BAB 10 - Assalamualaikum, Mas Afkar ~

1460 Words
"Sudah jelas masih saja bertanya." Afkar membatin sembari berlalu meninggalkan Iqlima yang dia anggap telmi alias telat mikir. Padahal, pertanyaan semacam itu sah-sah saja, toh memang cukup mengejutkan karena di awal pernikahan Iqlima diperlakukan seperti dengan begitu buruk sebenarnya. Dasar Afkar saja yang terlalu sentimen dan malas menjawab pertanyaan Iqlima. Tanpa menunggu Iqlima selesai mengemasi barang-barangnya, Afkar sudah kembali ke kamar lebih dulu. Sementara Iqlima datang, pria itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sesekali Afkar mengalihkan perhatian dengan memeriksa pesan singkat di ponselnya. Memastikan barang kali ada yang terlewat karena sejak pagi tadi Afkar memang sibuk dengan pikirannya sendiri. Selang beberapa lama, pintu kamarnya diketuk yang kemudian didorong perlahan dari luar. Tak lupa disertai ucapan lembut dari pemilik wajah cantik yang kini berdiri di ambang pintu. "Assalamualaikum, Mas Afkar." Afkar sontak terjaga dari posisinya, dia yang semula berbaring seketika duduk di tepian ranjang. Tak ubahnya bak didatangi orang penting, Afkar tampak gelagapan beberapa saat. Hanya beberapa saat, setelahnya dia kembali mencoba menenangkan diri dan mempertahankan wibawanya sebagai suami. "Walaikumsalam," jawab Afkar singkat, terkesan apa adanya seperti biasa. Iqlima masih terdiam di posisinya, dia juga bingung karena Afkar tak begitu menyambutnya dengan hangat sebagai pemilik kamar tersebut. "Ehm, ini bajunya taro mana ya, Mas?" Iqlima kembali memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu. Seperti yang dikatakan oleh Bi Minah, menghadapi Afkar memang harus sabar dan jangan malas untuk memulai lebih dulu, dalam segala hal. Dan, hal itu ternyata memang benar. Setelah Iqlima bertanya Afkar menuntunnya untuk menuju walk in closet yang berada tepat di sisi kanan kamarnya. Benar-benar timpang jika dibandingkan dengan kamar yang diberikan Afkar untuknya. Hingga detik ini Iqlima masih tidak mengerti apa motivasi Afkar membangun kamar sekecil itu sementara kamarnya saja semegah ini. "Letakkan saja di sana," ucap Afkar menunjukkan ke bagian lemari pakaian yang Iqlima duga harganya tidaklah murah. Iqlima mengikuti arah telunjuk Afkar, tapi dia justru kebingungan membuka lemari tersebut hingga membuat Afkar harus turun tangan. "Ah, kurang kenceng ya ternyata," ucap Iqlima berbasa-basi, wajah Afkar terkesan amat menakutkan di matanya jujur saja. Akan tetapi, Iqlima mencoba untuk membangun interaksi meski yang dia hadapi ini adalah laki-laki tak tertebak dan cukup sulit dipahami. Seperti sekarang contohnya, Afkar kembali terlihat dingin lagi setelah sebelumnya sampai sengaja mengajaknya sekamar. "Tata yang rapi, jangan mengambil ruangan untuk pakaianku di sebelah sini," ucap Afkar memperingatkan dengan penuh penekanan. "Iya, Mas." Sepatuh itu Iqlima menjawab meski sang suami cukup menyakitkan hati setiap kali mengeluarkan kata-kata dari bibirnya. Sengaja dia bersikap demikian karena di mata Iqlima, Afkar tetap suaminya. Sebagaimana tekad Iqlima, selagi mampu dan tidak menggunakan kekerasan, dia bisa maklumi. Terlebih lagi, saat ini Afkar sudah berniat baik dengan mengajaknya sekamar. Meski alasannya karena kamar mungil itu belum dilengkapi AC, tapi Iqlima yakin betul bukan itu maksud Afkar sebenarnya. Pelan-pelan, Iqlima percaya Afkar menerimanya sebagai istri dan tidak menganggapnya sebagai beban lagi. Selesai merapikan pakaiannya, Iqlima kembali menghampiri Afkar yang kini sudah bersiap-siap untuk pergi lagi. Entah pergi ke mana, tapi yang pasti ada tujuan karena kini pria itu kembali merapikan rambut dan juga kemejanya. "Mas mau ke mana?" "Kantor," jawab Afkar seadanya, tanpa dilebih-lebihkan sedikit saja. "Ouh." Begitu sahut Iqlima sebagai akhir dari percakapan karena sejatinya hanya sekadar basa-basi saja. Afkar yang mendapati respon Iqlima melirik tajam, tapi tanpa sepatah kata pun terlontar di bibirnya. Dia juga berpikir tidak ada yang perlu dipermasalahkan hingga berlalu meninggalkan sang istri di rumahnya. Terpenting saat ini, dia merasa sedikit lebih tenang untuk kembali bekerja karena beban pikirannya musnah sudah. Dengan perasaan yang lebih tenang, Afkar bermaksud kembali ke kantor dalam waktu dekat. Namun, berbeda dengan biasanya kali ini Iqlima mengekor di belakang punggungnya. Hal yang cukup asing dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Lebih asing lagi, sewaktu Iqlima tiba mengulurkan tangannya. "Apa?" tanya Afkar mengerutkan dahi, seketika dia berpikir bahwa Iqlima meminta nafkah yang kebetulan belum dia berikan sepeserpun pada istrinya. Bingungnya Afkar tertangkap jelas di mata Iqlima, sampai wanita itu mengulas senyum hangat di wajah cantiknya. "Salim, Mas." "Oh salim?" "Iya," sahut Iqlima lagi dan dengan cepat dia menggapai punggung tangan Afkar yang sebenarnya tak segera dia berikan. Mungkin bingung juga, karena ini hari pertama mereka berinteraksi cukup banyak dibanding sebelumnya. Tak hanya sekadar menggapainya, Iqlima juga memberikan kecupan di sana persis seperti yang dia lakukan pasca akad nikah. "Hati-hati," ucap Iqlima yang hanya Afkar tanggapi dengan anggukan pelan. Tindakan tak terduga yang Iqlima lakukan cukup membuatnya terkejut, bahkan pria itu sampai terpaku cukup lama di sisinya. . . "Ck, jangan terlena, Afkar ... ingat tujuanmu melangkah sejauh ini untuk apa? Bagaimana mungkin kau goyah hanya karena sikap putrinya?" Suara hatinya bergaung keras, mengingatkan Afkar untuk tetap berada di jalur yang telah dia rancang sejak awal. Namun, semakin dia mencoba menepis bayang-bayang itu, semakin kuat senyum dan kelembutan Iqlima menyesaki pikirannya. Duduk di belakang meja kerja dengan tubuh sedikit bersandar, Afkar menghela napas panjang. Gemerlap ibu kota di balik jendela lebar kantornya tampak begitu hidup, seakan mengejek kekacauan yang kini melanda pikirannya. Seharusnya dia puas karena strategi yang dia susun mulai berjalan sesuai rencana. Seharusnya. Tapi kenapa pikirannya terus saja dihantui sosok wanita itu? Sebuah helaan napas berat kembali lolos dari bibirnya. Dengan gerakan malas, Afkar meraih sebungkus rokok di atas meja dan menyulutnya sebatang. Asap tipis mengepul, menemani kesendiriannya yang semakin larut. Justin dan Hiro sempat mengajaknya pulang sejak tadi, tapi dia menolak karena malam ini hanya ingin sendiri. Sayangnya, meski sudah dalam kesendirian sekalipun pikirannya tetap berisik. Lebih berisik dari hiruk-pikuk ibu kota. Sampai akhirnya, Afkar bosan sendiri dan memilih pulang segera. Hal itu dia lakukan karena merasa percuma berlama-lama sendirian tentu saja. Sepanjang perjalanan pulang, kepalanya penuh dengan pemikiran yang bertabrakan satu sama lain. Rasa kesal, frustrasi, dan sesuatu yang tak mampu dia definisikan berkecamuk di dalam dirinya, tapi Afkar tidak tahu apa. "Seharusnya kau tidak seperti ini, Afkar." Pria itu bermonolog, lebih kepada dirinya sendiri. Di saat-saat begini, biasanya dia akan pergi ke tempat yang selalu memberinya ketenangan. Tapi entah kenapa, ada suara kecil dalam hatinya yang menahan langkahnya kali ini. Perlahan, Afkar menghela napas dan terus menyusuri jalanan hingga akhirnya tiba di kediaman utama. Rumah itu, seperti biasa, tampak sunyi. Begitu masuk, Bi Minah langsung menyambutnya dengan senyum hangat. "Selamat malam, Den Afkar ... kok mukanya sedih?" Afkar melirik sekilas. Tatapan matanya kosong dan terkesan dingin. "Saya bukan bayi, Bi," ujarnya pendek, tak ingin diperlakukan seperti seseorang yang butuh dikasihani. Bi Minah hanya terdiam, tersenyum canggung sebelum akhirnya memilih mundur. Dia sudah cukup lama bekerja untuk Afkar, dia juga mengerti bahwa majikannya tidak suka diusik jika suasana hatinya tak baik-baik saja. Tentang Bi Minah yang tampak menyesal, sungguh Afkar tak peduli dan langsung menuju kamarnya. Tiba di depan kamar, tanpa mengetuk ataupun memanggil Iqlima lebih dulu, pria itu membuka pintu dan langkahnya terhenti sejenak ketika mendengar lantunan ayat suci yang lembut mengalun lembut, menelisik indra pendengarannya. Seolah ada yang menggetarkan hati Afkar, lantunan itu terdengar begitu merdu, begitu menenangkan—dan untuk pertama kalinya, Afkar merasakan ketenangan yang tak pernah dia dapati sebelum ini. Sedikitpun Afkar tidak bermaksud menghentikan kegiatan Iqlima. Dia tetap berdiri di ambang pintu, membiarkan suara itu menyelimuti hatinya yang sudah lama beku. Sampai, suara itu berhenti sendiri dan Iqlima sadar akan kehadirannya. "Mas?" Iqlima bergegas menghampirinya. Tatapan matanya lembut, seperti selalu. Sama seperti saat Afkar pergi kerja, Iqlima kembali menyambutnya dengan penuh ketulusan. Seakan-akan pernikahan ini adalah sesuatu yang nyata, bukan sekadar permainan ataupun cara melampiaskan dendam sebagaimana yang Afkar lakukan. "Sudah lama sampainya?" tanyanya pelan sebelum mengecup punggung tangan Afkar, seperti yang selalu dia lakukan. Afkar hanya diam. Dia tak tahu harus berkata apa. Perasaan itu kembali muncul. Sebuah perasaan yang seharusnya tidak ada. Tanpa menjawab, dia berlalu masuk ke kamar mandi begitu saja dan Iqlima tak berpikir macam-macam. Dia simpulkan saja pria itu memang bermaksud membersihkan diri, lagi pula Iqlima cukup terbiasa dengan dinginnya Afkar. Sementara itu, di kamar mandi Afkar sama sekali tidak mandi seperti dugaan Iqlima. Sebaliknya, dia hanya berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri. Matanya kosong. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. "Come on, Afkar ...." Tangan Afkar mengepal, beban di kepalanya seolah bertambah hingga membuat Afkar semakin mengutuk dirinya sendiri. Di tengah kesendirian itu, ponselnya berdering hingga membuyarkan lamunan pria itu. Dengan malas, dia mengangkat panggilan itu tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin. "Halo, Om." "Bagaimana, Afkar? Sudah sejauh apa langkahmu?" Afkar terdiam sejenak. Dia tahu betul bahwa jika Om-nya tahu rencananya mulai goyah, dia akan dianggap pecundang. "Lumayan, aku berhasil menikahi putrinya," ujarnya datar. "Oh iya?" "Iya." Ada jeda sejenak sebelum suara di seberang sana kembali terdengar. "Bagus, itu artinya, kau sudah bisa mulai membalaskan dendam pada Sean atas kematian kedua orang tuamu." Suara itu terdengar dingin, tapi penuh ambisi dan tanpa keraguan sama sekali. "Om yakin, kematian putrinya bisa dipastikan akan membuat badjingan itu hancur sehancur-hancurnya, Afkar." . . - To Be Continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD