BAB 12 - Minta Hak?

1520 Words
"Mas Afkar?" "Hm?" "Maksudnya impas gimana?" Sungguh Iqlima penasaran, dia sampai sengaja duduk di kursi yang berada di sebelah sang suami demi memastikan apa maksud Afkar. Afkar yang ditanya tentu takkan bersedia mengaku, dengan kemampuan sandiwaranya, pria itu berusaha mempertahankan wibawa dan dengan santai menjawab. "Tidak ada." "Heh? Bukannya tadi?" "Kamu salah dengar," ucap Afkar kembali dengan nada dingin khasnya. Tanpa menatap Iqlima, Afkar fokus menikmati makan malamnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tawa kecil yang tadi sempat Iqlima dengar juga sudah benar-benar musnah. Suasana kembali berganti sunyi, hening dan mencekam seperti hari biasanya. Sadar bahwa tidak memungkinkan untuk kembali banyak tanya, Iqlima diam saja. Sesekali dia melirik ke arah Afkar, beberapa kali kerap makan bersama Iqlima bisa menarik kesimpulan bahwa pria itu sangat rapi dalam segala hal sebenarnya. Makannya saja berwibawa, tertata dan terlihat seperti orang baik-baik. Hanya saja memang terkesan pendiam, siapapun tahu Afkar bukan orang biasa. Hingga selesai makan malam, sama sekali tidak ada pembicaraan lebih lanjut meski tadi mereka sempat terlihat lebih akrab. Bahkan ketika Afkar kembali ke kamar lebih dulu ke kamar, pria itu tidak mengatakan sepatah katapun. Benar-benar sedingin itu sikapnya, tak jarang Iqlima merasa bak patung di hadapan sang suami. "Suasana hatinya bisa berubah secepat itu ternyata." Bersama helaan napas panjang, Iqlima berucap demikian. Tak ingin ambil pusing, apalagi ambil hati dengan sikap Afkar yang kemungkinan akan dia hadapi sepanjang pernikahan ini, Iqlima menyibukkan diri dengan mencuci piring kotor dan merapikan meja makan sebelum kembali ke kamar. Sengaja Iqlima lakukan sendiri dan tidak butuh bantuan Bi Minah. Bukan semata-mata dia melakukan tugas itu dalam rangka melayani suami, tapi sengaja dia gunakan untuk menunda agar tidak bertemu Afkar dalam waktu dekat. Sungguh dia tidak memiliki keberanian untuk menghadapi Afkar pasca tragedi yang dia alami di area walk in closet beberapa waktu lalu. "Apalagi ya?" Iqlima mencari-cari, dia menatap sekeliling mana tahu ada yang bisa dia lakukan agar sedikit lebih lama di sini. Berharapnya, nanti dia ke kamar Afkar sudah tertidur. Dengan begitu, setidaknya Iqlima selamat malam ini dan tidak akan tersiksa dengan rasa malu yang sebenarnya dia ciptakan sendiri. Bagaimana tidak? Yang sebenarnya harus malu di sini adalah Afkar. Akan tetapi, Iqlima justru merasa telah melakukan kesalahan besar karena tidak sengaja melihat pria itu dalam keadaan tanpa busana. Sebenarnya, jika tadi Iqlima tidak berteriak dan Afkar tidak sadar, mungkin tidak akan semalu ini. Akan tetapi, berhubung suaranya juga mengalahkan volume toa masjid, Iqlima menjadi malu sendiri. Tak disangka, di sisi yang lain Afkar juga tengah merasakan hal sama, hanya berbeda kasus saja. Jika Iqlima malu karena sempat melihat aurat sang suami, Afkar justru malu karena tadi hampir saja bunuh diri. "Bodohnya, sejak kapan kau jadi oversharing begini, Afkar?" Pria itu bermonolog, lebih kepada dirinya sendiri. Cukup lama Afkar merenungi kesalahannya, menetralisir perasaan duduk di tepian ranjang. Berawal dari duduk, Afkar perlahan merebahkan tubuhnya dan kini menatap langit-langit kamar. Berusaha berpikir keras tentang bagaimana caranya bersikap di hadapan Iqlima andai Iqlima masuk nantinya. Bicara tentang Iqlima, pria itu baru sadar bahwa sang istri belum masuk juga. Sontak Afkar beralih menatap jam digital di atas nakas, mencoba mengingat sudah berapa menit dia berada di kamar tanpa kehadiran Iqlima. "Lama sekali, apa yang-" Ceklek Belum kering bibir Afkar, pintu kamar terbuka dan kembali Afkar berlagak sama sekali tidak mencarinya. Hanya matanya saja yang menatap Iqlima sekilas. Dari jarak beberapa meter, Afkar bisa memantau gerak gerik Iqlima yang kini menuju ke kamar mandi. Banyak sekali ritualnya sebelum tidur, Afkar paham tanpa dijelaskan karena hampir setiap malam memang itu yang dia lakukan, memantau rutinitas Iqlima. Selang beberapa lama, Iqlima kembali dengan wajah yang agak basah. Tangan baju dan kerudungnya juga demikian. Dengan langkah perlahan, wanita itu mendekati tempat tidur, dia tampak ragu hendak naik ke atas ranjang. Afkar yang dapat menangkap kebimbangan Iqlima tak segera bicara, dia hanya menoleh dan melayangkan tatapan tak terbaca ke arah wanita itu. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Afkar perhatikan tanpa terlewatkan sedikit saja. Dia bahkan bisa melihat Iqlima yang kini meremas jemari seraya menggigit bibir bawahnya. "Kamu tidurnya begitu?" tanya Afkar basa-basi. "Iya, memangnya kenapa?" "Apa tidak panas?" Kembali pria itu bertanya lagi. Penampilan Iqlima yang masih mengenakan abaya longgar dan juga kerudung syar'i di malam hari sedikit menimbulkan tanya di benak Afkar. Hal itu terjadi karena pada faktanya berbeda dengan apa yang dia ketahui. Karena sejauh pengetahuan pria itu, Iqlima akan tidur dengan piyama pembawa petaka yang hampir setiap malam membuatnya resah. "Panas sih sebenernya," aku Iqlima disertai helaan napas panjang. Dia tidak berbohong dan memang benar adanya panas. Meski ruangan ini dilengkapi teknologi yang namanya AC, tetap saja Iqlima merasa gerah. Entah karena cuaca di Jakarta memang berbeda atau bagaimana, tapi Iqlima merasa alat itu seolah tidak berguna. "Kalau panas ganti," ucap pria itu singkat, juga datar dan tak berniat untuk melirik ke arah lawan bicaranya. . . "Memangnya boleh ya, Mas?" Iqlima bertanya dengan penuh keraguan, mata polosnya menatap Afkar penuh harap. "Terserah." Begitu sahut Afkar kemudian membalikkan tubuhnya. Berlagak seolah tidak peduli padahal hati kecilnya yang memang menginginkan Iqlima tampil seksi. Seolah sengaja uji nyali, mendengar ucapan Afkar, wanita itu tanpa pikir panjang bergegas untuk mengganti pakaiannya. Saking bahagianya, Iqlima sampai berlari kecil dan dari tempat Afkar berbaring dia bisa melihat kepergian sang istri. Tak sadar, senyum tipis itu kembali terpancar di wajahnya. Afkar perlahan memejamkan mata sementara menunggu Iqlima kembali usai mengganti pakaiannya. Selang beberapa lama, pria itu merasakan tempat tidur bergoyang pelan, pertanda ada yang naik dan sudah jelas pelakunya adalah sang istri. "Lampunya mau nyala atau matikan saja, Mas?" Suaranya kembali terdengar, Afkar yang tadi sudah terpejam perlahan membuka mata. "Nyala," sahut Afkar singkat, padat dan cukup jelas. "Tapi kata Umi akan lebih baik kalau lampunya dimatikan saja, Mas." "Aku tidak bertanya." Iqlima menyarankan baik-baik, tapi respon Afkar justru seperti itu. Tak ingin sakit hati lagi dengan sikap dingin sang suami, Iqlima mulai merebahkan tubuhnya. Dia berharap Afkar bersedia mematikan lampu karena pakaian yang dia gunakan cukup terbuka. Sayangnya, pria itu keras kepala dan tidak ada kemungkinan untuk dirayu dengan berbagai cara. Tak sedikit pun Iqlima sadari, bahwa Afkar sudah terbiasa memandanginya dengan penampilan semacam itu. Perlahan, Iqlima berbaring dan menyelimuti tubuhnya hingga menutupi bagian d**a. Ingin hingga leher, tapi udara di kamar ini cukup membuatnya gerah. Dia tampak kurang nyaman, terbukti dengan pergerakan yang cukup membuat Afkar terganggu sebenarnya. "Ck, apa yang dia lakukan sebenarnya?" Afkar menggerutu di dalam hati, tapi dia berusaha menahan diri karena jika dia berbalik maka bisa dipastikan matanya akan menangkap pemandangan tak biasa yang sudah bisa dipastikan akan membuat gila. Cukup lama Afkar kesal sebenarnya, sampai wanita itu terdengar lebih tenang dan tidak lagi terdengar kehebohan yang dia lakukan. Penasaran, Afkar tak kuasa menahan diri untuk tidak berbalik hingga dia nekat menatap ke Iqlima. Tak ubahnya bak bunuh diri dengan menghujam jantungnya dengan sebilah belati, Afkar benar-benar positif mati. Bagaimana tidak? Sewaktu memantau Iqlima lewat CCTV saja dia resah, kini pria itu dihadapkan dengan Iqlima yang tidur dengan posisi kaki sedikit terbuka hingga memperihatinkan dengan jelas kaki jenjang dan paha mulusnya. Padahal, jelas-jelas Afkar mendengar dan bisa menerka bahwa sebelumnya Iqlima sibuk sendiri dengan selimut tebal yang membalut tubuhnya. Akan tetapi, pada kenyataannya berbeda. Tanpa selimut, posisi tidur menantang dan seolah siap untuk diterkam. Dalam diam, Afkar mengusap kasar wajahnya. "Apa dia tidak bisa tidur dengan sedikit elegan?" Afkar bermonolog, bertanya pada diri sendiri dan memang bingung kenapa bisa ada wanita semacam ini. Wanita anggun yang begitu menjaga sikapnya, ternyata ketika tidur persis siluman kera. Meski kemungkinan besar alasannya karena panas, terbukti dengan butiran keringat di kening Iqlima. Lama Afkar pandangi, pria itu mulai kehilangan kendali. Beberapa saat dia menggigit bibir, sesekali melirik ke kanan dan kiri seolah ada yang tengah mengawasi. Pelan, tapi pasti Afkar mengikis jarak. Menyingkirkan guling yang awalnya dia letakkan di tengah sebagai pembatas, dan kini keduanya hanya berjarak beberapa senti. Cukup lama dia pandangi wajah ayu sang istri. Inci demi inci dia pandangi, tak terlewatkan sama sekali. Tangan Afkar perlahan terangkat dan seolah siap untuk mencekiknya. Ucapan omnya kembali terngiang, kesalahan orang tua Iqlima mendadak muncul di benaknya. "Sampai kiamat prinsip hidup kita sebagai manusia harus sama, gigi dibalas gigi dan nyawa dibayar dengan nyawa, Afkar." Afkar memejamkan mata, sementara tangannya kini benar-benar menyentuh leher Iqlima dan siap untuk mengikuti sisi ib-lis di dalam dirinya. Namun, tiba-tiba saja keraguan menyergap dalam dirinya. Dia yang awalnya berniat mencekik, kini hanya menyentuh dan memberikan usapan lembut dengan ibu jari tanpa sadar. Tak disangka, tindakan itu membuat Iqlima terjaga dan sontak menyentuh pergelangan tangan Afkar. "Mas Afkar?" Sama-sama terkejut, Afkar kini gelagapan, tapi waktu seolah tak memberikannya kesempatan untuk menjauh dari Iqlima. Mata sendu Iqlima menatap Afkar begitu intens, dan untuk pertama kalinya tatapan kedua insan itu beradu cukup lama. Sampai akhirnya, Iqlima mengulas senyum penuh makna di wajah cantiknya. Tak berhenti di sana, Iqlima yang tadi mendapati Afkar menyentuh lehernya seketika menarik kesimpulan sendiri tentang tujuan pria itu. Tanpa keraguan dan tanpa mengalihkan tatapannya yang kian dalam, Iqlima semakin mengikis jarak hingga wajah keduanya nyaris menempel. Pelan, tapi pasti Iqlima beralih menyusuri d**a dan jemari lentiknya berhenti tepat di kancing piyama sang suami. "Mas mau apa? Minta haknya ya?" . . - To Be Continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD