Nirmala yang Rapuh

1288 Words
Nirmala duduk di sofa depan tivi setelah mandi dan sholat ashar. Pak Malik yang duduk di ruang makan memandang perut besar putrinya. Beliau sangat kasihan melihat Nirmala. Kondisi hamil tanpa ada sosok suami yang mendampingi dan memperhatikan. Bahkan sudah menjanda di pernikahannya yang singkat. Dan bayi itu lahir tanpa seorang ayah yang menyambutnya. Memikirkan itu, membuat hatinya terhiris pedih. "Papa, mikirin apa?" tanya Bu Arni yang duduk disampingnya. "Lihat, anak kita, Ma." Pak Malik menunjuk Nirmala dengan gerakan dagunya. Bu Arni menoleh. "Kasihan Nirmala. Dia harus mengalami nasib seperti ini." Bu Arni menyentuh tangan suaminya. Keduanya berpandangan. Ada sorot mata yang coba saling menguatkan. "Semoga setelah ini, dia dapat jodoh yang lebih baik. Yang bisa menerima dia apa adanya." "Aamiin." Bersamaan dengan adzan Maghrib, dari pintu depan ada yang mengucap salam. Kemudian muncul seorang pria. Hans tersenyum dan menyapa Nirmala, lantas masuk ke dalam. Bersalaman dan mencium tangan Om dan Tantenya. "Darimana?" "Dari rumah rekan, Om. Lewat sini sekalian mampir mau sholat Maghrib." "Ayo, kalau gitu. Habis sholat Maghrib kita makan malam bersama. Tadi ada yang ngidam ayam rica-rica," ucap Bu Arni sambil melirik pada Nirmala yang sudah berdiri di antara mereka. Membuat anak perempuannya nyengir. Mereka berempat sholat Maghrib berjamaah. Nirmala melipat dan mengemas ruang sholat. Sedangkan Mamanya langsung ke ruang makan untuk menyiapkan makan malam. Pak Malik dan Hans duduk menunggu di ruang makan sambil ngobrol tentang pekerjaan. "Mas, ikan hiasku di toples dekat tivi dikasih makan nggak?" tanya Nirmala pada Hans setelah dia duduk di kursi yang berseberangan dengan pria itu. "Kemarin Mas kasih. Hari ini belum." "Haduh, nanti mati lho." "Nggaklah, nanti pulang Mas kasih makan." "Sudah, ayo, makan dulu," ucap Bu Arni sambil meletakkan piring di depan anggota keluarganya. Mereka makan sambil ngobrol ringan. Pak Malik menanyakan tentang pekerjaan Hans dan juga rencana dia ke depan. Tentunya pernikahan. Mengingat usia Hans sudah menginjak angka tiga puluh tahun. Mereka juga tahu kandasnya hubungan pria itu dengan Yulia. Dan setelahnya sang keponakan tidak terdengar menggandeng cewek manapun. Hans ini hidup sendirian sejak Mamanya meninggal empat tahun yang lalu. Sedangkan papanya telah menikah lagi, sejak Hans masih duduk dibangku SMP. Hans adalah korban broken home. Makanya Pak Malik dan istrinya sangat memperhatikan Hans. Mereka menyayangi pria itu seperti anak kandungnya sendiri. Setelah makan, Pak Malik mengajak Hans duduk di teras depan. "Om, khawatir dengan Nirmala setelah dia melahirkan, Hans. Apalagi sekarang kalau suruh periksa kandungan suka menolak. Katanya dia baik-baik saja." Hans nampak heran. Karena selama tinggal dengannya, Nirmala rajin periksa tiap jadwal yang ditetapkan dokter. Meski awalnya juga sempat mau membuang anak itu. "Masa, sih, Om. Waktu tinggal dengan saya, dia nggak pernah membantah. Saya yang selalu mengantarnya." Pak Malik menghela nafas panjang. Ada kesedihan membayang disetiap gerakannya yang gelisah. "Bahkan sekarang diajak belanja baju bayi sama Mamanya juga menolak. Biar Mama saja yang beli, katanya." "Om khawatir, Hans. Jika terjadi apa-apa saat dia lahiran nanti." "Om, tenangkan diri. Jangan sampai sakit, Om, kambuh lagi. Saya yang akan bicara dan membujuk Nirmala." Pak Malik menoleh, "Tolong, ya, Hans." "Iya, Om." Hans mengangguk pasti. Saat itu Bu Arni mendekat, kemudian duduk disebelah suaminya. Apa yang diceritakan wanita itu juga sama dengan cerita suaminya. Dari jendela kaca Hans melihat Nirmala duduk sendirian di depan tivi. Pria itu minta izin sama Om dan Tantenya untuk bicara dengan Nirmala. "Hai, gimana kandunganmu?" tanya Hans setelah duduk di sofa sebelah adik sepupunya. "Baik." "Kamu yakin?" "Iya. Lihat ini, masih suka nendang-nendang," tunjuk Nirmala pada perutnya yang hampir bulat sempurna. "Kata Om dan Tante kamu nggak mau periksa. Kenapa?" "Aku baik-baik saja." "O, jadi kamu ingin pindah biar bebas mengabaikan bayimu? Gitu?" "Ingat, Nirmala. Dia tidak tahu apa-apa. Dia butuh kasih sayangmu sebagai ibunya. Jangan sakiti dia. Biarkan bayi itu mendapatkan kebahagiaan seperti anak yang dilahirkan ditengah keluarga lengkap dan bahagia." Nirmala menunduk, dia terisak pelan. "Bagaimana jika kelak dia tanya siapa ayahnya. Aku harus jawab apa, Mas?" "Bilang saja kalau Mas atau Pandu bisa dipanggilnya Papa." "Nggak lucu," jawab ketus Nirmala. "Memang Mas nggak sedang bercanda. Makanya nggak lucu." Nirmala memandang Hans dengan kaca-kaca yang memenuhi mata. "Kenapa dulu, Mas, melarangku untuk-" "Membuangnya?" sahut Hans cepat. "Astaghfirullah, Nirmala! Tahu nggak kalau itu dosa besar. Ngapain menyesali suatu dosa yang gagal kamu lakukan." Nirmala menangis. "Aku malu, Mas." "Malu kenapa?" "Bagaimana jika nanti ada yang tanya, siapa ayahnya. Aku tidak ingin menyebut nama laki-laki itu. Dia tidak mau anak ini." Tangis Nirmala makin keras. Tapi kedua orang tuanya tidak mendekat. Mereka membiarkan Hans untuk mengatasinya. Memang tidak banyak yang tahu, waktu Nirmala dan Brian menikah. Karena dilakukan secara tertutup dan terkesan terburu-buru. "Bilang saja seperti Mas katakan tadi." "Nggak mungkin. Mereka akan mencibir. Mana mungkin ayah anakku adalah saudaraku." Hans diam sesaat. "Udah, jangan nangis. Kasihan Om melihat kamu seperti ini. Mas besok pulang kerja kesini ngantar kamu periksa." Nirmala tidak menjawab. Ia sibuk menyeka air matanya. Pria tegap dengan tinggi 180 cm itu berdiri. Kemudian mengusap kepala adik sepupunya. "Mas pulang dulu," pamitnya. Nirmala mengangguk. Hans segera keluar dan berpamitan pada Om dan Tantenya. Mereka baru masuk rumah setelah sang keponakan pergi dengan mobilnya. 🌷🌷🌷 Sesampainya di rumah, Hans tidak segera turun dari mobil. Dilihatnya di teras rumah ada Yulia yang menunggunya. Diambil berkas di sebelah tempat duduknya, kemudian dia turun. "Assalamualaikum." Hans mengucapkan salam. "Waalaikumsalam." Hans tidak mempersilakan Yulia masuk. Dia malah ikut duduk di kursi teras. "Ada apa kesini?" "Emm, sebenarnya ... aku ingin bertemu Nirmala. Tapi dari tadi rumahmu sepi." Yulia terlihat canggung dan salah tingkah berhadapan dengan pria yang masih dicintainya. Sedangkan Hans sendiri nampak tenang. "Nirmala tidak tinggal di sini lagi. Ada urusan apa mencari Nirmala?" "Kata Mama dia mengandung." Hans diam. "Benarkah, Hans?" Baru pria itu menganggukkan kepala. "Bisakah aku bertemu dengannya?" "Harusnya adikmu yang mencarinya bukan kamu." "Brian sempat menemui Nirmala tempo hari. Waktu dia masih disini. Mungkin kamu sedang tidak ada di rumah. Brian tidak tahu kalau Nirmala hamil waktu ngurus surat cerai." Hans membuang pandang ke arah lain. Dia menghindari kontak mata dengan mantan kekasihnya itu. "Tahu atau tidak. Kupikir itu tidak mempengaruhi keputusan adikmu. Dia tidak peduli Nirmala hamil atau tidak. Brian pernah mengatakan itu di pagi mereka bertengkar. Apa adikmu tidak bercerita? Hmm, tentunya tidak. Pulanglah dan tanya pada Brian." Hans berdiri. Kemudian merogoh kunci rumah dari saku celananya. Yulia juga tergopoh ikut berdiri. "Pulanglah! Kurasa masalah mereka sudah selesai. Jadi percuma saja sekarang kamu baru sibuk mencari tahu." Pintu telah terbuka. Karena Hans tidak mempersilakannya masuk, Yulia akhirnya pamitan pulang. Pria itu hanya mengangguk sejenak lantas masuk rumah. Sebentar kemudian mobil wanita itu terdengar menjauh. Hans duduk di ruang keluarga. Lalu menyandarkan punggung di sofa. Dia tidak heran dengan tipe keluarga Yulia. Karena dia mengenal lama bagaimana karakter mereka. Hans ingat bagaimana perempuan itu berusaha mengatur dirinya, merencanakan sendiri apa yang harus Hans lakukan setelah pernikahan. Tanpa mau mendengar apa pendapatnya. Itulah yang membuat Hans memilih berpisah. Sebagai laki-laki yang akan jadi kepala keluarga, Hans harusnya diberi kuasa sebagai nahkoda. Tapi dilihat dari awal, Yulia ingin dominan mengaturnya. Setelah berpisah baru wanita itu menyesal dan berusaha ingin kembali. Tapi Hans bergeming. 🌷🌷🌷 Sebagai engineering dari sebuah perusahaan konstruksi, Hans sangat sibuk hari ini. Biasanya dia dibantu dua staf. Tapi yang seorang lagi ambil cuti karena istrinya melahirkan. Dia harus menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, karena hari ini tidak ingin ambil lembur. Dia ada janji ingin mengantar Nirmala ke dokter kandungan. 🌷🌷🌷 Hans pulang kerja dengan tergesa-gesa. Sampai rumah, segera mandi, sholat dan terus pergi ke rumah Nirmala. Mungkin nanti akan sholat Maghrib disana, setelah itu baru mengantar sepupunya ke dokter kandungan. Saat keluar dari mobil, Hans sudah disambut Nirmala dengan baju rapi dan hand bag yang terletak diatas meja. Wanita itu nampak segar dan bersemangat. Ada senyum terukir dibibir ranumnya saat menyambut Hans yang melangkah ke arahnya. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD