Selepas menceritakan semuanya pada Dokter Johnson, Wira sedikit banyak merasa lega meski sesak yang dirasakan tetaplah ada, dan dalam suatu keadaan bisa menjadi-jadi.
Dia sangat bersyukur. Di saat semua orang bergerak menjauh pergi, masih ada satu atau salah dua orang yang mau merengkuh bahunya.
Wira sadar, dia tidak bisa bergantung pada siapapun kecuali pada Tuhan. Karena dia tahu, bergantung pada hamba-Nya, hanya akan berakhir kecewa yang menyakitkan. Maka, saat sampai parkiran dia dipertemukan kembali dengan Aris dan Sabrina yang berjalan berdampingan, Wira merasa lebih baik jatuh pingsan saja.
Oh ayolah, dia move on saja belum kepikiran. Bagaimana bisa dia diperlihatkan adegan semacam ini? Belum lagi yang di ruangan tadi.
Andai saja ini mimpi, tapi sayangnya ini kenyataan. Mau tak mau, Wira harus menyaksikan semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan, saking baiknya, Wira tidak berpikir sebelumnya kalau kedua orang di depannya ini sedang berselingkuh.
“Hi Wir, habis ketemu Dokter Johnson, ya?”
Sial, Aris bisa-bisanya masih menyapa. Sudah tahu Wira melipir supaya tidak terlihat dan tidak saling bertegur sapa seperti ini. Sialan memang. Jadi, karena sudah terlanjur disapa, mau tak mau, Wira jadi berhenti dan menyapa balik temannya itu.
“Hm,” gumamnya tak minat. “Sabrina pucat, sakit, Sab?” tanyanya yang kalah ditujukan pada Sabrina.
Sabrina yang disapa hanya tersenyum seadanya. Dan tunggu lagi, tangannya merengkuh lengan Aris. What the hell? Wira tidak salah lihat, kan? Mereka, benar tidak berkhianat, kan? Kalau memang iya, Wira akan mundur perlahan. Dia cukup sadar diri untuk tidak mengganggu. Meski, keinginan untuk menghajar Aris itu ada dan sama besarnya dengan keinginan untuk merebut kembali Sabrina dalam pelukannya.
“Gue duluan,” pamit Wira kemudian. Perasaannya tidak nyaman saat berdiri berlama-lama dengan mereka. Kalau dulu Aris yang jadi pihak ketiga yang hanya teman, sekarang malah mau menggeser posisi utama.
Karena tak tahu harus pergi ke mana--setelah sedari tadi muter-muter di jalan seperti orang kurang kerjaan--Wira memutuskan untuk menepikan mobilnya di pinggir jalan dan duduk di kursi taman yang tak terlalu ramai.
Di sana, Wira benar-benar duduk, sesekali merenung seperti yang diminta oleh Dokter Jonson. Apa yang salah dengan dirinya? Apa yang tidak dia sadari selama ini hingga semua orang menghilang dari kehidupannya begitu saja.
Wira memaksa otaknya untuk mengingat semua yang sudah terlewatkan. Belum juga pikirannya tertata, ada tamu tak diundang datang. Ada perempuan tinggi semampai langsung duduk di samping Wira tanpa izin, tanpa dipersilakan pula.
“Mas! Mas, lagi patah hati, ya?”
Demi bumi yang sedang Wira pijak sekarang, dia baru tahu ada perempuan sebar-bar ini yang hidup di dunia. Lalu kenapa dari banyaknya pria, malah dia yang dihampiri? Terlihat jelas sekali kalau dirinya sedang patah hati? Sialan sialan sialan. Nasib kok begitu amat.
Wira tidak sengaja menoleh untuk menatap orang yang mengajaknya bicara ini. Dia segera memalingkan wajahnya kembali dan tersenyum masam tanpa mau menjawab. Lagi pula, Wira tidak seramah itu pada orang asing. Apalagi dengan perempuan yang tiba-tiba duduk di sampingnya seperti sekarang. Bahkan, dalam pikirannya sekalipun, dia berpikir kalau perempuan yang ada di sampingnya ini tipe perempuan yang tidak benar.
Perempuan yang diabaikan ini tidak sakit hati. Yang ada, dia malah mengajak Wira berbicara kembali, “saya dulu dituduh berkhianat, Mas. Dan saat dia menyesal, saya lebih dulu pergi. Jadi, saya masih membencinya sampai sekarang.” ceritanya mendadak sendu, sambil meratapi langit yang tidak cerah sama sekali.
Wira masih tidak tertarik dengan pembicaraan yang perempuan ini bawakan. Dia hanya lelah, makanya istirahat di sana. Sialnya, hidupnya memang diperuntukkan untuk tidak tenang.
“Kekasih Mas, mungkin tidak pernah merasa puas dengan memiliki pria seperti, Mas. Tapi percayalah, dia adalah perempuan bodoh karena meninggalkan Mas demi lelaki lain yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan, Mas.”
Baru saja perempuan itu bangkit ingin pergi, Wira menahannya dengan sebuah pertanyaan sederhana. “Tunggu dulu! Bagaimana Mbak bisa tahu masalah saya? Kita belum pernah bertemu sebelumnya."
Senyuman manis itu, Wira bisa melihatnya. Namun tetap saja cantik Sabrina di mata Wira. Iya, semua perempuan itu cantik, tapi Sabrina yang lebih cantik dari siapapun kalau Wira yang memandang. Entah saking cintanya atau gobloknya.
“Saya bisa membaca pikiran orang,” kata perempuan itu masih sambil tersenyum tulus, sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkan Wira seorang diri seperti yang lalu-lalu. Wira menarik napas panjang, memejamkan matanya untuk mengusir sesak yang tiba-tiba saja melingkupi dadanya.
Entah bagaimana bisa dia tenang kalau terus kepikiran perihal Aris dan Sabrina yang malah terang-terangan pergi di depan matanya sendiri.
Sebenarnya, Wira bisa marah dengan Aris, menghajarnya sampai babak belur juga bisa. Namun, Wira sadar diri. Haknya apa? Posisinya sebagai apa? Tidak ada gunanya juga memaksa seseorang yang kenyataannya tidak ingin melanjutkan hubungan dengannya. Daripada bahagia, malah derita yang ada.
Namun, Wira tidak pernah merasa tersiksa bersama Sabrina selama ini. Yang ada, perempuan itu selalu mengerti dirinya. Wira juga berusaha menjadi lebih baik, bukan yang terbaik apalagi menjadi yang sempurna. Karena Wira tahu, kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Jadi, apakah Sabrina merasa tersiksa berhubung dengannya selama ini? Baiklah, setelah ini Wira akan mencari tahu sendiri. Mungkin, Sabrina tidak akan menjawab jika ia tanyai secara langsung. Perempuan itu bukanlah orang yang suka mengumbar aib orang lain.
Kalaupun Sabrina dan Aris benar-benar berhubungan, setidaknya mereka berhubungan setelah Sabrina berakhir dengan Wira. Ya walaupun tetap saja, pemikiran buruk akan perselingkuhan itu tetap ada. Tidak mungkin belum ada satu bulan hubungannya berakhir, sudah mendapat tambatan baru lagi.
***
Here we go again, kembali dengan hari Senin yang super duper hectic. Kemarin-kemarin, Aris mungkin masih terlihat biasa saja dengan Wira. Dia juga mengajak bicara dan makan siang bersama. Tapi hari ini, setelah dengan mata kepalanya sendiri Wira melihat Aris pergi bersama Sabrina dan sekarang mereka terang-terangan pergi lagi, pemikiran buruk langsung memenuhi otak Wira.
Oh ayolah, mereka baru saja berpisah setelah menjalin hubungan selama lima tahun. Ini lima tahun ya, bukan lima bulan, apalagi lima hari. Tapi kenapa begitu mudah Sabrina berpaling? Hanya sebatas itukah perasaannya pada Wira?
Bohong kalau Wira bilang dirinya baik-baik saja. Dia merasa kalau dunia sedang menertawakannya begitu kencang.
Kekasih, sahabat, teman-teman, semuanya seolah pergi meninggalkannya. Dan sekarang, Wira hanya punya dirinya sendiri. Diri sendiri yang mana, bisa saja diambil Tuhan kapan saja. Tidak ada yang pernah benar-benar memiliki dirinya sendiri.
Wira balik badan, tak berniat mencari gara-gara. Rasa rendah entah sejak kapan mulai bercokol di benaknya. Dulu, dia selalu masa bodoh. Tapi sekarang, dia tidak tahu harus melakukan apa selain menjauh dari keramaian. Dunianya seperti berakhir tapi terus berjalan. Wira tidak tahu harus mendeskripsikan semua ini seperti apa. Rasanya kosong, aneh, semuanya pergi.
Baru saja Wira menatap depan datar, rautnya berubah kaget melihat ada perempuan sama seperti kemarin, yang menghampirinya waktu duduk di kursi taman seorang diri.
“Hi, Mas?”
Wira menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak mau terlalu percaya diri. Pasalnya, kan, mereka memang belum saling mengenal.
Karena tak mendapati siapa-siapa di sekitarnya, hanya beberapa karyawan yang berlalu-lalang karena masih pagi, jadilah Wira menatap perempuan itu sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kamu nyapa, saya?” tanyanya d***o.
Perempuan yang belum diketahui namanya ini mengangguk bersemangat, kemudian berjalan mendekat ke arah Wira. “Hai Mas, aku kerja di sini juga.” katanya ceria, memberi tahu kabar yang menurutnya penting tapi tidak penting sama sekali bagi Wira.
Wira yang agak kikuk merasa tak nyaman sendiri. Pasalnya, dia belum pernah melihat perempuan ini sebelumnya. Iya memang, dia tidak mengenal semua karyawan di perusahaan ini, tapi aneh saja ada yang berani terang-terangan menyapanya kembali setelah semua orang memilih menghindar darinya. Wira bahkan tidak tahu salahnya dimana, tapi dia tetap dijauhi sampai sekarang. Kan, setiap pagi dia mendadak sedih. Padahal, kan, seharusnya tidak begini.
Sedih memang hal yang wajar. Tapi kalau terus-terusan, itu yang tidak wajar. Wira bisa gila kalau seperti ini terus-menerus.
“Saya ke ruangan dulu.” Pamit Wira langsung pergi begitu saja. Dan perempuan yang ditinggalkan ini hanya berlalu pergi, tak merasa terganggu sama sekali. Yang ada, malah senyuman terbit di wajahnya yang jelita.
***
Baiklah menurut Dokter Jonson, Wira harus merenung, mencoba mengingat-ingat apa-apa saja yang sudah dia lalui sampai membutuhkan obat-obatan untuk bisa tertidur nyenyak. Atau, harus menemui Dokter Jonson agar merasa lega.
Dia sudah merenung semalam suntuk. Dan jika diingat-ingat, semula dirawal dari sana. Saat dirinya terbangun setelah koma. Lebih tepatnya, tiga tahun yang lalu, kecelakaan di proyek, ketika tubuhnya yang tinggi besar jadi tidak berdaya tatkala tertimpa reruntuhan bangunan.
Wira masih tidak paham. Apa salahnya dia masih hidup? Masalahnya, Sabrina dan beberapa orang pernah bercerita kalau Wira hampir tak tertolong saat itu. Beruntung, dia masih hidup. Nyatanya, dia masih bernapas sampai sekarang. Masih sehat walafiat tanpa kekurangan suatu apapun pula.
Mengingat dulu orang-orang mendoakannya supaya selamat. Sekarang, dia malah dijauhi layaknya orang yang tidak pantas menginjak dunia ini. Wira itu tipe orang yang bodoh amat. Namun sekarang, dia jadi agak over thinking dalam berbagai hal.
Sekarang saja, Wira tidak tahu harus berbicara pada siapa. Seolah-olah, semua orang sengaja menghindarinya. Baru saja otak Wira traveling ke mana-mana. Tubuhnya dikejutkan dengan kehadiran perempuan itu lagi.
“Kamu? Kamu ngapain ke sini?” tanyanya terkejut. Pasalnya, perempuan itu menghampirinya lagi. Mohon maaf, bukan sok penting ya, tapi itu ruangan Wira. Kalau dia ke sana, berarti memang sengaja ingin menemui Wira, tidak mungkin mau menemui orang lain, bukan?
“Ini sudah jam makan siang. Mas tidak makan siang. Saya bersedia menemani kalau Mas tidak ada teman untuk diajak makan bersama."
“What?” Wira memekik tanpa sadar. Detik berikutnya, dia menelan ludah susah payah. Agak kebingungan sebenarnya. Masalahnya, Wira baru tahu perempuan ini kemarin-kemarin dan tiba-tiba malah menawarkan diri untuk makan siang bersama. Dari semua orang yang menjauhinya, kenapa hanya perempuan aneh ini yang tidak takut dekat-dekat dengannya?
Masalahnya, bukan apa-apa. Kalau dia anak Stain, harusnya tahu kalau Wira sudah diblacklist dari daftar orang-orang yang dikagumi banyak sempurna di sini. "Sebelumnya, maaf. Saya tidak mengenal kamu dan saya tidak seluang itu untuk makan siang bersama. Anda bisa keluar dari ruangan saya."
Wira kira, dengan mengatakan itu semua akan membuat perempuan itu tersinggung dan berlalu pergi. Namun nyatanya salah. Perempuan itu yang tadinya berdiri di ambang pintu, malah langsung masuk lebih dalam dan berhenti tepat di depan meja Wira.
“Saya tahu, Mas, sendirian. Karena itu saya di sini ingin menemani Mas Wira.”
Tak habis pikir mendengar pernyataan seperti itu, Wira meraup wajahnya gusar. Lantas, dia melihat ke arah perempuan itu sekali lagi. "Begini ya, Mbak. Saya sibuk, jadi tolong jangan ganggu saya.”
“Ya kalau begitu, saya menemani Mas di sini saja. Tidak apa-apa, kan? Saya akan terus berdiri kalau Mas tidak mempersilahkan saya duduk.”
“Kamu—”
“Saya Melati,” potong perempuan itu terlebih dahulu. “Sekar Melati.” lanjutnya sambil mengulurkan tangan, tanda mengajak berkenalan.
Wira sampai mengembuskan napas lelah, tak mau menyambut uluran tangan tersebut. Tidak habis pikir dengan orang di depannya ini. “Mbak bisa keluar dari ruangan saya. Saya sedang tidak ingin diganggu.” Wira mencoba sabar meski sudah kesal setengah mati. Walau sudah mengatakan itu semua dengan nada dingin, ditambah dengan raut yang jelas terlihat tidak suka.
Bukannya takut atau apa, perempuan ini malah tersenyum. Sengaja menampilkan senyuman termanisnya. “Mas jangan jual mahal. Mas sudah tidak punya teman, tahu. Jadi, berteman saja dengan saya.” katanya telak.
Wira menelan ludah kembali, dia menatap perempuan di depannya ini tidak percaya. Maksudnya, siapa dia sampai mengatakan hal sesensetif itu? Sabrina dan Aris saja tidak pernah membahas hal se-deep ini.
Oh ayolah, Wira juga tahu dia sudah dijauhi semua orang. Aris yang notabennya saja sahabatnya sendiri tidak pernah berkata seperti itu. Sabrina apa lagi, perempuan itu selalu berusaha untuk meringankan beban Wira, bukan menambah-nambahkan. Lalu sekarang, perempuan asing yang tiba-tiba datang dan memperkenalkan diri lebih dulu begitu beraninya berkata seperti itu pada seorang Hikayat Prawira. Apa-apaan?
Sebenarnya, Wira tidak akan melakukan apa-apa juga. Namun, dia risih kalau diganggu seperti ini terus-menerus. Kalau bicara soal cantik, perempuan ini juga cantik. Namun masalahnya, Wira tidak terlalu suka bergaul dengan orang baru.
Baiklah, sejak dulu Wira paham betul apa itu namanya adaptasi. Dia memang dituntut untuk adaktif sedari dulu. Namun, bukan seperti ini yang dia inginkan. Bukan dengan perempuan lain.
“Maaf, ya, Mbak. Saya tidak punya waktu untuk bercanda. Lebih baik Mbak pergi dari ruangan saya sekarang juga atau saya laporkan karena sudah menganggu kenyamanan saya saat berkerja?”
Kali ini, perempuan itu nampak muram dan langsung pergi. Melihat itu, Wira hanya mengembuskan napas pelan. Dia tidak bermaksud menyakiti hati. Tapi kalau lawan bicaranya merasa disakiti, Wira bisa apa? Dia juga tidak peduli. Toh, imagenya juga sudah setengah buruk—ralat salah, sudah buruk, sangat buruk malah.
Daripada memikirkan hal yang tak penting macam itu, Wira kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Dia menatap aplikasi dalam PC sebelum akhirnya melakukan eksekusi. Menghapus ataupun menambahi ruang yang dalam perhitungan pas sesuai kebutuhan dan pasti jelas fungsinya.
Tentu saja setiap ruang yang diciptakan memiliki fungsi sendiri-sendiri. Jalan setapak saja sangat berguna bagi ruang yang sempit dan butuh jalan untuk keluar masuk.
Dan entah pada detik ke berapa, Wira diam saat mengingat Sabrina. Biasanya, daripada kebaikan, kejelekan seseorang lebih mudah untuk diumbar. Lalu sekarang, saat hati kecil Wira mengajukan protes tidak terima dengan semua yang terjadi, dia tetap tidak bisa memunculkan apapun kejelekan Sabrina. Karena sedari dulu, perempuan itu tanpa cela. Dia begitu baik, memesona dan bisa menerima Wira apa adanya.
Pria itu menggeleng saat kembali berpikir yang tidak-tidak. Dia tadi baru saja berpikir m***m sedang berciuman dengan Sabrina. Haduh, kalau Wira tidak kuat iman, Sabrina pasti sudah diapa-apakan sedari dulu.
Lalu pertanyaannya, apa isi kepala kebanyakan pria selalu seperti itu? Hal-hal m***m? Tentang seks, ciuman dan lain sebangsanya? Baiklah, tidak baik menghakimi secara sepihak. Ya kalau tidak m***m, tidak akan ada kelahiran. Yang ada, dunia yang indah ini tidak ada penghuninya. Dan jangan tanya, bagaimana setann beranak karena Wira tidak percaya dengan mereka sebelum mengalami atau melihatnya langsung.
Kembali fokus, Wira jadi menyelesaikan tata ruang dalam satu desain interior sebuah apartemen type studio. Kalau apartemen Wira sendiri tipenya 2B yang berarti memiliki dua kamar tidur. Kamar itu pula yang biasa Sabrina gunakan saat menginap, ataupun sebaliknya karena Sabrina memiliki apartemen yang sama dengan Wira, hanya saja beda distrik.
Jujur saja. Kalau begini terus-menerus, kerjaan Wira jadi tidak beres kalau sedikit-sedikit berhenti sambil berpikir yang tidak-tidak. Alhasil, di jam yang memang sudah jam istirahat ini, Wira memainkan ponselnya. Keningnya lantas menyerngit kebingungan ketika mendapati pesan dari nomor asing.
From : Private number
‘Mas Wira, ini Melati. Di save ya?’
Malangnya, Wira tidak sengaja membuka pesan itu, jadilah dia mengutuk dirinya sendiri. Pasti perempuan itu langsung kegirangan kalau pesanannya di baca.
“Ini perempuan ngapain, sih? Dapet nomer gue dari mana coba?”
Detik berikutnya, ada pesan masuk lagi.
‘Tadi saya tanya sama temen, Mas.’
Wira mendelik melihat pesan itu. Kemudian celingukan mencari seseorang di sekitarnya. Pasalnya, dia kira perempuan itu datang lagi dan mendengar cibirannya. Karena itu dia bisa mengirim pesan bertuliskan jawabannya.
Namun nihil. Wira tidak menemukan siapa-siapa. Dia sendirian di ruang gambar itu.
Apa dia bisa baca pikiran, ya? Wira hanya membatin, dan ajaibnya lagi ada balasan dari seberang sana.
‘Iya, saya bisa baca pikiran. Mau saya ajari, Mas’
Rasanya, rahang Wira jatuh sampai ke dasar-dasar. Mana ada orang yang bisa baca pikiran orang lain betulan selain Edward Cullen?
Edward? Edward vampir! Duh, sepertinya, Wira sedang latihan menjadi orang gila.