Apa yang paling berharga di dunia ini selain nyawa? Tidak, bukan harta, tahta, apalagi cinta. Teman, itulah jawabannya. Apalagi teman kerja. Tanpa mereka pekerjaan akan terasa lama dan membosankan. Oleh karena itu, selain mencintai pekerjaan, menjalin pertemanan yang menyenangkan dengan teman kerja adalah hal kedua yang harus dilakukan agar betah bekerja.
Apapun pekerjaannya, satu musuh akan membuat kegiatan bekerja seperti di neraka. Jika sudah begitu, pekerjaan akan berantakan. Ujung-ujungnya resign. Kalaupun bertahan, tidak akan pernah lama. Hanya akan saling menunggu, kita atau musuh tersebut yang mundur. Aku tidak pernah ingin berada dalam keadaan seperti itu. Never!
Hari ini, aku sudah kembali berada di Pekanbaru setelah dua hari menghabiskan waktu di rumah sendiri. Karena hari ini aku shift sore, aku berangkat pagi dari Yogyakarta menuju Pekan Baru.
Sekitar jam 11 siang, aku sudah berada di bandara Sultan Syarif Kasim II. Penerbanganku dari bandara Adi Sutjipto Yogyakarta berjalan dengan lancar, tanpa delay atau masalah operasional lainnya. Dari Yogyakarta menuju Pekanbaru, dibutuhkan waktu sekitar dua jam jika menggunakan pesawat. Kalau jalan kaki mungkin butuh waktu beberapa hari, apalagi untuk yang tidak bisa berenang. Pasti akan ditemukan mengambang saat harus menyeberang dari pulau Jawa ke Sumatera.
Dari bandara, aku memakai sepeda motorku yang sengaja dititipkan di bandara untuk menuju kos-ku. Aku akan mandi, berganti baju dan meletakkan barang-barangku dulu sebelum berangkat menuju ke rumah sakit untuk bekerja.
Tiba di kosanku, Rara sudah menunggu. Gadis muda itu menagih oleh-oleh dariku. Aku yang sudah terbiasa dipajak akhirnya menyerahkan satu kaos khas Yogyakarta yang sengaja kubeli di sepanjang jalan Malioboro. Rara pun menerima hadiahku dengan senang hati. Walau dia sempat enggan menerima dengan alasan "hadiah baju akan membuat hubungan pacaran putus, Rangga”, begitu katanya.
Entah mitos darimana hingga dia begitu percaya dengan alasan itu. Namun bukan Rangga namanya jika aku menyerah begitu saja dengan argumennya yang menurutku tidak masuk akal itu.
"Orang lamaran aja seserahannya pakaian dan alat make up, Ra. Tapi akhirnya mereka menikah tuh! Lagipula putusnya hubungan pacaran itu ada tiga sebab," sahutku.
"Apa itu?" tanya Rara merasa penasaran.
"Kematian, pernikahan dan lain-lain," jawabku.
"Curang ih," dengus Rara sebal.
"Apanya?" tanyaku.
"Dan lain-lainnya itu," jawab Rara rada sewot.
Aku tersenyum geli.
"Kan bener, Ra? Dan lain-lain karena bisa saja karena tidak ada kecocokan, bosan, perselingkuhan atau tidak direstui orang tua," jelasku.
"Kalau Rara sama Rangga beda ha," sahut Rara.
"Apa bedanya?" tanyaku.
"Putusnya karena emang nggak pernah pacaran," jawab Rara.
Aku tergelak pelan mendengar jawaban Rara.
"Ya, Karena Rangga nggak mau putus dengan Rara, makanya kita temanan saja," ucapku yang langsung disambut manyunan Rara.
"Belum juga pacaran, udah bilang gitu! Emang kurangnya Rara dimana kok Rangga nggak mau nerima perasaan Rara?" tanya Rara sedikit sebal.
"Kurang cantik, kurang sehat, kurang-."
"Aih, kok kurang sehat? Rangga pikir Rara gila?" potong Rara tidak terima.
"Bukan begitu," sanggahku. "Cuma, Rara kalau makan selalu yang kurang bergizi,"
"Contoh?"
"Suka mengkonsumsi makanan siap saji. Kalau makan suka yang manis-manis dan suka ngemil makanan ringan yang tingkat garam dan micinnya tinggi!" jelasku.
"Kalau Rara nggak makan itu lagi, Rangga akan anggap Rara sehat?" tanya Rara.
"Selama tidak gila, Rara sehat," jawabku yang langsung membuat Rara melotot marah.
"Bercanda," ucapku mencoba meredam kekesalan Rara.
"Trus kurangnya Rara apalagi?" tanya Rara melanjutkan keingintahuannya atas penolakanku pada perasaannya yang selalu dia utarakan dengan terang-terangan.
"Rara kurang kalem, kurang tinggi dan yang pasti kekurangan kain," jawabku lalu tertawa geli.
"Aih! Apaan kok kekurangan kain?" protes Rara.
"See?" jawabku sambil menunjuk Rara yang saat ini memakai baju berlengan pendek ketat dengan celana pendek di atas paha.
"Ck, nyebelin," decak Rara lalu segera masuk ke rumahnya.
Aku hanya tersenyum puas melihat Rara yang langsung pergi. Dia memang selalu begitu, kalau merasa kalah, dia akan segera pergi. Sungguh kekanak-kanakan sekali.
Selesai bersiap, aku segera menuju rumah sakit. Jam kerjaku memang dimulai jam dua siang, tetapi aku akan berbagi oleh-oleh makanan yang kubawa dari Yogyakarta lebih dulu sehingga datang lebih awal.
Sampai di rumah sakit, aku ke ruangan adm ( administrasi ) Radiologi yang gabung dengan ruangan anak labor ( laboratorium ) yang biasanya stay untuk periksa UGD dan ICU.
"Siang, Ima," sapaku pada Ima, adm Radiologi satu-satunya.
"Siang juga, Rangga,” sahut Ima membalas sapaan dariku.
"Dinas sore ha?" tanya Ima.
Aku mengangguk.
"Ya," jawabku. "Anak-anak yang lain pada kemana?" tanyaku.
"Vety sama bang Kamil lagi stand by," jawabnya.
"Arif belum datang," lanjutnya.
"Apa tuh, Ga?" tanya suster Rani sambil menunjuk ke bungkusan yang sedang aku pegang.
"Oleh-oleh," jawabku.
"Bagi ha!" pinta suster Rani yang disambut lirikan dari yang lain.
"Iya, emang mau dibagi-bagi. Nih!" kataku sembari menyodorkan apa yang sedang aku pegang.
Suster Rani pun mengambil oleh-oleh dari tanganku lalu membagikannya dengan teman-teman yang lain. Aku menoleh ke arah Ima yang menatapku dengan sorot mata yang bisa dipastikan dia mengharapkan hal yang sama.
"Nih, buat Ima," ucapku lalu memberikan oleh-oleh yang memang aku bedakan, khusus untuk Ima.
"Asyik, thanks," kata Ima sambil menerima dengan antusias oleh-oleh dariku.
"Wah, kacang!" pekik Ima dengan girang.
"Hehe, makanlah!" kataku.
Ima mengangguk lalu mulai membuka bungkus toples kacang yang aku berikan untuknya.
Ima, nama lengkapnya Ima Queen. Selain sifat keibuannya, terkenal karena dianggap sebagai permaisuri dari Arif. Walau Ima sebenarnya belum menjawab apapun soal pernyataan sepihak Arif itu. Badannya sehat, tinggi, besar dan sedikit lebih lebar dari seharusnya. Saat ini sedang diet. Bukan karena merasa obesitas, tetapi kadar gula ditubuhnya berlebih dan keadaan itu sudah dianggap berbahaya bagi kesehatannya.
Ima sangat menyukai kacang. Jangankan satu toples, satu karung pun bisa dia habiskan sendirian. Karena itu, sengaja aku bawakan kacang agar dia senang. Teman yang berharga karena perhatian dan bisa diandalkan dalam berbagai hal. Contoh, titip minuman atau menemani makan. Haha, tidak! Ima itu baik hati, makanya banyak yang suka berteman dengannya.
"Weh, Rangga, ngapelin permaisuri orang,"
Teguran itu membuatku menoleh. Kaisar Arif is coming. Pemuda berkulit terlampau putih pucat bak vampire karena keseringan masuk keluar mobil berAC itu memasuki ruangan.
"Nyapa aja," sahutku. "Bukan tipe pemakan gebetan temen walau katanya gebetan teman lebih nikmat untuk ditikung,"
"Haha,"
Arif terbahak mendengar ucapanku.
"Bisa aja, Ga," katanya. "Udah lama datangnya?"
Aku mengeleng.
"Baru aja," bantahku.
"Oh, gitu," katanya lalu mulai menggoda Ima.
Aku tertawa geli melihat bagaimana Arif rajin sekali menggoda Ima. Entah apakah dia memang suka atau sebatas bercanda saja. Tidak ada yang bisa membaca pikiran Arif yang lebih sering absurd daripada jelasnya.
Arif Budiman, begitu nama panjangnya. Memiliki tinggi badan sekitar 170 cm yang setara dengan tinggi badanku. Ciri khas yang paling menonjol darinya selain memiliki hidung paling besar di antara kami adalah kekonyolannya.
Bagi kami, Arip adalah makhluk paling kocak yang pernah tercipta di dunia ini. Kalau foto bareng atau selfie, dia suka memasang wajah konyol. Dia bilang, orang ganteng itu bebas. Mau gaya apapun, pasti kece difoto.
Arif juga terkesan tidak pernah bisa serius. Dalam setiap kesempatan, selalu ada saja yang dia tertawakan. Bahkan meski itu bukan sesuatu yang lucu atau bahkan garing. Dia itu sudah mirip seperti kotak tertawa yang akan membuat orang di sekitarnya ikut tertawa. Karena itu, kalau ada Arif, kami banyak tertawa.
Selain humoris dan konyol, sifat menyenangkan Arif lainnya adalah dia suka sekali iseng dan jahil. Walau kebanyakan Ima adalah sasaran utamanya untuk berbuat iseng. Dia juga tipe pemalas terutama soal telpon-menelpon. Memesan minum saja, dia meminta tolong Ima atau teman yang lain. Paling susah bicara dengan orang luar, kata Arif dia takut diculik oleh orang luar yang ternyata alien yang menyamar. Daya imajinasinya, setingkat anak TK yang belum terkontaminasi kejamnya dunia. Tapi terlepas dari hal itu, dia teman yang baik dan menyenangkan.
"Nyam, nyam, nyam,"
Aku menoleh, menatap Arif yang sedang memakan kue cokelat. Arif menangkapku yang sedang memperhatikannya. Bukan berbagi atau setidaknya berpura-pura menawarkan, Arif tetap melanjutkan kunyahannya.
Oke, lupakan pendapatku tentangnya barusan. Aku berubah pikiran, kurasa dia kurang baik hati.
Arif kemudian beralih menatap Ima yang memelototi dirinya yang sedang makan. Dipelototi bukan karena Arif makan berdiri, tetapi karena tidak mau berbagi. Mungkin si Arif mau hidup sendiri. Padahal, dia shift sore saja berdua bersamaku sebentar lagi. Dasar tidak peka.
"Oh," seru Arif yang sepertinya mulai connect.
"Kak Ima mau ha?" tanyanya menawarkan.
"Ma-,"
"Nggak usahlah ya. Aku masih laper. Kalau berbagi tak cukup asupan kalori buatku," sambarnya memotong ucapan Ima yang belum selesai menjawab.
Ima mencebikkan bibirnya.
"Ayolah, Arif ih, bagi dikit ha," rengek Ima.
Arif menghela napas sebentar, sepertinya dia bimbang mau bagi atau tidak dengan Ima.
"Okelah," katanya yang membuatku menoleh kaget ke arahnya.
Arif itu jarang mau berbagi, suatu keajaiban dia mau berbagi. Jangankan berbagi makanan, berbagi perasaan sepertinya jarang. Mungkin itu sebabnya dia jomblo sampai sekarang. Walau kalau soal status jomblo, aku juga begitu.
Arif mulai menerawang kue cokelatnya, mungkin dia tengah meneliti sudut yang tepat untuk membagi kuenya. Aku mulai bergidik ngeri ketika Arif malah menjilati setiap permukaan kue cokelat itu. Setelah itu dia tersenyum ke arah Ima.
"Masih mau? Nih ha!" katanya sambil menyodorkan kue cokelat itu pada Ima.
Ima mendengus kasar.
"Tak lah! Makanlah Arif semua!" sahut Ima yang kemudian membuat Arif tertawa terbahak. Melihat Arif tertawa, entah kenapa aku juga ikut tertawa.
"Puas?" tanya Ima sebal.
Arif tidak menjawab, dia hanya meneruskan memakan kue cokelatnya.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Bang Kamil memasuki ruangan.
Sudah pulang, Bang?" tanya Ima.
"Iya, sudah waktunya kan?" jawab Kamil sembari menunjuk jam tangannya.
"Tuh, sudah kelar! Mulai kerjalah kamu, Ga, Rif," suruh Ima.
"Aih, belumlah. Si Vety aja masih sibuk kayaknya," sanggah Arif.
"Vety mah beda," sahut Kamil. "Suka bekerja hingga lupa waktu.”
Aku tertawa geli mendengar pernyataan Kamil. Bukan karena aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Tapi, kami semua tahu bahwa Kamil adalah seorang yang terlalu disiplin.
Kamil Riski, seorang lelaki yang selalu datang cepat dan pulang always on time. Seramai apapun bagian radiologi, kalau waktu shiftnya habis, Kamil akan keluar lima menit sebelum usai. Sudah begitu sejak awal bekerja. Paling senior dan berusia paling tua setelah bang Nopri, karenanya kami tidak bisa melakukan apapun.
"Yasudah, ayo ke Vety!" ajakku pada Arif yang baru selesai minum.
"Oke," sahut Arif lalu berjalan menyusulku yang sudah berjalan lebih dulu.
Tiba di ruangan, kami dapati Vety yang tengah menekuk muka. Dia pasti kesal karena ditinggal Kamil saat pekerjaan lagi ramai.
"Kenapa mukamu, Vet?" tanya Arif pura-pura tidak tahu.
"Serius nanya ha?" sindir Vety yang langsung disambut cekikikan Arif.
"Jangan marahlah! Mana blanko yang belum?" tanya Arif.
"Tuh!" jawab Vety sambil menunjuk tumpukan Blanko yang belum dikerjakan.
"Kami ambil alih," ucap Arif sambil menaik-turunkan alisnya untuk menggoda Vety.
"Iya lah, shiftmu sekarang!" sahut Vety lalu mulai melakukan operan padaku dan Arif. Setelah itu, Vety meninggalkan ruangan dengan girang.
Aku mengambil satu blanko lalu memanggil pasien yang akan segera dirontgen. Saat pasien masuk, aku sapa pasien itu dengan senyuman.
"Siang, Bu," sapaku.
Pasien wanita yang tampak sudah tidak muda lagi itu membalas senyumanku.
"Saya identifikasi dulu ya, Bu," izinku.
"Dengan ibu Sumiati?" tanyaku.
Pasien wanita itu mengangguk mengiyakan.
"Tanggal lahir 23 Maret 1968?" tanyaku sekali lagi.
Pasien wanita itu kembali mengangguk.
Setelah itu, kutanyakan alamatnya dan pasien itu menjawab benar.
"Oke, kita akan segera melakukan rontgen. Ibu tenang saja ya!" ucapku dengan ramah.
Pasien itu mengangguk. Identifikasi pasien adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan. Hal ini diperlukan agar kami, para radiografer tidak salah dalam memeriksa pasien. Karena kesalahan pasien adalah kesalahan fatal yang sangat merugikan dan berbahaya.
Sebelum melakukan pemeriksaan, selain identifikasi pasien, aku juga memeriksa perlengkapan yang kugunakan. Keselamatan pasien memang perlu diperhatikan tetapi keselamatan petugas juga harus diutamakan. Aku sempat melihat Arif yang juga sudah mulai melakukan tugasnya.
Di shift malam, memang hanya ada satu orang radiografer yang bertugas. Jam kerjanya juga lebih lama. Karena itu, setelah bertugas shift malam dua malam berturut-turut, radiografer akan mendapatkan libur selama dua hari. Sedangkan untuk shift pagi dan sore, ada dua orang radiografer. Kadang, kami bertugas bertiga dengan karu ( kepala ruangan ) yang ikut membantu jika pasien sedang membeludak atau jika kami merasa tidak bisa melakukan pekerjaan yang diberikan. Misal melakukan CT-scan sulit seperti CT-scan pada anak-anak atau CT-scan ekstremitas ( tulang ).
Goro, gotong-royong adalah suatu sikap yang sudah sejak dulu nenek moyang ajarkan. Jadi, rasanya munafik jika manusia merasa bisa hebat atas usahanya sendiri tanpa mendapatkan bantuan dari orang lain. Padahal, pepatah saja mengatakan bahwa di belakang lelaki yang hebat, ada seorang wanita yang kuat.
Mama adalah wanita kuat di belakangku. Sedangkan untuk wanita masa depan ( calon istri ) belum kelihatan. Namun, seiring waktu, aku yakin bisa menemukannya. Bagiku sekarang, menjalin pertemanan adalah yang utama. Walau tidak bisa membuat semua orang menyukai kita, setidaknya kita bisa berusaha untuk selalu bersikap baik.
Cz we know well, if we are all the bad person in someone's mind. Even we want't, it's the fact that must we accept.