Catatan 62

1025 Words
Tiga orang lelaki dan satu orang wanita yang mana adalah Foxy menyambutku di depan pintu ketika sampai di rumah sederhana milik wanita berambut merah muda itu. Senyum sumringah terpancar jelas dari empat orang tersebut. Tiga lelaki yang ada di depanku tampak ramah, sama sekali tidak terlihat seperti preman. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan Hook di mana sangat terlihat jika mereka adalah kumpulan preman. “Baik, organisasi yang ada di depanku ini tampak terbungkus dengan rapi dan berkelas,” pikirku ketika menatap mereka berempat satu persatu. Aku mengantar dua remaja berusia 13 hingga 15 tahun yang merupakan koleksi Hook kepada Foxy, tiga orang lelaki di sampingnya segera menyambut anak-anak itu dengan lembut dan ramah. Perlakuan yang mereka tunjukkan di sini sangat berbeda dari Hook yang tampak kasar. Bagaimanapun, Hook adalah sarang penyamun. Tapi, menurut cerita dari Zayn, Foxy adalah orang yang licik dan pandai bermain peran. Aku curiga, semua yang aku lihat di sini saat ini adalah bagian dari permainan yang dibuat olehnya. Aku tidak boleh tampak curiga kepada Foxy, aku harus bersikap wajar dan mengikuti arus agar mendapatkan banyak informasi secara alami, tidak terlihat dibuat-buat. Aku membalas tersenyum kepada tiga pria yang mengambil anak-anak itu. Salah satu dari mereka bahkan menyapa anak-anak itu dengan sangat ramah, mirip seperti pengasuh pada umumnya. “Kau pasti bingung dengan apa yang kau lihat di sini bukan?” Foxy membuyarkan lamunanku. “E-eh? Bagaimana?” jawabku terbata. “Benar bukan? Kau terlihat tidak fokus. Mungkin kau lelah, Madame. Tidurlah di sini malam ini, kita akan lanjutkan pekerjaan esok hari,” sahut Foxy sambil mempersilakan aku masuk ke rumah sederhana miliknya. Aku terus mengalihkan pandanganku dari Foxy menuju tiga orang yang membawa anak-anak, lalu kembali kepada Foxy kemudian melirik tiga orang itu lagi. Mereka membawa anak-anak ke tempat yang tidak kuketahui. Apa yang mereka perbuat pada anak-anak pun aku tidak tahu, dua anak itu juga tampak pasrah tidak memiliki semangat hidup sama sekali. Ada rasa kasihan, khawatir, dan sedih yang aku rasakan ketika melihat anak-anak seperti mereka dieksploitasi seperti ini. Namun saat ini, aku tidak dapat melakukan apapun selain mengikuti permainan. Entah aku dapat disebut manusia atau tidak dengan sikap seperti ini. “Hei, kenapa kau diam? Ayo masuk!” Foxy menepuk pundakku perlahan, membuatku kembali terkejut karena lamunanku buyar. Dengan ragu aku langkahkan kaki masuk ke rumah sederhana ini. Rumah ini sama sekali tidak tampak memiliki sesuatu yang rahasia seperti penjara pribadi milik Hook, benar-benar hanya terlihat seperti rumah pada umumnya. Di belakang ruang tamu terdapat dapur dan tiga kamar yang berjejer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah ini dan sama sekali tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Aku masih belum percaya kepada Foxy, firasatku mengatakan jika perempuan ini menyembunyikan sesuatu yang buruk, entah apa itu. “Gunakanlah kamar ini malam ini. Maaf jika kamar yang kau gunakan terlalu kecil.” Foxy mengarahkanku ke salah satu kamar dan membuka pintu kamar tersebut. Masih dengan ragu, aku langkahkan kaki masuk ke dalam kamar tersebut. Aku mencoba untuk bersikap wajar agar tidak terlihat jika aku tengah menelisik wanita ini. “Istirahatlah, Madame. Aku tahu kau lelah bekerja seharian ini,” sahut Foxy sebelum ia meninggalkanku sendirian di dalam kamar dengan pintu yang terbuka. Aku mendengar suara langkah kaki Foxy yang menjauh, lalu terdengar suara gagang pintu yang ditutup. Tidak salah lagi, Foxy sedang berada di luar rumah ini. Aku berjalan mengendap keluar dari kamar, mengamati sekeliling rumah ini dengan seksama. Pertama aku harus mencari kamera tersembunyi yang mungkin terpasang di sekeliling rumah ini. Untuk itu, aku harus tetap bersikap wajar seperti seorang tamu yang tertarik dengan hunian milik tuan rumah. Aku memperhatikan satu persatu foto yang tergantung di dinding, pot bunga yang ada di pojok ruangan, dan beberapa sudut tersembunyi namun tidak menemukan kamera tersembunyi sama sekali. Tidak ada lubang-lubang kecil atau kaca dua arah yang aku temukan di rumah ini. Aku semakin bingung, rumah ini benar-benar tampak normal. Aku berjalan pelan ke arah ruang tamu, lalu mengintip ke luar memeriksa keberadaan dari Foxy. “Tidak ada, wanita itu tidak ada di luar,” gerutuku. Aku semakin penasaran, ke mana Foxy pergi selarut ini? Aku melihat ke celah pintu keluar untuk memeriksa jika pintu ini dikunci dari luar atau tidak dan menemukan jika pintu ini ada dalam keadaan tidak terkunci. Aku memicingkan mata, rumah ini benar-benar tampak normal. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan selain mencoba mengikuti permainan dari Foxy. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan memejamkan mata. “Madame… Madame… bangunlah!” Suara seorang wanita yang menggoyang-goyangkan badanku berhasil mengeluarkanku dari alam mimpi. Aku mengucek mata perlahan, kemudian bangkit dari tidurku. “Mari kita sarapan dahulu.” Foxy menarik tanganku perlahan. Aku mengikuti langkah Foxy yang membawaku menuju ke dapur. Di atas meja dapur sudah tersaji beberapa potong roti lapis dan dua gelas jus jeruk. Aku masih tetap belum dapat memercayai Foxy. Aku hanya melirik makanan yang sudah tersaji tanpa menyentuhnya sama sekali. Aku ragu, apakah makanan ini dapat dikonsumsi atau tidak. Foxy menangkap tatapan ragu dariku, ia hanya tersenyum lalu mengambil salah satu roti isi di meja dan tanpa ragu memakannya. Foxy terkekeh melihatku terpaku di depannya. Wanita ini sangat mengerti jika aku belum percaya padanya. “Aku tahu, kau hidup di lingkungan Hook yang penuh dengan preman jalanan seperti itu, pasti membuatmu selalu merasa curiga dan waspada terhadap orang lain. Tapi percayalah, lingkungan di sini tidak seperti itu.” Foxy mengambil satu potong roti isi dan memberikannya padaku. Kali ini aku mencoba percaya padanya. Aku terima roti isi itu dan memakannya perlahan. Aku siap untuk mati hari ini jika memang roti isi yang aku makan ternyata beracun. Aku mengunyah perlahan roti isi itu, mencoba merasakan jika ada sesuatu yang mencurigakan di dalamnya. Lagi-lagi semua terasa normal. Aku kembali menggigit roti isi itu dan tidak merasa ada sesuatu yang aneh di dalamnya. Aku melihat ke arah Foxy yang menatapku dengan puas. Tatapan perempuan ini seakan mengisyaratkan kalimat, “sekarang kau percaya padaku bukan? Aku tidak mencurigakan sama sekali.” Aku memutar bola mata kesal, aku merasa malu karena sudah mencurigai Foxy. Ternyata perempuan ini hanya ingin berbagi sarapan denganku. Namun hingga saat ini, aku masih belum dapat percaya padanya, meski Foxy sudah menunjukkan jika ia tidak berbahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD