Catatan 5

1768 Words
Celanaku kotor terkena noda darah akibat dari kejadian yang baru saja menimpaku. Aroma tubuhku juga tidak lagi wangi dan berubah menjadi amis karena terpapar bau badan pria m***m sial*n tadi, tapi aku harus tetap menemui seseorang di sekitar pelabuhan. Mobil yang kugunakan masih tetap terparkir rapi di dalam pelabuhan, semoga tidak ada orang yang berusaha merusak atau mencurinya. Sebenarnya aku memiliki sedikit rasa khawatir jika pria m***m tadi memanggil bala bantuan. Jika aku yang mereka incar, aku bisa langsung menghajar, tetapi jika mereka mengincar mobil yang kupakai, maka habislah riwayatku. Angin laut kencang yang bertiup petang ini membuatku menyesal hanya memakai tanktop dan tidak menutupi tubuhku dengan jaket. Kulipat tanganku dan sedikit kugosok-gosok pada badan berharap hal itu dapat sedikit menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Angin yang kencang juga membuat rambutku berkibar dan terpapar debu serta polusi yang membuatnya tidak berkilau lagi. Tumben sekali aku salah memakai kostum seperti ini. Tapi saat berpikir lebih lanjut, aku merasa tidak masalah dengan pakaianku karena aku akan merapat ke salah satu klub malam yang cukup terkenal di kawasan pelabuhan ikan Kota Nelayan. Berjalan ke arah utara dari pintu masuk pelabuhan, membawaku melihat pemandangan malam yang mengesankan. Lampu kelap kelip mewarnai gelapnya malam membuat mataku berbinar. “Ah, inilah lingkungan kegemaranku!” gumamku saat melihat banyak bangunan dengan papan nama mencolok berjejer di sebelah utara pelabuhan ikan. Aku berjalan perlahan menyusuri dan menikmati sajian malam dari kota pesisir di mana banyak wanita cantik berpakaian minim sedang berjejer rapi di depan pintu masuk. Panti pijat, casino, bar jalanan, rumah bordil, dan klub malam berjejer indah memberikan nuansa miniatur Las Vegas. Di antara jejeran pusat hiburan malam itu, terdapat sebuah klub malam yang menjadi primadona. Terletak di dalam gang sempit di antara rumah bordir, tidak membuat klub tersebut sepi pengunjung. Tidak hanya di dalam klub, di luar klub juga dijadikan tempat nongkrong orang-orang yang tidak memiliki uang untuk memasukinya. Saat aku melangkahkan kaki dengan santai memasuki gang tersebut, aku tidak henti mendengar siulan dari banyak pria m***m di kanan dan kiri gang ini. Aku hanya memutar mataku dan mendengus kesal. Melihatku yang berjalan sendirian, membuat salah seorang pria yang tengah berdiri di balik bayangan sebuah reklame yang terpasang di pinggir jalan melangkah mendekat dari sebelah kiri dan langsung merangkulkan tangan kanannya ke bahuku dan melangkahkan kakinya beriringan denganku. Aku tidak ingin membuat masalah di sini, dan berusaha mengabaikan perlakuan orang asing itu berharap dia segera bosan dan melepaskan tangannya dariku. Tapi perkiraanku salah, pria itu semakin berani terhadapku dan berusaha menyusupkan tangannya ke sela tanktop dan ingin meraih tubuh bagian atasku. Sontak aku gunakan tangan kiri untuk mencengkram kuat pergelangan tangan pria tersebut. Aku dan pria itu terus berjalan perlahan hingga aku menghentikan langkahku sekitar 10 meter sebelum tiba di pintu masuk klub. Aku lihat pria m***m di sampingku meringis menahan sakit, tetapi tidak berusaha melepaskan tangannya dari tubuh bagian atasku, bahkan pria itu dengan kurang ajar berani meremasnya. Pria di sampingku memberikan tatapan puas penuh nafsu kepadaku meskipun aku tahu dia sedang menahan ngilu di tangannya. Lidahnya sesekali menjulur dengan senyuman m***m yang mengerikan. Aku yang telah kehilangan kesabaran, menarik perlahan tangan kanan pria itu sambil memberikan wajah datar padanya. Pria itu terkejut, mengedipkan matanya beberapa kali sambil membuka mulut ketika melihatku dapat dengan mudah menarik tangan kanannya dari dalam tanktop. Aku menghela nafas panjang sambil tidak mengalihkan pandanganku darinya. Perlahan, kuarahkan tangan pria itu ke depan wajahku. Senyum manis dan tajam terukir ketika aku mengecup lembut tangan pria di sampingku. Ia langsung memasang wajah bingung sambil mengangkat sebelah alisnya. Belum sempat pria itu memberikan reaksi lebih, aku segera menggigit kuat tangan kanannya sambil tetap menahan tangan pria itu agar tidak terlepas dariku. “Aaargh!” Pria itu berteriak dengan kencang ketika darah mulai menetes dari bibirku yang tengah menggigit kuat tangan kanannya. Ia berusaha melepaskan diri dariku, tetapi usahanya percuma karena tangan kiriku menahan dengan kuat pergelangan tangannya. Aku sedikit menggerakkan rahang ke kanan dan kiri, membuat pria di sampingku menggelinjang kesakitan. Kubuka mulutku, melepaskan cengkramanku dari tangannya, membuat pria itu menunduk sambil memegang tangan dan mengaduh serta mengumpat. Sebagian darah yang keluar ketika aku menggigitnya mengalir masuk ke mulutku. Ketika gigitanku terlepas, beberapa tetes darah mengalir keluar dari sudut bibirku. Dengan senyum lebar, kubersihkan darah yang mengotori dagu kiri dengan jempol kanan, lalu aku menjilatinya sambil melihat pria yang tertunduk di sampingku menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengedipkan sebelah mata, lalu kembali melangkahkan kaki menuju pintu masuk klub malam di depanku. Orang-orang yang berdiri di samping kanan dan kiri hanya mematung melihat adegan sadis yang tersaji tepat di depan mata mereka. Pria yang berbuat kurang ajar kepadaku hanya bisa tertunduk tanpa ada seorangpun yang menolongnya. “Selamat datang, Madame. Sudah lama anda tidak datang ke sini,” sapa petugas keamanan yang mengenakan pakaian serba hitam serta kacamata hitam dengan senyum ramah kepadaku. “Ah! Kau masih ramah seperti biasa, Sayang. Apakah dia ada di dalam?” Aku melempar pandangan ke arah ruang utama klub malam yang berada di belakang petugas keamanan, lalu mengalihkan pandangan kepada petugas keamanan yang memiliki tubuh gagah di depanku sambil tersenyum nakal ke arahnya. “Saya rasa dia ada di dalam, anda pasti dapat menemukannya kecuali jika ia tengah bersama dengan tamu,” sahutnya. “Terima kasih, Tampan.” Aku mengelus perlahan pipi petugas keamanan itu yang disambut dengan senyuman ramah darinya, lalu aku melangkah pelan menuju ke dalam klub. Dentuman musik yang memekakkan telinga, sorot lampu warna warni serta kerumunan manusia di berbagai sudut menyambutku ketika memasuki ruang utama klub malam yang cukup mewah untuk kawasan yang tidak tergolong elit seperti Kota Nelayan. Nuansa gelap, remang-remang, lampu sorot yang terkadang menyorot langsung ke mata, aroma rokok serta alkohol yang pekat, serta parfum dari banyak orang yang berbaur menjadi satu pasti membuat orang yang pertama kali datang ke tempat ini langsung muntah karena perpaduan atas segala hal itu membuat kepala menjadi pusing. Coco Bar, sebuah klub malam terbesar di Kota Nelayan bernuansa pantai tropis yang berada di sekitar pelabuhan ikan merupakan tempat bagi para saudagar dan orang kaya di kota ini menghabiskan uang berlebih hasil dari pekerjaan mereka sehari-hari. Coco Bar juga merupakan one stop entertainment pool di mana selain menyajikan minuman beralkohol dan musik, para penari tiang di tempat ini juga dapat disewa secara VIP dan dapat diperlakukan sesuka hati tamu. Perempuan yang bekerja sebagai penari tiang di tempat ini juga merupakan perempuan dengan fisik kelas atas, berbeda dengan perempuan yang bekerja di rumah bordil yang ada di sekitar klub yang memiliki fisik biasa saja. Aku berjalan menyusuri lautan manusia, di antara pengunjung dan pelayan yang mengenakan pakaian renang menggoda yang terkadang ada tangan nakal yang menyentuh bagian terlarang si pelayan, serta beberapa pengunjung mabuk yang muntah di sembarang tempat dan mengeluarkan aroma busuk dari mulutnya. Di sudut lain, aku melihat penari tiang yang berlenggak lenggok di atas panggung dengan sensual bersama tiang yang seakan ikut menggodanya, dikelilingi oleh para pria yang sesekali melemparkan uang kertas ke atas panggung. Ketika aku mengamati sekitar sambil berjalan mengelilingi klub, mataku tertuju pada seorang pelayan yang sedang membersihkan bekas muntah di salah satu sofa. Dalam cahaya redup, aku dapat melihat jika pelayan perempuan itu mengenakan bikini berwarna kuning. Perempuan itu membungkuk membelakangiku, memperlihatkan bulatan indah bagian belakangnya dengan jelas tepat di depan mataku sambil mengelap meja dengan cekatan. Aku mengukir senyum tipis di sudut bibirku, menepuk pundak kanan pelayan itu yang membuatnya sedikit tersentak karena terkejut. Ketika pelayan itu akan membalikkan badannya, aku menahan kepalanya, mendekatkan bibirku ke telinga pelayan itu dan membisikkan sesuatu padanya, “aku pesan satu gelas kelinci natal.” Tanpa menoleh kepadaku, pelayan itu bangkit dan berjalan perlahan meninggalkan meja yang belum bersih. Aku mengikuti pelayan itu dari belakang, melihat jelas bongkahan padat di depanku bergoyang ke sana kemari mengimbangi langkah pelayan itu. Pelayan berbikini kuning berambut bob pendek itu berjalan menuju bar, lalu memanggil seseorang dan berbisik. Kerasnya musik yang diputar di dalam klub serta remangnya pencahayaan membuatku tidak dapat memerhatikan dengan jelas perbincangan mereka. Seorang lelaki berambut panjang yang dikuncir, mengenakan pakaian rapi berwarna putih dengan rompi berwarna hitam dan berwajah timur tengah yang sedang berbicara dengan pelayan berbikini kuning itu melirikku sejenak, kemudian mengangguk pada si pelayan, lalu si pelayan meninggalkan pria tampan yang berdiri di depan bar itu dan berjalan menuju sebuah lorong yang ada di samping kanan bar. Kakiku kembali melangkah masuk ke lorong itu mengikuti si pelayan yang kembali berjalan. pelayan itu berhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan VIP 3, membuka pintu ruangan itu dan masuk. Tanpa sepatah kata, aku ikut memasuki ruangan itu dan si pelayan mengunci ruang VIP 3 dari dalam. “Aaa… Madame! Lama sekali kau tidak datang ke sini! Aku rindu padamu!” Pelayan itu berjingkrak dan berlari kecil ke arahku dan menyambutku dengan pelukan. “Ah! Ahahaha… Kau terlihat semakin cantik, Sayang.” Aku melepaskan diri dari pelukannya serta mengelus rambut pendeknya yang lembut. Pelayan itu mengajakku duduk di sofa yang ada di depan televisi yang bertengger manis di atas dinding ruangan ini dengan tetap menggandeng tanganku. Bahkan ketika aku telah menjatuhkan tubuhku ke kursi, ia tetap menggenggam erat tanganku. “Madame Lilia! Bagaimana kabarmu? Kapan terakhir kali kau mengunjungiku, ya? Aku lupa, hehe. Apa yang membawamu ke sini, Madame? Aku tahu jika kau tidak akan datang dengan tangan kosong.” Pelayan itu sangat antusias dengan kedatanganku. Badannya tidak berhenti bergerak ke sana kemari seperti anak kecil yang merindukan pengasuhnya. Senyum lebar tidak henti-hentinya ia berikan kepadaku dengan sesekali memelukku. “Rupanya kau sangat mengenalku, Sheera. Aku datang karena ingin meminta bantuanmu seperti biasa.” Aku membalas rasa antusias yang dirasakan Sheera dengan menepuk bahunya beberapa kali untuk membuatnya lebih tenang. “Aku tahu itu, Madame. Aku merasa antusias karena tidak sabar menunggu perintah darimu.” “Aku ingin kau mencarikanku informasi tentang seseorang bernama Zayn yang memiliki gudang ikan di kota ini. Aku memiliki sedikit urusan dengan orang itu, apakah kau sanggup?” “Ah, Zayn… tapi aku tidak mengenali wajah orang yang kau cari, Madame. Bagaimana aku bisa mencarinya?” Sheera terlihat bingung dengan permintaanku. Perempuan berusia 23 tahun ini memang terlihat lugu di luar, meski sebenarnya ia adalah perempuan yang berbahaya. “Kau memiliki nomor ponsel yang bisa dihubungi, Sheera?” “Ah, ada!” Sheera mengambil satu lembar kertas dan pena yang ada di atas meja yang berada di ruangan ini, menuliskan sebuah nomor dan memberikannya kepadaku, “kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau, Madame. 24 jam sehari aku persembahkan padamu.” Aku menerima kertas yang ia berikan, dan menyimpannya di dalam pakaian dalamku. Obrolanku bersama Sheera pun berlanjut dengan curahan hati wanita muda yang ternyata baru saja putus cinta ini. Laporan hari ini, selesai sampai di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD