Malam itu, setelah pintu kamar tertutup keras oleh Reza, Arini duduk sendirian di ruang tamu. Air mata jatuh satu per satu, membasahi pipi, tapi bukan hanya kesedihan yang ia rasakan. Ada bara kecil di dalam dadanya. Bara yang perlahan berubah jadi tekad.
Ia sadar, selama ini ia hanya jadi penonton dalam rumah tangganya sendiri. Ia terus diam, pura-pura bahagia, sementara Reza semakin jauh, semakin tenggelam dalam pelukan sahabatnya.
Tidak. Aku tidak bisa diam lagi.
Arini menghapus air matanya. Ia mengambil jurnal yang selalu ia gunakan untuk menulis, lalu membuka halaman kosong. Pena di tangannya bergetar, tapi ia mulai menulis:
Rencana: Aku harus kumpulkan bukti. Aku harus tahu semua. Jika dia menolak bicara, biar bukti yang bicara untukku.
Keesokan paginya, Arini bangun lebih awal dari biasanya. Ia memasukkan ponsel kecil milik Reza yang semalam tertinggal di meja ke dalam tasnya. Ia tahu Reza punya dua ponsel—satu untuk keluarga, satu lagi untuk urusan “kerja”. Ponsel kedua itulah yang selalu ia sembunyikan.
Arini menghubungi Dina, minta ditemani. Bersama-sama, mereka pergi ke sebuah tempat reparasi ponsel untuk membuka data lama yang sudah dihapus. Hatinya berdegup kencang saat teknisi itu berkata, “Banyak chat yang dihapus. Tapi bisa dikembalikan.”
Beberapa menit kemudian, layar ponsel menampilkan riwayat pesan. Arini nyaris tak sanggup menatap. Pesan-pesan itu penuh kata cinta, janji, bahkan rencana masa depan.
"Aku nggak sabar liburan berdua sama kamu."
"Kapan aku bisa kenalin kamu ke keluargaku secara resmi?"
"Sabar, Sayang. Cepat atau lambat aku akan bebas."
Arini menutup mulutnya, tubuhnya gemetar. Dina merangkul bahunya erat. “Rin… aku minta maaf. Tapi kamu harus kuat.”
Sepulangnya, Arini duduk di kamar sendirian, menatap ponsel itu. Hatinya campur aduk antara marah, sedih, dan takut. Ia tahu, jika semua ini terbongkar, rumah tangganya akan hancur. Tapi jika ia terus diam, dirinya sendiri yang akan hancur perlahan.
Malamnya, ketika Reza pulang, Arini sudah bersikap seperti biasa. Ia menyuguhkan teh hangat, tersenyum samar, bahkan menanyakan kabarnya. Reza tampak lega melihat istrinya tidak curiga.
Padahal di balik senyum itu, Arini sudah punya rencana: ia akan menunggu saat yang tepat untuk membuka semua bukti ini.
Beberapa hari kemudian, Nadya kembali datang ke rumah. Arini menyambutnya seperti biasa, menyajikan teh, pura-pura ramah. Tapi kali ini, ia memperhatikan setiap gerak tubuh sahabatnya itu.
“Nadya, kamu kelihatan bahagia banget belakangan ini,” ucap Arini, mengamati.
Nadya tersenyum samar, matanya berbinar. “Mungkin karena kerjaan lagi lancar. Hehe.”
Arini meneguk tehnya perlahan. Lancar karena suamiku, bukan? batinnya.
Setelah Nadya pulang, Arini menatap meja ruang tamu. Ada bekas lipstik di cangkir teh. Ia meraih cangkir itu, lalu tersenyum getir. Bukti kecil lain.
Malam itu, Dina menelepon. “Rin, kamu mau sampai kapan kumpulin bukti? Kamu harus ambil keputusan.”
Arini menatap foto Reza di meja rias. Foto pernikahan mereka lima tahun lalu, saat semua masih terlihat sempurna.
“Aku tahu, Din. Tapi aku nggak mau gegabah. Aku harus pastikan semuanya. Saat aku bicara… aku ingin dia tidak bisa menyangkal lagi.”
Dina terdiam sejenak. “Kalau begitu, aku bakal bantu. Aku kenal seseorang yang bisa jadi saksi diam-diam. Detektif kecil-kecilan. Kamu mau?”
Arini menghela napas panjang. Hatinya ragu, tapi juga ingin tahu segalanya. “Ya, Din. Aku mau.”
Beberapa hari kemudian, Arini duduk di sebuah kafe kecil bersama Dina dan seorang pria berusia empat puluhan. Namanya Bayu, mantan wartawan investigasi yang kini bekerja sebagai penyelidik pribadi.
“Bu Arini, saya nggak janji banyak. Tapi kalau Ibu mau, saya bisa pantau kegiatan suami Ibu beberapa hari. Semua akan saya catat, lengkap dengan foto,” ujar Bayu tegas.
Arini menunduk, jemarinya meremas cangkir kopi. “Tolong, Pak. Saya butuh kebenaran, meski itu menyakitkan.”
Malam itu, saat Reza pulang, Arini kembali memainkan perannya. Ia tersenyum, menyiapkan makan malam, bahkan bercanda kecil. Reza tampak lega, seolah yakin istrinya tidak tahu apa-apa.
Tapi dalam hati, Arini berbisik: Waktu bermain sudah habis, Mas. Aku akan tahu semuanya.