatinya adik sepupu, kemudian mengusap lembut kepala Nirmala.
"Assalamualaikum," pamit Hans.
"Waalaikumsalam."
Setelah kepergian Hans, Nirmala kembali duduk di depan tivi. Dan kembali termenung. Ia menyalakan ponsel, mengirimkan pesan ke temannya kalau ia tidak masuk kerja hari ini. Kemudian ponsel kembali dimatikan.
🌷🌷🌷
Hans melajukan mobilnya ke arah kantor Brian. Sepagi ini hal yang ingin diselesaikan lebih dulu adalah memberesi urusan Nirmala. Ia tidak peduli sekali pun adik sepupu mencegahnya.
Suasana masih sepi saat ia sampai di pelataran sebuah perusahaan properti. Ada beberapa motor yang terparkir. Mungkin itu milik karyawan yang datang lebih awal.
Beberapa saat kemudian para karyawan mulai berdatangan, tapi sosok yang ditunggu belum juga datang. Hans tidak peduli walaupun jam terus merangkak naik dan ia harus segera sampai ke kantor.
Tepat pukul 07.30 dari spion ia melihat mobil sport mewah warna hitam pekat memasuki halaman parkir. Hans membuka pintu mobil. Kemudian melangkah mendekat pada mobil Brian yang terparkir tidak jauh dari mobilnya. Hans memasukkan kedua tangan di saku celananya, menunggu pria itu keluar.
Brian tidak terkejut dengan kehadiran Hans. Ia bisa membaca gelagat bahwa pria itu sudah tahu masalahnya.
"Apa yang kau lakukan pada Nirmala?"
Brian tersenyum miring. "Tanya dulu pada adikmu. Apa yang telah dilakukannya padaku."
"Nirmala tidak akan bertindak bodoh seperti itu. Mempertaruhkan kehormatannya hanya untuk mendapatkan pria egois dan playboy sepertimu."
"Egois katamu? Kalau aku egois aku tidak akan sudi menikahinya."
"Sebagai seorang pejantan harusnya bukan begitu caramu menyelesaikan masalah. Dengan mengusirnya tanpa mendengar penjelasan lebih dulu."
"Tau apa kamu tentang hidup aku? Hah ...."
Suasana kian tegang. Beberapa orang yang melihat nampak cemas. Mereka tidak berani mendekat apa lagi melerai.
"Sekarang katakan padaku, apa yang harus aku lakukan pada perempuan murahan seperti adikmu!"
Wajah Hans seketika memerah menahan amarah. Giginya gemertak dengan tangan mengepal di saku celana. Hatinya terlalu sakit saat adik selembut Nirmala dibilang murahan.
"Kalau murahan kenapa kau menyentuhnya? Dasar munafik." Hans berkata sambil melayangkan tinjunya pada rahang Brian. Hingga membuat pria itu terhuyung ke belakang dan menabrak mobilnya.
Ada nyala amarah di mata Brian. Ia bergerak maju dan memukul Hans. Tapi sayang, kepalan tangannya hanya menghantam ruang kosong. Brian mengulang sekali lagi dan mengenai pelipis Hans. Seketika mata Hans berkunang-kunang. Karyawan Brian yang melihat berteriak khawatir. Beberapa laki-laki sontak mendekat dan memegangi dua lawan.
"Cukup, Pak. Kita laporkan polisi saja," ucap seorang pria yang ternyata staf Brian.
"Jangan," kata Brian.
"Lapor saja jika kamu tidak terima. Aku akan menghadapimu di sana atau di pengadilan. Biar orang pada tahu, manusia seperti apa dirimu. Ayo, aku tunggu!"
Dengan kasar Hans melepaskan pegangan beberapa orang di lengannya. Kemudian masuk ke mobilnya sambil menatap tajam Brian disebelah sana.
Brian masih termangu penuh amarah. Rasanya tidak terima ia dipermalukan di depan para karyawannya.
Dari arah lain masuk sebuah mobil sedan warna silver. Lantas keluar seorang wanita seumuran Hans yang nampak bingung melihat keadaan. Ia melangkah dan mengetuk kaca mobil Hans.
"Ada apa, Hans?"
"Tanya adikmu, ada apa sebenarnya?" jawab Hans masih dalam nada marah.
Setelah berkata demikian Hans menyalakan mesin mobil. Kemudian mundur mengambil jarak, lantas melaju pergi.
Wanita yang bernama Yulia itu tergesa mengikuti adiknya yang masuk ke kantor. Ia terus mengejar hingga masuk ruangan Brian.
"Ada apa, Bri?" tanya Mbak Yulia penasaran.
Brian memandang sekilas kakaknya. Sambil meraba ujung bibir yang terasa perih. Pria itu meraih tisu untuk mengelap, padahal tidak ada darah dibibirnya.
"Jawab pertanyaan Mbak? Ada apa? Nggak mungkin Hans bertindak begitu jika kamu nggak macem-macem."
"Yaelah, Mbak. Laki kayak gitu aja dibelain. Move on, dong, Mbak."
Yulia jengah. Disambarnya hand bag bermerk itu dari atas meja. Kemudian meninggalkan ruangan adiknya.
🌷🌷🌷
Langit sore cerah kekuningan. Mentari hampir tergelincir ke peraduan. Nirmala duduk di samping rumah, dibawah pohon mangga yang berbunga lebat. Ia ingat, sewaktu kecil dulu sering bermain ayunan dibawah pohon itu. Bersama Mas Pandu dan Hans sepupunya. Kenangan yang manis.
Bunyi klakson membuatnya menoleh kemudian beranjak menghampiri mobil Hans.
"Ngapain melamun disitu?"
Nirmala hanya menjawab dengan senyuman. Kemudian mereka sama-sama masuk rumah. Hans langsung masuk kamar untuk mandi dan sholat ashar. Sedangkan Nirmala membuatkan segelas teh hangat.
Beberapa menit kemudian Hans keluar memakai kaos berkrah warna putih dengan celana pendek. Ia duduk di sofa bersama Nirmala. Diraihnya tangkai gelas dan menyesap isinya.
"Mas," panggil Nirmala hati-hati.
"Ya."
"Mas, nemuin Brian, ya?"
"Kamu tahu darimana?"
"Tadi Diyan nelfon, ngelihat, Mas, berkelahi dengan Brian di halaman kantor."
Hans mendesah kasar, kemudian menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Memang lakimu itu pantas dikasih pelajaran. Udah jangan kamu pikirkan."
Nirmala diam sambil memainkan ujung kaosnya. Sedangkan Hans melihat ke layar tivi.
"Siapa yang setega itu menjebak kami?"
Hans memandang adik sepupunya. Rasa iba membuncah di d**a. Ia menyesalkan kenapa masalah itu tidak diusut lebih dulu. Justru orang tua Brian beriya sangat untuk menikahkan mereka.
"Di tempat, Mas, ada lowongan pekerjaan, nggak?"
"Kenapa?"
"Aku mau resign aja dan nyari kerjaan lain."
"Jangan pindah. Itu justru nunjukin kalau kamu cengeng. Tetap kerja disana dan tunjukkan bahwa kamu perempuan tangguh."
Benar juga yang dikatakan sepupunya, tapi apa Nirmala bisa sekuat itu. Sanggupkah dia? Bertemu dengan Brian dan tatap kebenciannya.
Next ....