Bab 3 Mengusir Galau

1004 Words
Mereka berjalan menuju lift, yang akan membawa mereka ke lantai teratas hotel, tempat pesta berlangsung. Elenora merasa sedikit gugup, tapi Ayu terus mengoceh, mengisi keheningan di antara mereka. "Kau tahu? Pestanya bukan cuma untuk kita yang di rumah sakit, tapi juga untuk kru Dirgantara Air! Jadi jangan kaget kalau kau melihat banyak pilot dan pramugara ganteng berseliweran di sana," kata Ayu sambil menyeringai jahil. "Pilot dan pramugara ganteng?" Elenora mengangkat alis, tak bisa menahan senyum kecil mendengar antusiasme Ayu. "Iya, hitung-hitung cuci mata! Sekali-sekali kau harus rileks, Nora. Kau kan terlalu sibuk kerja sampai tidak sempat bersenang-senang. Lagipula, siapa tahu kau bertemu jodoh di sini," ujar Ayu sambil berkedip nakal. Elenora hanya menggeleng sedih. Mereka belum lama kenal, jadi belum banyak yang Ayu ketahui tentang dirinya. Lift berbunyi, pintunya terbuka, dan Ayu menarik Elenora masuk. "Kau harus janji satu hal, Nora." "Apa?" "Kau harus menikmati malam ini. Tidak boleh ada wajah murung. Kalau perlu, aku akan mengenalkanmu pada pilot paling tampan di pesta ini," Ayu berkata dengan penuh semangat, membuat Elenora tak kuasa menahan tawa kecil. "Baiklah, aku akan mencoba." "Bagus! Ingat, aku di sini untuk memastikan kau bersenang-senang," Ayu menegaskan, memegang bahu Elenora dengan dramatis. Lift terbuka di lantai paling atas, sebuah restoran yang telah disulap menjadi ruang pesta yang megah. Suara musik yang meriah langsung menyapa mereka. "Ayo, kita mulai malam ini dengan bersenang-senang." Ayu menarik Elenora masuk, memancarkan energi positif dengan keceriaan dan semangatnya. Para tamu terlihat berbaur dalam suasana penuh tawa dan musik yang mengalun lembut. Pelayan mondar-mandir membawa nampan berisi minuman dan makanan kecil. Elenora mencoba menyesuaikan diri, meskipun hatinya terasa berat. "Wow, lihat itu, cowok tampan." Ayu berbisik, matanya melirik ke arah seorang pria berjas hitam yang sedang tertawa bersama rekan-rekannya. "Kalau aku tidak tahu diri, sudah kuajak dia bicara duluan!" "Kau ini benar-benar, Ayu." "Serius, Nora. Hidup itu singkat. Kita perlu menikmati setiap momennya, apalagi di pesta seperti ini." Elenora tertawa pelan, mencoba membiarkan suasana pesta mengangkat beban di hatinya. Namun, pikirannya terus saja kembali pada kejadian di rumah Anggara. Kata-kata kasar dan penghinaan dari ibu dan ayah Anggara masih terngiang di telinganya. Sorot mata dan wajah Elenora berubah muram. "Kau baik-baik saja?" tanya Ayu, mengamati perubahan wajah temannya. Elenora tertegun, lalu dengan cepat menjawab, "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah setelah kerja." Dia tidak ingin bercerita tentang masalahnya. Biar saja hanya dirinya yang tahu. Namun, Ayu menatapnya dengan alis terangkat, seperti tidak sepenuhnya percaya. Tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa. "Kalau begitu, ayo kita ambil minuman. Aku butuh sesuatu yang segar untuk mulai malam ini." Elenora mengikuti Ayu ke bar kecil yang tersedia di salah satu sudut ruangan. Seorang bartender menyapa mereka dengan senyum profesional. "Apa yang kau inginkan, Ayu?" tanya Elenora, mencoba terdengar santai. "Aku mau sesuatu yang manis. Kau sendiri?" Elenora melirik menu di meja bar. Biasanya ia memilih wine atau minuman ringan dalam acara-acara seperti ini, tapi malam ini ada sesuatu dalam dirinya yang ingin memberontak. Dia ingin mengusir galau di hatinya. Kata orang, alkohol obat yang cukup manjur. Hmm, tidak ada salahnya dicoba. "Koktail dengan kadar alkohol sedang, apa pun yang disediakan," katanya kemudian. Ayu menoleh, terkejut. "Elenora, kau yakin?" Elenora mengangguk tegas. Bartender menyajikan dua gelas minuman, dan mereka membawa gelas masing-masing ke sudut ruangan untuk menikmati pemandangan kota dari balik dinding kaca besar. Lampu-lampu gedung pencakar langit Jakarta bersinar seperti lautan bintang, menghadirkan pemandangan yang menenangkan. "Kadang-kadang aku lupa betapa indahnya kota ini," ujar Ayu sambil menghela napas puas. Elenora mengangguk, menyesap minumannya. Minuman itu terasa hangat di tenggorokan, memberikan efek menenangkan yang aneh. Untuk pertama kalinya sejak beberapa menit yang lalu, ia merasa sedikit lebih ringan. Tiba-tiba suara seseorang memanggil Ayu dari kerumunan. "Ayu! Kau di sini juga?" Ayu menoleh dan tertawa. "Oh, itu dokter Alif! Ayo bergabung dengan mereka,” “Kau saja. Aku tunggu di sini.” Tolak, Elenora. Dia menyesap koktailnya dan menyandarkan punggung di kursi, berusaha terlihat santai. “Ya, sudah. Kau tunggu di sini. Aku sapa mereka sebentar." Sebelum Elenora sempat menjawab, Ayu sudah melangkah pergi. Ia kini duduk sendirian, menatap ke luar jendela. Sebuah rasa hampa kembali menyeruak di dalam hatinya. Elenora meneguk minumannya sampai gelas itu kosong. Bermaksud menambah minuman, dia berjalan menuju meja bar. Dia melihat seorang pelayan yang berjalan ke arahnya dengan nampan berisi tiga gelas anggur merah. Begitu pelayan itu mendekat, tanpa pikir panjang, Elenora mengulurkan tangan dan mengambil satu gelas dari nampan tersebut. "Maaf, Non, anggur itu—" Pelayan itu mencoba menghentikannya. Tapi Elenora sudah menyesap anggur itu. Minuman berwarna merah itu terasa hangat dan pahit di lidah, tapi masih lebih manis dari koktail yang dia minum tadi. Ia meneguk anggur itu sekaligus sampai habis dan meletakkan gelas kosong kembali di nampan. “Eh-eh.. Jangan!” Pelayan itu segera menjauh ketika tangan Elenora sudah kembali terulur, ingin mengambil satu gelas lagi. “Maaf, Nona. Ini sudah ada yang pesan.” lanjutnya sambil berjalan cepat ke arah meja di mana ada tiga orang wanita dengan dandanan glamour sedang duduk sambil ngobrol. Elenora tertawa kecil. Dia bisa memesan sendiri juga. Dengan langkah cepat dia terus ke meja bar. Dia kembali memesan koktail dan duduk di kursi di depan meja bar. Para undangan yang hadir terus disuguhi beragam makanan, namun Elenora hanya menikmati minumannya. Menit berlalu. Ia mulai merasa gerah. Gaun yang ia kenakan terasa lebih berat dari sebelumnya, dan udara di dalam ruangan seolah menekan dadanya. Tanpa berpikir panjang, Elenora turun dari kursi dan berjalan ke arah pintu geser yang mengarah ke area terbuka. Area itu ternyata balkon besar dengan beberapa kursi dan meja kecil tersebar di sepanjang tepinya. Sepi. Rupanya orang-orang masih bersemangat menikmati suasana pesta di dalam ruangan ketimbang datang ke area ini. Angin malam yang lembut membelai wajah Elenora, memberikan sedikit kelegaan. Ia berjalan menuju kursi kosong di sudut balkon dan duduk dengan pandangan mengarah ke langit Jakarta yang dipenuhi lampu-lampu gemerlap gedung-gedung tinggi. Namun, tubuhnya semakin terasa aneh. Kepalanya mulai berdenyut pelan, dan pandangannya sedikit kabur. Tangan Elenora memegang pinggir meja untuk menstabilkan dirinya, tetapi dia justru merasa detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD