Gelap, seluruh mataku terasa gelap. Padahal aku sudah membuka mata, namun yang aku lihat hanya gelap. Terasa ada tabir yang menutupi pandanganku. Tiba-tiba seseorang memegang kepalaku, lalu tabir berupa kain hitam yang menutupi mataku ditarik. Cahaya putih yang masuk serentak ke seluruh mata membuat pandanganku terasa silau. Aku memicingkan mata untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mataku. Pandanganku masih terasa buram, lalu perlahan aku mulai dapat beradaptasi dengan cahaya dan samar-samar aku dapat melihat di mana aku berada.
Sebuah ruangan yang terlihat sangat berbeda jika dibandingkan dengan tempat terakhir aku sadar. Gubuk rusak tempatku mengantar barang pesanan pria jahat telah berubah menjadi rumah yang layak huni. Aku masih mencoba untuk mencerna apa yang sedang terjadi saat ini, “di mana aku berada sekarang?” pikirku.
Ketika kesadaranku telah kembali sepenuhnya, aku mulai dapat melihat dan menelisik ruangan tempatku berada saat ini. Aku bangkit dari posisi terbaringku, kemudian melihat ke alas empuk yang ada di bawah tubuhku dan menemukan jika aku tengah berada di atas sofa yang terlihat cukup mewah. Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku menemukan beberapa lukisan dan foto keluarga menggantung indah di dinding ruangan ini. “Wah, besar,” gumamku melihat ruangan yang sangat mewah bagiku saat itu yang jika sekarang aku melihat ruangan seperti itu lagi, segalanya akan terasa biasa saja. Hidup di lingkaran kemiskinan membuat sebuah pemandangan layak yang biasa saja menjadi terlihat sangat mewah di mataku.
Dari besarnya ruangan dan barang-barang yang ada di dalamnya, pikiran kecilku saat itu dapat menyimpulkan jika aku tengah berada di kawasan atas, kawasan yang saat itu menjadi mimpiku untuk hidup di dalamnya. Lalu mataku bergeser ke arah bawah di mana lantai ruangan itu terbuat dari keramik berwarna putih yang sangat bersih. Sedikit bergeser ke kiri, aku melihat kaki orang dewasa. Aku terkejut karena ternyata ada orang lain di ruangan ini. Aku menyusuri kaki itu ke atas dan menemukan jika orang gemuk yang menghalangi pintu sebelum aku kehilangan kesadaran menatapku dengan senyum yang sangat mengerikan. Di tangan kanannya terdapat kain hitam yang ia genggam erat.
“Kau sudah bangun, Anjing Kecil?” sapa pria itu. Badanku seketika gemetar melihat mendengar ucapan pria itu. Aku teringat kejadian di mana pria itu melemparku kepada teman-temannya dan berakhir aku kehilangan kesadaran akibat pengaruh satu butir obat yang aku tidak tahu apa isi obat itu.
Bibirku bergetar, kelopak mataku basah, pandanganku terasa seperti tertutup oleh air, nafasku tersedu dan kemudian, “huwaaaa!!!” aku menangis dan berteriak dengan keras. Aku takut, aku sangat takut. Aku sekarang berada di suatu tempat yang tidak kukenal, dan aku tidak mendapatkan bantuan dari siapapun.
“Diamlah!” Pria yang berdiri di sebelahku berteriak keras kepadaku.
“Hmbfh!” Pria itu menutup mulutku agar tidak berteriak.
“Bisakah kau diam? Suaramu dapat membuat gendang telingaku pecah!” protes pria itu.
“Ada apa ini? Kenapa aku mendengar suara perempuan menangis?” Suara laki-laki remaja terdengar dari arah pintu ruangan ini. Ketika aku melihat ke arah suara itu berasal, aku menemukan seorang pria yang cukup tinggi dan tampan memasuki ruangan di mana aku berada. Pria itu berjalan mendekat ke arahku, lalu berjongkok di depanku. Aku yang duduk di atas kursi membuat wajahku dan pria di depanku menjadi sejajar.
“Wah, anjing kecil kita telah bangun rupanya,” ucap lelaki itu diiringi senyum hangat yang terukir di wajahnya. “Namamu siapa, Anjing Kecil? Seekor anjing pasti memiliki nama bukan?”
Ucapan pria itu membuatku geram. Aku yang seorang manusia dianggap sebagai seekor anjing oleh dua orang yang ada di depanku. Aku ingin marah, tapi kejadian kemarin di mana aku dipukuli oleh pria dewasa membuat keberanianku menciut. Aku hanya bisa menahan amarah di dalam pikiranku dan tidak berani mengeluarkannya. Aku mengepalkan tanganku sambil menatap pria di depanku dengan tajam. “Apakah kau tidak dapat berbicara, Anjing Kecil?” Pria di depanku mengelus rambutku dengan lembut. perlakuan lembutnya terasa berbanding terbalik dengan cara ia memanggilku.
“Hei, cepatlah berbicara!” protes pria gemuk di sampingku. Suara gemerincing besi yang beradu terdengar jelas di telingaku ketika leherku tertarik ke arah pria gemuk tersebut. Aku melihat ke arah pria gemuk itu, di sana ia terlihat memegang seutas rantai. Mataku bergerak menyusuri ujung rantai itu dan menemukan bahwa leherku tengah diikat dengan kalung yang tersambung pada rantai yang ia pegang.
“Kenapa aku diikat? Aku bukan anjing! Aku manusia!” protesku di dalam hati. Aku tidak memiliki keberanian untuk mengeluarkan kalimat itu karena takut jika aku akan dipukul seperti sebelumnya.
Mataku melotot tidak percaya dengan apa yang terjadi, kemudian pandanganku bergeser kembali ke arah pria di depanku yang masih tetap tersenyum dengan manis tepat di depan wajahku. Jujur saja, saat itu aku sempat sedikit tersipu dengan ketampanan pria di depanku. Aku masih kecil, masih remaja dan menginjak usia puber, saat itu aku mulai dapat merasakan gejolak cinta di dalam perasaanku. Kehadiran pria di depanku seakan membuat pubertasku menjadi semakin cepat.
“Aku… namaku Lilia,” ucapku terbata. Lilia, bukan namaku yang sebenarnya, adalah nama yang keluar dari mulutku kala itu. Sejak kecil aku memang sudah terobsesi dengan nama itu karena suatu hal, dan aku menggunakan nama itu untuk memperkenalkan diri kepada pria asing yang tampan di depanku.
“Wah, ternyata kau dapat berbicara, Anjing Kecil. Aku Jacob,” sahut pria tampan itu sambil mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Aku hanya diam dan tidak menyambut tangan pria itu. “Mulai sekarang aku adalah tuanmu, Lilia.” Pria bernama Jacob itu melanjutkan kalimatnya.
Itulah awal perkenalanku dengan Jacob, pria yang saat itu sempat berhasil mengambil hati Madame Lilia kecil. Dan sejak saat itu, aku menjalani kehidupan sebagai anjing peliharaan milik Jacob. Perkenalanku dengan Jacob memang bukan dengan cara baik-baik. Aku adalah korban perdagangan manusia di mana keluarga Jacob adalah pembelinya. Tapi apa yang terjadi setelah itu justru di luar perkiraanku. Aku sempat berpikir akan diperlakukan secara tidak manusiawi karena kedudukanku sebagai peliharaan, tapi apa yang dilakukan Jacob tidak seperti itu.
Jacob bercerita kepadaku jika sejak kecil ia tidak memiliki teman. Lahir dan besar dari keluarga mafia membuat hidupnya selalu dikelilingi oleh pengawal karena Jacob berpotensi menjadi sasaran empuk dari lawan ayahnya. Hati kecilku merasa seperti teriris ketika mendengar jika Jacob sejak kecil menginginkan seorang teman. Aku tidak menyangka, hidup dalam gelimang harta tidak membuat seorang Jacob kecil merasa bahagia, bahkan cenderung kesepian. Ah bukan, bukan Jacob kecil, melainkan Jacob remaja karena saat itu ia telah berusia 18 tahun. Akhirnya aku dan Jacob sepakat untuk menjadi seorang teman.
Ketika di luar atau ketika ada orang lain, Jacob selalu memperlakukanku seperti hewan peliharaannya dan aku pun menuruti apa yang Jacob perintahkan kepadaku seperti menggeram ketika ada anak buah ayahnya yang iseng kepada Jacob, atau menjadi samsak ketika ada anak buah keluarganya yang sedang marah. Pukulan demi pukulan aku terima hampir setiap hari dan aku tidak mengeluh meski seluruh tubuhku terasa hancur. Namun setiap kali semua orang telah pergi, Jacob selalu merawat dan mengobati seluruh luka pada tubuhku. Lama kelamaan karena terlalu sering mendapatkan pukulan, tubuhku menjadi kebas terhadap siksaan dan rasa nyeri. Badanku menjadi semakin keras meski massa ototku tidak bertambah secara signifikan. Ketika di luar, orang-orang di kediaman Jacob memberiku makan seperti seekor anjing, di mana makananku diletakkan di atas piring besi dan aku harus makan di atas lantai tanpa meja. Namun ketika semua orang telah pergi, Jacob selalu memberiku makanan yang layak dan memperlakukanku selayaknya seorang teman.
Di belakang semua orang, aku dan Jacob saling bercanda satu sama lain. Jacob mengajariku banyak hal, mulai dari membaca, menulis dan menghitung. Selain itu Jacob juga mengajariku hal-hal yang diajarkan padanya sebagai calon mafia di masa depan seperti cara melobi dan negosiasi, serta cara agar menjadi pemimpin yang disegani dan ditakuti oleh bawahan.
Namun sayang, kebahagiaan yang aku rasakan hanya bersifat semu. Sebagai mafia yang memiliki kedudukan cukup tinggi di tingkat internasional, keluarga Jacob sering menjadi incaran para musuh. Dua bulan setelah aku menjadi hewan peliharaan Jacob, segerombolan musuh menyerang kediaman Jacob dengan membabi buta. Awalnya saat itu keadaan sedang damai, aku dan Jacob tengah berlatih beladiri di dalam kamarnya. Selain pelajaran halus seperti negosiasi, Jacob juga mengajariku beladiri karena ia membutuhkan lawan sparing untuk mempertajam insting bertarungnya. Meski usiaku terpaut jauh dengan Jacob, tapi aku berhasil menjadi lawan sparing yang layak untuknya. Itu semua akibat mendapat siksaan setiap hari dari orang-orang terdekatnya. Saat aku dan Jacob yang tengah berlatih di kamar, tiba-tiba mendengar suara tembakan senjata laras panjang dari luar ruangan. Suara tembakan itu terdengar berkali-kali hingga Jacob pun menyadari jika keadaan di luar sedang tidak baik-baik saja. Sebagai peliharaan Jacob, aku segera mengambil posisi di depan Jacob, merentangkan tangan dan menunjukkan gigiku ke arah pintu yang masih tertutup. “Aku harus melindungi Jacob, ia adalah orang yang memberiku kehidupan dan memperlakukanku selayaknya manusia!” pikirku.
Suara tembakan itu semakin terdengar nyaring diiringi suara teriakan dari banyak orang di sana. Tapi aku tidak takut, ketakutanku lenyap seiring keinginanku yang kuat untuk melindungi Jacob. Aku bahkan berpikir untuk mengorbankan nyawaku jika diperlukan asal Jacob dapat selamat. “Lari! Aku harus berlari ke depan dan menghajar semua preman yang menyerang rumah ini!” pikirku yang masih naif.
Tapi tiba-tiba Jacob menarik tanganku dan membuatku tertatih. “Ayo kita pergi, Lilia!!” ucap Jacob sambil terus menarik tanganku. Jacob membawaku menuju bawah ranjangnya. Di kolong tempat tidur Jacob terdapat sebuah pintu yang mengarah ke bawah. Aku dan Jacob segera memasuki pintu itu, menuruni tangga yang gelap dan sampai di sebuah lorong panjang. Kemudian Jacob mengeluarkan sebuah lampu senter dari saku celananya dan menerangi jalan yang sedang dilalui.
“Kamarku dilengkapi dengan jalur evakuasi. Menjadi keluarga mafia membuatku selalu merasa tidak aman, keselamatanku selalu dipertaruhkan. Banyak musuh yang mengincar keluargaku. Aku tidak tahu apakah semua orang di sana dapat menyelamatkan diri atau tidak. Tapi ayahku pernah berkata kepadaku, jika dalam keadaan bahaya aku harus melarikan diri karena aku adalah generasi penerus dari ayahku. Aku tidak boleh mati, karena jika aku mati maka seluruh kejayaan yang dibangun oleh ayahku akan hilang dengan percuma. Aku bertekad untuk meneruskan apa yang dimulai oleh ayahku, meskipun mereka jahat, tapi aku yakin jika suatu saat nanti aku dapat mengubahnya.” Cerita Jacob tentang keluarganya mengiringi perjalananku menyusuri lorong panjang yang seakan tidak memiliki ujung ini.
Udara yang lembab dan pengap menjadi teman setiaku kala menyusuri lorong panjang ini. Namun karena aku selalu hidup di bawah tanah dan dalam kondisi yang tidak layak huni, berada dalam kondisi seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hariku.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya aku dan Jacob sampai di ujung lorong. Jacob segera membuka pintu yang ada di depannya dengan kunci khusus, dan ternyata lorong yang aku susuri berakhir di saluran air bawah tanah Pusat Kota.
Ada sebuah kejadian mengharukan saat di dalam saluran air itu. Tiba-tiba Jacob berlutut di depanku. Jacob yang jauh lebih tinggi dariku membuatnya sejajar denganku ketika berlutut. jacob melepas kalung hewan peliharaan yang terikat di leherku lalu ia berkata kepadaku, “kau sudah menjadi perempuan yang kuat dan bisa melindungi orang lain. Setelah ini, aku tidak ingin kau berada dalam masalah dan menjadi korban penculikan lagi. Kau harus hidup dengan layak, kau harus dapat menguasai wilayahmu dan menjadikan orang-orang di sana sebagai bawahanmu. Lilia, kau adalah calon mafia masa depan yang berbahaya sama sepertiku, insting bertahan hidupmu sangat besar. Aku yakin, ketika kita bertemu lagi suatu saat nanti, kau telah tumbuh menjadi orang yang lebih berbahaya dari sekarang.”
Aku tidak dapat bereaksi apapun terhadap apa yang Jacob katakan kepadaku. Aku tahu jika kalimat yang ia katakan adalah kalimat perpisahan, aku yakin setelah ini Jacob akan mengambil arah yang berbeda denganku.
Setelah melepas kalung hewan peliharaan dari leherku, Jacob berdiri dan berbalik. Ia sama sekali tidak menoleh kepadaku. Ia terus berdiri mematung sementara aku melihat punggung bidangnya tanpa berkata apapun. Dari belakang aku dapat melihat jika Jacob menarik nafas panjang, lalu kepalanya mendongak ke atas dan berkata, “mulai hari ini jalan kita akan berbeda. Tapi jika takdir kembali mempertemukan kita, pasti saat itu kita sedang sama-sama berada di puncak. Sampai jumpa, Lilia. Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi.” Dan Jacob pun menghilang dalam kegelapan saluran air.
Aku termenung cukup lama setelah Jacob meninggalkanku sendirian di tempat ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Aku terdiam, kepalaku kosong, aku tidak tahu harus berbuat apa. Sudah dua bulan sejak aku menghilang dari rumah. “Apakah aku akan dihukum saat kembali? Apakah ayah dan Ibu akan menerimaku lagi? Jika aku dibuang oleh orang tuaku, ke mana aku harus pergi?” pikiran liar itu menghantuiku dalam diam. “Tapi aku harus kembali ke permukaan, Jacob berkata jika aku dapat menguasai wilayahku. Jika aku dibuang, aku akan merebut kembali tempat tinggalku karena aku layak berada di sana.” Keberanianku terkumpul, aku melangkah perlahan mencari jalan keluar dari saluran air ini.
Aku keluar di salah satu wilayah atas Pusat Kota yang penuh dengan kendaraan roda empat dan manusia berpakaian rapi yang berlalu lalang. Pengalaman hidup di jalanan membuatku tidak mudah tersesat dan dapat menemukan jalan pulang. Setelah cukup lama berjalan, aku akhirnya tiba di rumah orang tuaku. Aku tersenyum, akhirnya aku dapat menginjakkan kaki ke tempat ini lagi. Namun ketika aku akan masuk ke dalam rumah, seorang perempuan seusia denganku yang tengah duduk di depan rumah sambil memainkan boneka menyapaku dengan lembut, “kau sudah pulang? Sayangnya ayah dan ibu tengah berada di luar, jadi di rumah tidak ada makanan.” Gadis itu menunjukkan senyum hangat kepadaku, tapi aku balas dengan tatapan sinis yang memiliki aura membunuh.