Berbicara tentang orang di masa lalu, belum lengkap jika aku belum berbicara tentang Nugraha. Ya, pelaku dari pembunuhan berencana yang ia lakukan kepada keluarga Bianka, yang menjadikan Bianka masuk ke dalam organisasi The Barista tersebut adalah mantan agen generasi pertama. Aku adalah orang yang sejak remaja menjadi partner in crime Nugraha sejak sebelum masuk ke The Barista. Ketika aku dan dia akhirnya masuk ke The Barista, kami berdua pun sering dipasangkan ke dalam satu misi karena aku dan Nugraha sangat kompak dalam bekerjasama. Banyak misi yang berhasil selesai dengan cantik dan bersih.
Andai saja ada orang yang tahu, ketika aku melihat Bianka, aku merasa seperti sedang memandang diriku sendiri beberapa tahun lalu ketika masih bersama Nugraha. Aku dan Nugraha adalah sepasang kekasih. Ada alasan tersendiri yang membuat The Barista memperbolehkan pasangan kekasih bekerja pada satu atap. Ketika aku masih bersama Nugraha, sikapku masih belum berlagak murah seperti sekarang. Aku masih anggun, berkelas dan tampak mahal. Aku juga kala itu belum terlalu mengenal dunia mafia secara luas seperti hari ini. Andai, andai saja saat itu tidak terjadi, maka aku dan Nugraha akan tetap dapat bekerja bersama seperti biasa. Namun sayangnya segalanya berubah ketika hari itu datang.
Hari itu adalah pagi yang cerah di suatu hari sabtu beberapa tahun sebelum Bianka secara resmi menjadi bagian dari The Barista, di mana aku dan Nugraha tengah menikmati hari libur di sela-sela misi yang padat. Budaya di The Barista adalah ketika agen selesai menjalankan satu misi, maka agen akan diberikan hari libur untuk menyegarkan kepala dan mempersiapkan diri untuk misi selanjutnya. Kala itu aku tengah menikmati libur di wilayah utara yang merupakan daerah pegunungan yang sejuk dan asri, banyak pemandangan hijau yang menyegarkan mata. Masyarakat asli daerah ini juga memiliki postur tinggi dan berkulit putih sehingga mataku cukup dimanjakan dengan melihat aktivitas warga sehari-hari di tempat ini. Pagi itu aku berencana menikmati Kota Utara berjalan kaki sambil menghirup udara segar dan oksigen yang bersih bersama kekasihku Nugraha. Aku dan Nugraha keluar dari hotel bergandengan tangan sambil berjalan mesra seperti pengantin baru seakan dunia milik berdua. Namun tragedi sesungguhnya dimulai saat itu.
Setelah puas berjalan menyusuri Kota Utara, aku dan Nugraha melepas penat dengan berteduh di bawah halte bus. Matahari yang mulai tinggi membuat hawa pegunungan siang ini terasa sedikit menyengat dan keringat mulai keluar dari tubuhku. Ketika aku dan Nugraha berteduh di halte, aku mendengar suara kaca yang berbenturan dengan sesuatu yang keras dari arah rumah yang berada tepat di belakang halte. Awalnya, aku dan Nugraha tidak memedulikan hal itu, tetapi semakin lama aku perhatikan, suara itu belum juga berhenti.
“Kau mendengar itu bukan? Suara di belakang kita?” Aku mengerutkan alis kepada Nugraha sambil melirik ke arah belakang.
“Aku tahu, mungkin itu hanya burung atau hewan yang membenturkan dirinya dengan kaca,” jawab Nugraha santai lalu ia meminum soda yang ia beli di minimarket sebelum berteduh.
“Tidak, Sayang. Coba kau perhatikan, Suara itu memiliki pola yang aneh!” Aku bersikeras kepada Nugraha jika ada yang salah dengan suara di belakang kami berdua. Akhirnya aku dan Nugraha diam, mencoba mendengarkan dengan seksama apa yang coba disampaikan oleh suara itu.
Mataku terbelalak ketika mengetahui jika suara di belakang terdengar seperti sebuah sandi morse. Aku segera mengeluarkan ponsel dan mencoba menulis apa yang kudengar. Dengan seksama aku mencoba menelisik irama dari ketukan kaca sehingga dapat menerjemahkan pesan yang ia coba sampaikan, dan akhirnya aku menyadari sesuatu. Jika aku mendengar ada beberapa suara yang terdengar hampir bersamaan, maka aku dapat menyimpulkan jika suara itu adalah nol atau suara pendek. Jika ada satu suara namun memiliki jeda waktu yang cukup lama, maka suara itu adalah suara satu atau suara panjang. Dari situ, aku mulai menulis apa yang aku dengar.
Jika aku menulis dalam kode morse yang aku konversikan ke dalam angka biner, maka suara yang aku dengar dapat kususun dengan kode seperti ini, 1 0100 01 10 0000 yang artinya TLANH, sebuah huruf acak yang tidak memiliki makna sama sekali. Aku menunjukkan apa yang aku tulis kepada Nugraha sambil mendengus kesal karena ternyata aku sudah salah sangka dengan suara itu. Mungkin suara yang aku dengar di belakangku hanyalah seekor burung yang mematuk kaca jendela atau kucing yang tengah bermain dengan kaca. Bukannya lega, Nugraha justru terdiam dan mengarahkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya memintaku untuk tetap diam. Nugraha tiba-tiba merebut ponsel dari tanganku dan menuliskan sesuatu di sana. Setelah beberapa detik ia terus fokus pada layar ponselku, ia menunjukkan apa yang ia tulis kepadaku dengan tatapan yang sangat serius. 0000 0 0100 0110 yang berarti HELP. Mataku terbelalak membaca tulisan Nugraha, aku dan Nugraha saling tatap, tidak percaya jika apa yang kami dengar benar-benar sebuah pesan SOS. Aku dan Nugraha segera keluar dari halte, lalu memandang ke arah suara itu berasal di mana di belakang halte terdapat sebuah rumah minimalis dua lantai dengan jendela kaca yang menghadap ke arah jalan.
“Ternyata dari sana.” Nugraha memandang lurus ke arah jendela yang berada di lantai dua di mana kaca itu terlihat dilapisi oleh lapisan buram sehingga bagian dalam ruangan itu tidak terlihat dari luar.
“Bagaimana? Apakah kita harus abai dengan suara itu?” Aku memandang ke arah Nugraha yang terlihat fokus melihat ke arah jendela.
“Aku tidak tahu apakah orang di dalam sana sedang terancam atau tidak. Kita hanya perlu memastikan orang yang mengirim SOS kepada kita dalam keadaan baik dan kita tidak boleh abai terhadap sinyal itu.” Nugraha mengambil beberapa batu yang ia temukan di sekitar kakinya, lalu melemparkan ke arah jendela di lantai dua membalas sinyal SOS yang dikirim dari sana. Awal mula, Nugraha melempar tiga buah batu dengan jarak waktu yang tidak terlalu lama, kemudian Nugraha melemparkan kembali batu dengan irama satu batu ia lempar, kemudian dua batu yang ia lempar secara bersamaan. Aku membaca batu yang Nugraha lempar seperti ini, 111 100 atau OD. “O-D? Kenapa kau menjawab dengan OD?” Nugraha menyentil dahiku yang terlihat bingung di depannya.
“Bukan O-D, Sayang, melainkan OK! Irama ketukan batu yang kulempar adalah 111 101!” Nugraha mendengus kesal sembari memutar bola matanya karena melihatku yang tidak paham dengan SOS yang ia kirim. Ah, aku memang bukan orang yang ahli menerjemahkan sandi morse.
“Ayo kembali ke hotel!” Nugraha menarik tanganku dengan sedikit kasar, membuatku terpincang mengikuti langkahnya yang lebih panjang dariku.
Sesampainya di hotel, Nugraha menghubungi seorang agen yang ada di divisi pengumpulan data. Ia meminta data diri orang yang tinggal di rumah bernomor 13 yang berada di belakang halte itu. Setelah beberapa saat Nugraha menelepon, agen pengumpulan data memberikan informasi jika orang yang tinggal di tempat itu adalah seorang lelaki berusia sekitar 30 tahun bernama Julian. Julian memiliki istri yang berusia 5 tahun lebih muda darinya dan belum memiliki anak. Nugraha juga diberikan nomor telepon yang terpasang di rumah tersebut. Tim pengumpulan data sempat bertanya kepada Nugraha tentang tujuannya meminta data rumah tersebut dan Nugraha mengatakan jika ada kemungkinan penculikan di sana. Agen pengumpulan data sempat menawarkan kepada Nugraha untuk meneruskan laporannya kepada koordinator The Barista agar penyelidikan yang Nugraha lakukan dicatat sebagai penyelidikan resmi, tetapi Nugraha menolak itu dengan dalih jika kasus yang mungkin tengah terjadi bukanlah kasus besar.
“Sayang, aku bisa meminta tolong kepadamu untuk menghubungi rumah itu? Aku telah mengirim nomor telepon rumah itu kepadamu,” ucap Nugraha sambil mengotak-atik ponselnya setelah sambungan telepon dengan agen pengumpulan data terputus.
“Apa yang harus aku katakan kepadanya, Nugraha?”
“Katakan saja kau ingin menawarkan asuransi kepada orang tersebut. Aku ingin tahu apakah penghuni itu ramah kepada penelepon atau tidak.” Nugraha terlihat semakin gelisah. Salah satu kebiasaan buruk yang dilakukan Nugraha adalah ketika ia panik maka ia cenderung untuk mengambil keputusan tanpa berpikir panjang, dan aku adalah orang yang selalu berusaha menenangkan pikirannya. Namun kali ini sepertinya aku tidak dapat berbuat apapun selain menuruti apa yang ia katakan.
Aku segera menghubungi nomor yang Nugraha kirim kepadaku. “Tidak ada yang mengangkat telepon,” sahutku setelah menunggu selama hampir tiga puluh detik dan tidak ada orang yang menjawab panggilanku.
“Coba lagi!” Nada tinggi yang Nugraha ucapkan membuatku sedikit tersentak. Seorang Nugraha yang biasanya selalu berkata lemah lembut kepadaku seketika berubah menjadi sedikit kejam saat ia panik. Aku pun hanya dapat mencoba menghubungi kembali dan berharap ada yang menjawab panggilanku.
“Hallo.” Seorang lelaki yang memiliki suara berat akhirnya menjawab panggilanku setelah tiga kali aku mencoba.
“Selamat siang, dengan Bapak Julian? Perkenalkan, Pak, saya Lilia dari agen asuransi ingin menawarkan asuransi jiwa dengan premi rendah.”
“Maaf, tidak berminat,” jawab pria itu singkat. Tetapi sayup sayup aku dapat mendengar suara seseorang mengetuk pintu. Suara itu tidak terlalu kencang, namun tetap terdengar jelas. Aku melirik ke arah Nugraha yang menatapku tajam dengan raut wajah yang sangat khawatir. Pria di seberang telepon langsung menutup panggilan ketika mendengar jika aku adalah agen asuransi.
“Bagaimana?” Nugraha mencengkram kedua bahuku dengan cukup keras sehingga membuatku merasa sedikit ngilu.
“Sepertinya memang ada sesuatu di sana, pria itu segera memutuskan sambungan telepon dan seperti sedang terburu-buru. Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Aku menghela nafas lesu ketika tahu jika apa yang telah aku lakukan tidak memberikan informasi yang penting.”
“Kita harus istirahat malam ini karena kita harus melakukan sesuatu besok. Ada kemungkinan korban di dalam sana sedang dalam bahaya jika tidak segera kita selamatkan.” Nugraha menarik tanganku untuk segera tidur bersamanya. Aku mematikan lampu kamar hotel sehingga segalanya menjadi gelap. Lalu aku menanggalkan semua pakaianku, karena ketika hidup bersama Nugraha, aku terbiasa tidur tanpa ada satu helai benang yang menempel di badanku. Tapi jangan berharap ada adegan yang menyenangkan, karena ketika dalam keadaan genting seperti ini, tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan.