Dukungan Keluarga 2

743 Words
Mata Pandu penuh amarah. Ia hampir mencengkeram lagi kerah kemeja Brian. Tapi seorang staf Brian menarik Pandu ke belakang. Pandu mengibaskan tangan lelaki itu. "Adikku tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti tuduhanmu. Atau mungkin kamu sendiri yang justru menjebak adikku." Brian tertawa ngakak. Benar-benar sebuah ejekan. "Aku tidak perlu melakukan tindakan konyol itu. Masih banyak perempuan di luar sana yang suka rela tunduk padaku." Pandu meludah mendengar ucapan Brian. "Bagus, kamu sama rendahnya dengan perempuan-perempuan yang kamu maksud itu." Brian menatap marah. Ia berjalan mendekati kakak iparnya. Tapi staf lain mencegahnya, "jangan, bos. Kita ada undangan dinner malam ini. Mari kita pergi." Pergaduhan senja itu terpaksa berakhir. Beberapa orang karyawan yang kebetulan belum pulang segera buyar. Pandu menyentuh ujung bibirnya dengan jari. Terasa perih. Kemudian ia pergi meninggalkan parkiran kantor Brian. ***L*** "Kenapa, Mas Pandu melakukan ini?" protes Nirmala sambil menangis. Saat Pandu langsung menemuinya di rumah Hans. "Mas, menyakiti diri sendiri." "Mas lebih sakit melihatmu diperlakukan seperti ini. Cerai saja. Kita urus sendiri ke pengadilan." Nirmala menyeka lebam di wajah kakaknya dengan washlap dan air hangat. "Mas, jangan mengulangi lagi. Dia bisa menuntut, Mas Pandu, di pengadilan. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan keluargaku. Aku akan mengurus surat cerai dan semua akan selesai." Pandu memandang wajah sedih adiknya. Ia tidak tega. Apalagi perut Nirmala sudah nampak menonjol dibalik baju yang dipakainya. Bayi itu akan lahir tanpa pengakuan ayahnya. Siapa yang tidak sedih dengan semua ini. "Kalau butuh apa-apa telfon Mas atau Mbak Nety." Nirmala mengangguk. "Ya. Mas Hans banyak membantuku. Sementara aku belum butuh apa-apa." Sekarang tinggal menunggu beberapa waktu lagi, untuk mengabarkan hal ini sama Papanya. Setelah itu Nirmala bisa kembali ke rumah. Karena Pandu juga tidak mungkin mengajak adiknya tinggal di rumahnya, disana ada adik laki-laki istrinya yang sejak awal memang tinggal bersama mereka. Mungkin sampai kuliahnya selesai. Nirmala berhenti menyeka, saat terdengar mobil Hans memasuki halaman. Kakak sepupunya baru pulang kerja. Akhir-akhir ini pria itu memang sering pulang telat. ***L*** Minggu siang itu Nirmala diajak Diyan jalan-jalan disebuah pusat perbelanjaan. Awalnya Nirmala tidak mau, setelah di rayu akhirnya bersedia. "Ayo, aku beliin baju hamil. Aku baru gajian kemarin." "Nggak usah. Aku dah punya beberapa pasang. Dibelikan Mbak Nety juga." "Baju baby aja kalau gitu." "Nanti aja jangan sekarang. Masih lama lahirnya." "Baiklah, ayo kita makan spaghetti kesukaanmu." Untuk yang terakhir Nirmala setuju. Mereka masuk sebuah kafe favorit tempat nongkrong dulu. Tempat itu ramai pengunjung. Dan tempat paling tepi yang tersisa untuk mereka duduk. Keduanya bercanda, hingga tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan. Pria itu kaget dan intens memandang perut Nirmala yang mulai membuncit. Ia berhenti mengunyah makanannya. Kemudian menenggak minuman bersoda di kaleng. Selama Nirmala dan Diyan makan, tidak luput dari pengawasan Brian. Nirmala dan keluarganya tidak main-main. Mereka mengajukan perceraian untuk Nirmala dan dirinya, bahkan disaat wanita itu mengandung. Dan proses cerai yang ditangani pengacara itu hampir final. Brian terus memperhatikan hingga kedua sahabat itu keluar meninggalkan kafe. Brian tidak mengejar, tapi pikirannya yang melayang. Sampai detik ini, Nirmala tidak mencari atau memberitahu kalau ia mengandung. Seolah memang wanita itu tidak butuh dirinya. Dan Brian tetap dengan egonya yang tidak ingin tahu. Padahal jauh dilubuk hatinya, ia masih memiliki perasaan pilu, hati nuraninya tidak memungkiri bahwa itu pasti bayinya. "Bro, aku pergi dulu," pamitnya pada dua rekan yang makan bersamanya. Dua lembar uang seratusan ditinggalkan di meja. Brian segera bergegas pergi. Pandangannya menyapu seluruh pengunjung yang ada disekitarnya. Namun sosok Nirmala tidak ditemukan. Brian mengambil langkah ke kanan. Siapa tahu Nirmala akan pulang. Karena hari telah siang. Langkah pria itu terhenti saat melihat Nirmala duduk di bangku besi sendirian. Di depan lorong ke arah toilet. Brian duduk tepat disebelah Nirmala. Wanita itu terkejut saat menoleh. "Kenapa duduk disini?" tanya Nirmala ketus. "Sudah berapa bulan?" Bukan menjawab Brian malah bertanya. "Untuk apa tahu. Bukankah sebelum dia ada, kamu tidak menginginkannya." Setelah berkata demikian, Nirmala segera bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan Diyan keluar dari toilet. Nirmala segera menggamit tangan sahabatnya dan mengajaknya pergi. Brian menggigit bibirnya, sambil menatap kosong ke depan. Ada beberapa orang yang melihatnya bersitegang dengan Nirmala tadi. Tapi ia tidak peduli. Lantas ia bangkit, melangkah kemana Nirmala tadi pergi. ***L*** Jarak beberapa meter dari halte, Brian melihat Nirmala dan Diyan masuk ke dalam mobil Hans. Ia telat dalam beberapa menit saja. Brian melajukan mobilnya, ke arah jalan protokol. Menuju rumah pengacaranya. Ia ingin tahu urusan perceraian sudah sampai mana. Karena selama ini Brian pasrah dan tahu beres mengenai gugatan Nirmala. Semoga belum terlambat. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD