CHAPTER DUA : Conversation (2)

1635 Words
            “Stella itu orangnya terlalu ketus, Pak. Misalkan ada kompetisi orang paling ketus di dunia, saya yakin dia yang bakal jadi juara satunya. Nggak akan ada orang lain yang bisa mengalahkan ketusnya dia. Dia itu kalau mau meminta data ataupun menyuruh orang lain melakukan sesuatu hal, terlalu pelit untuk menggunakan kata ‘tolong’. Seperti orang yang... maaf.., kurang beretika. Padahal sekolahnya saja di luar negeri, kan, dengar-dengar? Masa sih, sekadar bilang tolong saja nggak bisa? Sombongnya itu lho, ampun deh, sundul langit, Pak,” ini yang dilaporkan oleh Leanita Hapsari, sang kepala bagian pemasaran, tatkala menyampaikan keluhan para anggota timnya terhadap sosok Stella kepadanya, sekitar sepuluh hari lalu.             Ketika mendengarnya, Pak Hartono sebetulnya tidak terlalu memperhitungkan keluhan Leanita tersebut. Sebab Pak Hartono juga tahu, Leanita adalah sosok yang mendapat julukan si ‘Ratu Baper’ di kantor. Sudah rahasia umum, lah! Tambahan pula, saat ini Leanita sedang hamil muda, pula. Kondisi di mana seorang wanita rawan mengalami perubahan mood dalam waktu yang terbilang singkat.             Pak Hartono menduga, bisa jadi perasaan Leanita sedang sensitif saja, ketika mendengarkan keluhan dari anggota tim yang dia pimpin. Bahkan, Pak Hartono juga sempat memperkirakan, bukan tak mungkin, yang dimaksud oleh anggota timnya Leanita hanyalah sekadar mengadu, tetapi oleh Leanita ditanggapi terlampau serius.             Tetapi Pak Hartono tidak akan menampik, bahwa dia cukup terusik dengan pendapat lainnya tentang Stella, yang didengarnya sekitar seminggu yang lalu.             “Mungkin karena merasa dirinya adalah lulusan luar negeri dan anak orang berada pula, jadi sikapnya begitu, Pak. Dia kan cuma butuh mencari pengalaman bekerja di perusahaan, yang sama sekali nggak ada sangkut paut dengan bisnis milik keluarganya. Semacam pembuktian diri istilahnya,” opini dari Erwin Prasetyo, salah satu staf senior di bagian logistik ini sampai pula ke telinga Pak Hartono saat mereka tidak sengaja bertemu di lobi kantor pada jam makan siang dan Pak Hartono menyempatkan bertanya pendapat Erwin tentang Stella.             Lalu masih ada pula yang berikutnya...             “Stella, Pak? Huh! Kalau saya nggak memandang Mbak Marshanda, nggak bakal saya anggap deh, keberadaannya. Misalnya dia anggota tim saya, sudah dengan sengaja saya bikin mental deh, di bulan pertama. Atau minggu pertama? Kalau perlu di hari pertama. Biar ngibrit sejauh-jauhnya dia, nggak menampakkan lagi wajah sombongnya itu di gedung kantor ini. Dari pada bikin saya repot,” celetuk Eriska Maharani, supervisor dari Erwin Prasetyo sewaktu berpapasan dengan Pak Hartono di kantin khusus karyawan, lima hari silam. Tidak ada rasa segan sama sekali kala menyampaikannya.              Memang sudah menjadi kebiasaan bagi Pak Hartono untuk dekat dengan para karyawan di kantor, dan tidak terbatas kepada orang bagian Keuangan saja. Cara termudah untuk mengorek informasi dari mereka tentunya tatkala di luar jam kerja. Dan, kantin karyawan yang setiap hari menyediakan menu beragam serta memberlakukan jam kerja sistem shift untuk para karyawannya, cukup ramai dikunjungi para karyawan. Kantin bukan saja ramai pada pagi hari sebelum pukul 08.30 wib ataupun saat jam istirahat, namun juga seusai jam kerja karyawan kantor hingga pukul 22.00 wib. Sejauh ini, keberadaan kantin sangat membantu bagi karyawan yang harus melakukan pekerjaan lembur.             “Stella itu orangnya mentang-mentang banget. Nggak ada basa-basi kalau ngomong. Langsung main nyuruh. Suruh cepatan email data lah, suruh kartu stok langsung diubah, dan kata mutiara-nya itu lho.... widiiih..., ngeri dengarnya,” yang ini adalah ungkapan kekesalan Ondo Suhari, dari salah satu pramu niaga yang kebetulan sedang mengantar data penjualan ke kantor dan singgah ke kantin untuk mengisi perut, tiga hari lalu.             “Apa sih, kalimat mutiaranya, boleh saya tahu nggak?” pancing Pak Hartono sambil menghampiri Ondo yang segera terkejut mendapati ada dirinya di kantin. Posisi Ondo yang membelakangi Pak Hartono memang ditambah dengan akmulasi rasa kesalnya kepada Stella, memang tidak memungkinkan dirinya menyadari keberadaan sang bos keuangan di tempat yang sama dengannya.             “Eh, Bapak, enggak, kok,” kata Ondo rikuh, saat itu.             Wendi Ruslan, salah satu staf di bagian humas yang menjadi lawan bicara Ondo, berusaha membantu Ondo. Sepertinya dia terlalu menjiwai pekerjaannya yang biasa menjadi penyambung lidah antara perusahaan dengan pihak eksternal.             “Itu lho Pak, si Mbak Stella itu kesannnya memerintah, apalagi kalau dia menemukan kesalahan, aduh, galaknya. Nah, yang saya dengar sih, Pak, kalimat mutiaranya Mbak Stella itu begini : Saya nggak mau tahu bagaimana caranya, pokoknya betulin. Kadang disambung ucapan, yang saya mau tahu, besok sore harus sudah ada di meja saya. Ya, yang semacam itu deh. Saya kadang mikir, apa Mbak Marshanda enggak tahu tentang hal ini, ya? Masa yang lain belum ada yang menyampaikan ke Mbak Marshanda? Atau..., Mbak Marshanda itu terlampau sibuk jadi hal-hal macam ini enggk sampai ke telinganya dia?” terang Wendi pula.             Pak Hartono manggut kecil mendengarnya, dan menyimpan semua keterangan dari Wendi. Dia tentu saja akan mengecek ulang di kemudian hari.             “Paling enggak, kasih dia kesempatan, deh. Kalau kita amati baik-baik, sikapnya yang super mengesalkan sebetulnya cuma di bulan pertama saja, kok. Makin kemari, dia makin beretika, kan? Aku percaya, semuanya itu nggak lepas dari didikkannya Mbak Marshanda. Nggak tahu gimana caranya, yang jelas, kita semua tahu, kan, Mbak Marshanda itu jagonya, soal membimbing dan mengarahkan seseorang menjadi pemain tim yang baik,” Bustomi yang supervisor personalia mendadak ikut angkat suara, membuat teman-temannya yang terlibat obrolan di kantin, manggut-manggut tanda setuju. Demikian pula Pak Hartono, yang mendengarnya dari jarak yang agak jauh dari Bustomi.              Begitulah. Sejauh ini Pak Hartono terus menyimpan pendapat seputar Stella yang konon merupakan anak orang berada. Putrinya Sultan. Entah siapa gerangan Sultan-nya. yang jelas, perihal bahwa Stella bukanlah berasal dari kalangan orang kebanyakan, terlihat nyata dari kendaraan yang ia gunakan sejak menghadiri sesi wawancara kerja tahap pertama. Kesan itu kian diperkuat dengan semua aksesoris wanita yang pastinya membuat iri sejumlah teman wanitanya. Tetapi di mata Pak Hartono, semua toh masih dalam batas kewajaran. Cewek mana yang tidak suka mengenakan perhiasan? Mungkin hanya sedikit, kan? Dan soal outfit yang dikenakan oleh Stella, sebetulnya tidak perlu terlalu mengusik perasaan rekan-rekan kerjanya toh, kan mereka juga tidak perlu tahu harga semua outfit tersebut? Bukan dicuri juga dari mereka.              Mengenang semuanya, Pak Hartono mengembuskan napas. Setidaknya, dia bersyukur akan fakta bahwa Stella berada di tim yang tepat.             “Bagus, kalau begitu Marsha. Saya percaya pada  kemampuan yang kamu miliki dalam menangani anggota tim, sebagaimana telah terbukti baik selama ini,” kata Pak Hartono.             “Terima kasih, Pak Hartono. Semoga saya tidak mengecewakan perusahaan,” sahut Marshanda.             Pak Hartono tertawa kecil dan berkata, “Saya yakin. Dan siapa tahu, kalau Stella ini menunjukkan kemajuan berarti, nantinya bersama Barry dia bisa menangani pekerjaan Mathilda saat Mathilda menjalani cuti melahirkan.”             Marshanda baru akan menyahut, ketika Pak Hartono kemudian menambahkan, “Oh ya, kapan Mathilda akan cuti?”             Marshanda tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Pak Hartono.             “Masih sekitar enam minggu ke depan, Pak. Waktunya lebih dari cukup untuk mengatur peralihan tugas di tim saya. Lagi pula, sejumlah pekerjaan Mathilda sudah saya alihkan ke Stella dan yang lain, kok, untuk mengurangi beban Mathilda. Kalau soal cuti, Mathilda sendiri sudah bicara ke saya, tiga minggu sebelum hari perkiraan melahirkan, baru dia akan mengambil cuti melahirkan,” jawab Marshanda.             Pak Hartono mengernyitkan dahinya.             “Tiga minggu? Bukannya bagian hrd kita menetapkan aturan cuti melahirkan sebulan sebelum hari perkiraan lahir?” tanya Pak Hartono, yang segera diangguki oleh Marshanda.              “Benar, Pak. Memang sedikit menyimpang dari aturan perusahaan. Tetapi, Mathilda mengatakan, dia ingin mempunyai waktu sedikit lebih lama untuk menemani si bayi setelah lahir kelak,” sahut Marshanda.             “Begitu, ya?” Pak Hartono setengah bergumam.             “Iya, Pak. Setelah menimbang kesehatan Mathilda yang sangat baik, kondisi dalam tim saya selain permintaan Mathilda sendiri, saya meluluskannya. Mathilda sendiri juga tidak keberatan memenuhi persyaratan administrasi yang disyaratkan oleh bagian HRD, yaitu surat pernyataan sehat yang juga ditandatangani oleh orangtua dan suaminya, selain lampiran surat keterangan dari dokter kandungan yang menanganinya selama ini,” urai Marshanda terperinci, sembari mengenang acara tujuh bulanan Mathilda yang dihadirinya kemarin lusa.              Pak Hartono manggut-manggut mendengar keterangan Marshanda.             “Ya, kamu atur saja kalau begitu. Oke, Marsha, hati-hati ya. Saya duluan, kalau begitu,” kata Pak Hartono kemudian. Lelaki itu pun beringsut meninggalkan area car call, seakan masih kental keengganannya untuk meninggalkan Marshanda sendiri di sana.             “Baik, Pak. Silakan,” sahut Marshanda pula, disertai sebuah anggukan kecil.             Tak lama Marshanda dan Pak Hartono tiba di lobi gedung. Cukup sebentar menunggu, kendaraan yang dinantikan telah berhenti di depan mereka. Pak Prapto, pengemudinya, segera turun. Dia langsung membukakan pintu mobil bagian kiri belakang untuk majikannya.             “Saya duluan, Marsha. Sampai minggu depan di kantor, ya,” ujar Pak Hartono.             “Silakan, Pak! Saya usahakan Senin pagi sudah saya mutakhirkan semua datanya, disesuaikan dengan hasil diskusi tadi,” kata Marshanda.             Pak Hartono mengangguk puas.             “Bagus. Lakukan yang terbaik, sebagaimana biasanya, Sha,” Pak Hartono pun memasuki mobil dan segera membuka kacanya.             Setelah duduk di jok nyaman yang tadi didudukinya bersebelahan dengan Marshanda dalam perjalanan dari kantor mereka ke gedung ini, Pak Hartono melambaikan tangannya.             Lambaian itu dibalas oleh Marshanda yang masih berdiri di tempatnya.             Sepeninggal Pak Hartono, Marshanda bergegas melangkahkan kakinya, mengarah ke gedung sebelah yang terpisahkan jalan dua lajur. Marshanda kerap mendengar, ada sebuah kedai kopi yang belum lama buka di lantai satu gedung tersebut. Namun, kesibukannya berkutat dengan pekerjaan selama ini masih saja menghalanginya menyambangi kedai kopi tersebut. Sebutannya saja 'kedai', tetapi dari berbagai tampilan yang Marshanda lihat di beberapa postingan, interiornya ya semodern kafe pada umumnya.             Karenanya Marshanda berpikir, sungguh sempurna kesempatan yang datang padanya hari ini. Cukup menyeberang jalanan yang tidak terlalu ramai, tibalah dirinya di tempat tujuan. Pertimbangan Marshanda sederhana dan praktis. Selagi menunggu kepadatan lalu lintas di jalan yang akan dilaluinya menuju tempat tinggalnya agak terurai di Jumat sore begini, Marshanda ingin sedikit bersantai, menyesap secangkir kopi dan mencicipi sepotong kue di sana. Malahan sekiranya keadaan di dalam kafe tidak terlalu bising, dia ingin sedikit menganalisa hasil rapat tadi.             ‘Lumayan kan, bisa sekalian nyicil pekerjaan?’ pikir Marshanda tanpa beban.                                                                                                                                                                                                                                        ^* Lucy Liestiyo   *^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD