Vina berjalan gontai memasuki kafe milik Reyvan. Ia menjatuhkan diri ke atas sofa. Beruntung kafe sudah sepi karena Reyvan baru saja menutupnya.
"Lo kenapa? Tumben pulang malem banget? Lembur?" Reyvan meletakkan secangkir mochacino ke depan Vina.
"Reyvan." Vina merubah posisi duduknya menghadap Reyvan yang duduk di seberang. "Lo tahu harga mobil Ferrari F60 America?"
Reyvan mengernyitkan dahi, tampak berpikir. "Kenapa? Lo mau beli?"
"Mahal gak? Semahal apa?" tanya Vina tampak penasaran. Reyvan mengotak atik ponselnya sejenak. Lalu menunjukkan layar ponselnya.
"Sekitar 2,5 juta USD setara 25,6 milyar. Mahal si, soalnya mobilnya juga keren," jelas Reyvan.
Mata Vina membulat seketika, melihat harga mobil yang begitu fantastis.
"Rey, 25,6 milyar itu nolnya berapa?" Vina menjatuhkan wajahnya ke meja. Ia benar-benar frustasi.
Dari mana Vina bisa dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu semalam, ya kali Vina jaga lilin. Yang muter siapa?
"Kenapa?" tanya Reyvan penasaran. "Lo mau beli? Emang bisa bawanya?"
Reyvan tersentak karena Vina tiba-tiba menangis, membuatnya bingung dan bertanya-tanya.
"Lo kenapa si Vin? Aneh banget."
"Gue hari ini nabrakin mobil bos gue ke trotoar, terus bos gue minta ganti rugi. Huaaaa!!!" Vina memukul-mukul meja, melampiaskan kekesalannya. "Apa gue jual ginjal aja ya? Hati sekalian, empedu, usus juga ... awww!!" pekik Vina, mengusap keningnya yang ditoyor Reyvan.
"Lo kira organ dalem lo bisa dijadiin sate angkringan?" Reyvan geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan jalan pikiran Vina.
"Terus gimana dong?" Vina tampak pasrah.
"Lu kerja rodi aja sama bos lu ampe lunas." Vina mendengus, saran Reyvan sama sekali tidak membantu.
"Gue serius Rey, kalau gak ... gue bakal dipenjara," gumam Vina, bertopang dagu sambil mengaduk-ngaduk kopinya.
"Bos lo sama sekali gak ngasih keringanan?" Vina menggeleng. "Coba bicarain lagi aja, negosiasi. Gue juga gak ada duit segitu."
Vina mengangguk, memangnya Vina siapa? Berharap Reyvan akan memberinya uang sebanyak itu. Reyvan saja tak mungkin ada uang sebanyak itu. Reyvan bukan Dimas Kanjeng yang bisa melipat gandakan uang.
"Lo pindah kos'an? Nyokap lo ke sini tadi."
"Hah?" Vina mengangkat wajahnya, menatap Reyvan yang tengah bebenah. "Aa ... gue lupa kasih tahu lo. Kalau gue udah pindah ke apartemen."
"Apartemen?" beo Rey.
"Iya, fasilitas kantor."
"Gue jadi penasaran sama bos lo, royal juga ya dia."
Vina mencebikkan bibirnya. "Royal apanya, perhitungan iya. Pelit, nyebelin! Pokoknya lo gak usah tahu deh, gak usah penasaran sama si setan!" ucap Vina, menggebu-gebu.
"Setan?"
"Iya, namanya Setan Da ...." Vina mengatupkan bibirnya saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Vina menghela napas panjang, ketika melihat nomor bosnya di layar ponsel. "Gue musti pulang sekarang."
"Gue anterin, biar sekalian tahu apartemen lo."
—————
Reyvan berdecak, mendongakkan kepalanya. Menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi. Apartemen mewah yang ada di Kuningan.
"Lo yakin ini tempatnya?" tanya Rey, tampak ragu.
"Iya. Lo mau mampir?" Rey menggeleng.
"Gak usah, udah malem juga. Oh ya, jangan lupa telepon bunda." Vina mengangguk, patuh. "Vin, lo gak ada niatan buat pulang gitu?" Vina terdiam sesaat.
"Gak."
"Sampai kapan lo bakal lari terus? Kasian bunda, dia musti jauh-jauh dari Bandung ke sini. Itu pun musti ngumpet-ngumpet dari ayah lo."
"Sampai ayah berhenti gak jodohin gue." Vina menghela napas, lelah. "Gue bukan barang Rey, yang bisa dilelang."
Reyvan hanya diam, ia juga tahu rasanya jadi Vina. Menentang keputusan orangtua, seperti dirinya yang keluar dari rumah karena enggan mengikuti aturan keluarga. Reyvan tidak mau berkecimpung di dunia bisnis, ia lebih suka bekerja freelance. Reyvan tidak ingin membuang banyak waktu hanya untuk bekerja.
"Pulang gih, mau hujan. Lo bawa jas hujan kan?" Reyvan mengangguk. "Gue masuk ya, bye Rey."
Rey termenung, menatap punggung Vina yang bergerak menjauh. Bagaimana ia mau move on, kalau Vina terus saja bersikap manis padanya. Perhatian Vina semakin membuatnya terjerumus lebih dalam, bahkan Rey ragu bisa menghilangkan perasaannya pada Vina atau tidak.
Vina menghela napasnya, ucapan Reyvan mengusik pikirannya. Vina rindu bunda, hanya wanita itu yang selalu mengerti dirinya. Vina menatap bungkusan yang ia tenteng, bahkan bunda selalu perhatian sampai bawain lauk kesukaannya.
Vina tersenyum tipis, ia tak sabar ingin mencicipi masakan bunda. Vina masuk ke apartemennya, ia mengernyitkan dahi saat mendengar suara televisi menyala.
Apa ada maling?
Tapi sejak kapan maling nyempetin nonton TV dulu?
Vina yang parno, langsung mengambil payung di belakang pintu. Vina berjalan mengendap-endap, matanya melotot saat melihat kepala menyembul di sofa.
"Yaaa ...!" Vina berlari menerjang orang itu, memukulnya dengan payung secara membabi buta.
"Aww ... aduh. Sakit!"
"Dasar maling!!" Vina terus mengayunkan payungnya tanpa berhenti. Tak peduli erangan kesakitan dari orang itu.
"Davina ... ini gue bos lo!!!" Vina terjatuh dari atas sofa, karena didorong oleh orang itu. "LO GILA!!"
Vina mengerjapkan mata berulang kali, memastikan matanya tidak salah lihat.
"Se ... Setan," lirih Vina. Cengo saat tahu orang yang dipukulnya Sean.
"Setan?" beo Sean, tak percaya dengan apa yang didengar. "Makin kurang ajar ya lo ... Awww!!" Sean meringis, memegangi pelipisnya.
"Darah." Vina semakin panik, kala melihat darah mengalir dari pelipis Sean. Sepertinya ujung payung tadi melukai pelipisnya.
Mampus gue! Rasanya Vina ingin menenggelamkan diri di laut. Jadi putri duyung aja, siapa tahu ketemu Lee Min Ho.
Sean mendengus, mendengarkan cicitan Vina yang terus meminta maaf. Kini Vina tengah mengobati lukanya.
Sean terdiam sejenak, menatap Vina yang duduk menghadapnya. Tangannya dengan telaten menempelkan plaster di pelipisnya. Wajah Vina begitu cantik dilihat dari jarak sedekat ini.
Cantik?
Sean menggeleng, merutuki dirinya sendiri. Cantik dari Hongkong!
"Kenapa? Masih sakit ya? Sekali lagi maafin gue." Vina benar-benar menyesal. "Tapi please, jangan penjarain gue."
Sean tersentak karena Vina bersimpuh di depannya, meraih tangannya memohon untuk memaafkan kesalahannya yang fatal.
Sean rasanya ingin tertawa sekencang-kencangnya. Seorang Vina merendahkan harga dirinya sendiri. Sungguh menggelikan.
"Gak semudah itu!" ketus Sean. "Lo udah rusakin mobil kesayangan gue, gaji lo seratus tahun aja gak bakal cukup buat ganti. Lo juga bikin kesehatan gue terancam, hampir aja gue kena serangan jantung untung nyawa gue gak melayang waktu lo tabrakin. Terus sekarang lo bikin wajah tampan gue tergores."
Puffft.
Hampir saja Vina tertawa, kenapa pria di depannya ini bisa berubah jadi senarsis ini. Seingat Vina, dulu Sean cowok yang cool. Ternyata waktu merubahnya jadi alay dan bawel.
"Ngapain lo ketawa?!" bentak Sean.
"Maaf," lirih Vina, menunduk menatap lantai. Namun hatinya terus menyumpah serapah Sean.
Vina mengembuskan napasnya, rasanya sampai subuh pun Sean gak bakal berhenti nyerocos. Mulutnya udah kaya petasan banting.
"Sean!" Sean berjengit, Vina tiba-tiba menatapnya dengan tajam. "Lo gak haus?"
"Haus si, ambilin minum dong."
Vina mendengus, ia mengambilkan air. Sean menenggak habis botol minum yang disodorkan Vina.
"Benar-benar seperti sapi gelonggongan," gumam Vina sambil geleng-geleng kepala.
"Ngomong apa lo barusan?"
"Gak, gue gak ngomong apa-apa." Vina memalingkan wajahnya.
"Jadi kapan lo bakal bayar ganti ruginya?"
Vina memejamkan mata, haruskah ia bunuh Sean? Agar hutangnya bisa lunas. Gak, gak! Vina bukan psychopath. Terus ... tiba-tiba Vina teringat ucapan Rey soal negosiasi dan keringanan.
"Ehem."
Vina berdehem, berbalik menatap Sean yang tengah menatapnya dengan pandangan aneh.
"Lo ... maksudnya Bapak, gak bisa kasih keringanan gitu?" Vina tampak gusar karena Sean tak langsung menjawab.
Jawab k*****t, jangan gantungin gue gini? Vina geregetan sendiri.
"Bisa."
"Sungguh." Vina refleks memegang tangan Sean.
Hal itu jelas membuat Sean terkejut, ia memandangi tangannya yang digenggam. Vina yang menyadari hal itu langsung menarik tangannya kembali.
"Maaf." Vina memalingkan wajahnya, sungguh malu luar biasa. Ia merutuki tindakannya.
"Gue bakal anggap lunas semuanya, asal ...." Sean menggantungkan ucapannya, membuat Vina tak sabar menunggu lagi.
"Asal apa?" Vina tampak harap-harap cemas. Entah kali ini pilihannya benar atau salah.
"Ada syaratnya."
Vina mendengus, kenapa Sean terlalu bebrbelit-belit. Kenapa gak to the point saja. Menyebalkan!
"Iya syaratnya apa?" Vina memutar bola matanya, jengah.
"Jadi pembantu gue."
"What?" Vina melotot, menatap tajam Sean yang tengah menyeringai. "Lo gak waras, ogah!"
"Yaudah kalau gak mau, kebetulan gue lagi butuh pembantu buat beres-beres apartemen. Tapi lo gak mau, gak masalah ... jangan lupa batas waktu lo sampai besok, atau hotel prodeo menanti." Sean bangkit berdiri, memasukkan tangannya ke saku celana. Ia berbalik, melangkah menuju pintu.
Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Menyumpah serapah Sean atau mencabik-cabik pria itu sampai ke tulang-tulang.
Vina terjebak, ia tak punya pilihan. Maju kena, mundur kena. Ya Tuhan, kenapa cobaanmu begitu berat.
"Tunggu."
Sean yang akan menarik knop pintu, tak jadi melakukannya. Sean berbalik saat Vina sudah berlari dan berhenti di belakangnya.
"Gue mau. Asal lo gak bakal laporin gue ke polisi."
Sean tersenyum tipis, umpan yang ia lemparkan tepat mengenai sasaran. Sean maju selangkah, menepis jarak keduanya. Vina hanya diam, membeku di tempatnya berdiri ketika Sean memajukan wajahnya.
Jangan bilang dia mau nyium gue. Gimana nih? Jerit Vina dalam hati dan entah bagaimana ceritanya Vina malah cegukan saat embusan napas Sean menyapu lehernya.
"Mulai besok lo dateng ke apartemen gue," bisik Sean.
Vina ingin protes, namun Sean lebih dulu meletakkan telunjuknya di bibir Vina.
"Gak pake telat, sampai jumpa my maid." Sean melambaikan tangan, menyunggingkan senyum iblis andalannya.
Selamat datang di mimpi burukmu, Davina.