Bab 9 – Luka yang Lebih Dalam

862 Words
Hujan turun deras sore itu. Langit gelap, seakan ikut menyimpan beban yang dipikul Arini. Ia duduk di ruang tamu, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air. Tangannya memegang secangkir teh hangat, tapi tak ada rasa di lidahnya. Pikirannya kembali pada percakapan semalam. Tatapan mata Reza, senyum samar yang ia kenal betul… semuanya dusta. Reza berjanji hanya ada dirinya, tetapi bukti yang Arini lihat justru sebaliknya. Kalau aku terus diam, sampai kapan? Kalau aku hanya menunggu, apa aku akan jadi perempuan yang ditinggalkan begitu saja? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantamnya tanpa henti. Suara dering telepon memecah lamunannya. Nama Bayu muncul di layar. Arini buru-buru mengangkat. “Bu, saya punya sesuatu lagi,” suara Bayu terdengar hati-hati. Arini menelan ludah. “Apa?” “Saya ikuti Pak Reza tadi siang. Beliau bertemu dengan Bu Nadya lagi, di apartemen kawasan Sudirman. Mereka… tidak hanya makan siang, Bu. Saya lihat sendiri mereka masuk ke unit yang sama. Hampir dua jam mereka di dalam.” Arini menutup mulutnya, berusaha menahan isak. Dadanya sesak, napasnya berat. Bayu melanjutkan dengan suara pelan, “Saya sudah simpan bukti foto, kalau Ibu ingin lihat.” “Tidak usah dulu, Pak,” jawab Arini, suaranya bergetar. “Tolong simpan saja.” Ia mematikan telepon. Tangannya gemetar begitu hebat hingga cangkir tehnya hampir jatuh. Air mata akhirnya pecah, deras mengalir di pipinya. Malamnya, Reza pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa kantong plastik berisi makanan. “Sayang, aku beliin sushi kesukaan kamu,” ucapnya ceria. Arini menatapnya lama. Bagaimana dia bisa tersenyum semanis itu setelah keluar dari apartemen Nadya? Rasanya ia ingin berteriak, ingin menampar wajah itu, tapi tubuhnya kaku. “Terima kasih, Mas,” jawab Arini singkat, lalu masuk ke dapur. Reza mengikutinya. “Kenapa? Kamu marah sama aku?” Arini meletakkan piring dengan keras di meja. “Aku cuma capek.” Reza meraih bahunya. “Kamu kelihatan murung akhir-akhir ini. Ada masalah?” Arini hampir tertawa getir. Masalah? Bukankah kaulah masalah terbesarku, Mas? Tapi bibirnya hanya mengucap, “Tidak.” Hari-hari berikutnya berjalan bagai mimpi buruk. Arini mencoba menjalani rutinitas, tapi setiap kali Reza keluar rumah dengan alasan pekerjaan, hatinya perih. Ia tahu ke mana sebenarnya suaminya pergi. Suatu sore, Arini memutuskan keluar tanpa memberi tahu Reza. Ia pergi ke sebuah kafe kecil di dekat taman kota, tempatnya biasa bertemu Dina. Dina sudah menunggu dengan wajah penuh cemas. “Rin, kamu makin kurus. Aku nggak tega lihat kamu kayak gini.” Arini menggenggam cangkir kopi erat-erat. “Din, aku tahu dia bohong. Aku sudah punya bukti, bahkan ada rekaman. Tapi… aku belum sanggup menunjukkannya.” “Kenapa? Apa kamu masih berharap dia berubah?” Arini menunduk. “Iya. Aku masih berharap. Tapi setiap hari harapanku semakin terkikis. Aku takut, Din. Kalau aku hadapi dia, semua akan hancur. Rumah ini, pernikahan ini… semua selesai.” Dina menatapnya iba. “Tapi kalau kamu diam, justru kamu yang hancur perlahan, Rin.” Arini menggigit bibir. Ia tahu sahabatnya benar, tapi hatinya terbelah dua. Hari itu, saat Arini pulang, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih. Di meja ruang kerja Reza, ada sebuah amplop kecil berwarna krem. Ia membukanya pelan, dan menemukan kartu undangan hotel—diskon khusus untuk pasangan, lengkap dengan tanggal dan tanda tangan manajer. Tangannya bergetar. Ini… untuk mereka berdua? Ia buru-buru memasukkan kembali amplop itu. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Malamnya, ketika Reza mandi, ponselnya kembali berdering. Nama Nadya muncul di layar. Arini hanya bisa menatap, rasa mual memenuhi perutnya. Ketika Reza keluar, ia pura-pura tak melihat. Reza buru-buru mengambil ponsel itu, suaranya rendah ketika berbicara. “Ya, Sayang… besok malam. Jangan khawatir, Arini nggak curiga.” Arini memejamkan mata rapat-rapat. Kata-kata itu seperti pisau menusuk jantungnya. Malam semakin larut. Arini duduk sendirian di kamar, menatap suaminya yang tertidur pulas di sebelah. Bagaimana dia bisa tidur dengan tenang, sementara aku setiap malam dihantui mimpi buruk? Ia meraih ponselnya, membuka kembali pesan-pesan Reza dan Nadya. Kata-kata manis yang dulu pernah ia terima kini ditujukan untuk perempuan lain. Air matanya jatuh, membasahi layar ponsel. Dalam hati, Arini berbisik, Aku mungkin lemah sekarang. Tapi aku berjanji, suatu saat aku akan tunjukkan kebenaran. Aku akan hadapi kamu, Mas. Dan aku tidak akan sendiri. Keesokan harinya, Dina kembali menghubunginya. “Rin, aku nggak tahan lihat kamu terus disakiti. Ayo kita kumpulkan semua bukti. Kalau kamu belum siap konfrontasi, setidaknya kamu punya pegangan saat waktunya tiba.” Arini terdiam. Ada api kecil yang menyala di hatinya. Ia memang hancur, tapi ia tidak mau selamanya jadi korban. “Baik, Din. Kita kumpulkan semuanya,” jawab Arini lirih. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih kuat. Luka itu memang dalam, tapi dari luka itu perlahan tumbuh tekad. Arini kembali berdiri di depan cermin setelah menutup telepon dengan Dina. Wajahnya pucat, mata sembab, rambut berantakan. “Siapa aku sekarang?” bisiknya lirih. Ia menyentuh cincin pernikahan di jarinya. Dulu, cincin itu adalah lambang cinta dan janji setia. Kini, hanya terasa seperti rantai yang mengikatnya pada kebohongan. Air matanya kembali jatuh, tapi kali ini berbeda. Ada bara kecil di balik setiap tetesnya. “Kalau dia bisa bahagia dengan perempuan lain, aku juga berhak menentukan kebahagiaanku sendiri,” ucapnya pada bayangan di cermin. Dalam hati, Arini mulai menyadari—perjalanannya baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD