Kini Jessica dan Brendan telah duduk saling berhadapan, dipisahkan oleh meja bundar yang diatasnya telah dihidangkan menu makan malam yang dimasak sendiri oleh Jessica.
"Jessy, kamu memasak dan mempersiapkan semua ini sendiri?" tanya Brendan dengan tatapan kagum sekaligus bangga memandang wajah cantik istrinya yang begitu sempurna sebagai sosok seorang istri. Wanita itu memang sangat luar biasa karena mampu mempersiapkan semua ini di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter.
"Iya, Brendy. Aku masak semua ini spesial untuk kamu. Semoga kamu menyukai masakan aku ini ya, karena sepertinya kamu sudah lama banget kan nggak makan masakan aku," jawab Jessica sembari menyodorkan garpu serta pisau kecil untuk Brendan memotong steak yang berada di hadapannya.
"Memangnya pernah aku nggak suka masakan yang kamu masak? Selama 5 tahun ini aku selalu suka masakan apa pun yang kamu buat, apa kamu melupakan itu karena terlalu sibuk mengobati pasien-pasien yang sakit, sayang?" jelas Brendan seraya mengulas senyumannya yang begitu manis.
"Nggak pernah sih sebenarnya, tapi ini kan menu baru yang pertama kali aku masak. Jadi semoga cocok di lidah kamu ya."
"Aku cobain ya." Brendan segera memotong steak miliknya dan memasukkan potongan pertama ke dalam mulutnya. Sejak pertama kali mendarat di lidah, Brendan dapat merasakan ciri khas masakan istrinya yang tidak pernah berubah. Masakan yang selalu ia rindukan jika tidak berada di rumah.
"Humm, ini sih enak banget sayang. Ini adalah steak pertama paling enak yang pernah aku makan. Kamu pintar banget sih sayang, kamu dapat resep ini dari mana? Sumpah deh ini enak banget," puji Brendan yang kecanduan untuk terus memasukkan potongan demi potongan steak dan mengunyahnya.
Jessica sangat bahagia dan ia tidak dapat menutupi rasa bahagia itu tatkala sang suami selalu memujinya. Brendan memang selalu tahu caranya bersikap untuk membuat Jessica merasa bahagia, yaitu dengan menghargai apa pun yang ia masak dan segala usahanya untuk Brendan.
"Makasih ya sayang, Aku suka deh kalau kamu menyukai masakanku. Aku coba resep ini dari Mommy, katanya kamu pasti akan menyukai steak resep darinya. Kalau besok-besok kamu mau makan steak ini lagi, kamu tinggal bilang sama aku ya nanti aku masakin buat kamu."
Entah mengapa malam ini obrolan keduanya begitu terdengar hangat, bahkan hubungan Jessica dan Brendan kini terlihat baik-baik saja dan begitu sangat dekat. Padahal selama beberapa bulan terakhir ini hubungan keduanya sudah tidak seharmonis ini lagi, bahkan pemandangan malam ini yang tercipta sudah lama tidak mereka rasakan.
Ya, sejak enam bulan terakhir ini Jessica selalu mengatakan ini berpisah dengan Brendan, alasannya karena ia tidak sanggup lagi berjuang untuk mempertahankan cinta seorang diri, sementara Brendan tidak pernah memiliki waktu sebentar saja untuk Jessica. Bahkan untuk bicara seperti malam ini, Brendan hampir tidak memiliki waktu. Seluruh waktunya pria itu habiskan untuk bekerja, mengamankan kota Los Angeles dari berbagai macam kejahatan dan tindak kriminal.
Bukan hanya itu saja alasannya, Brendan bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang layak untuk Jessica dan masa depannya, karena perusahaan keluarga yang ia pimpin setelah lulus kuliah hancur dan gulung tikar akibat kecurangan yang dilakukan oleh beberapa orang kepercayaannya.
Maka dari itu Brendan bertekad untuk mewujudkan keinginan terakhir ayahnya yang sangat menginginkan Brendan untuk melanjutkan perjuangannya dengan menjadi pasukan SWAT.
Walau sejak awal Jessica merasa keberatan untuk memberi izin pria itu menjadi pasukan SWAT karena nyawa Brenda terancam setiap kali melakukan pekerjaannya di luar rumah, tapi Brendan tetap nekat walaupun Jessica begitu khawatir dan merasa keberatan.
"Jessy, karena tugas aku sudah selesai, bagaimana kalau besok kita pergi berlibur. Kamu ingin liburan ke mana?" tanya Brendan membuka obrolan untuk mewarnai dinner romantis mereka berdua.
"Maksudnya tugas kamu selesai, kamu sudah resign?" tanya Jessica yang hampir merasa bahagia.
"Tidak. Bukan itu maksudku, Jessy. Tugasku kemarin untuk menangkap sekelompok perampok kelas kakap sudah selesai. Tuan Barney, atasanku sudah memberiku izin untuk berlibur selama beberapa hari ke depan karena akhirnya aku dan timku berhasil menyelesaikan tugas kemarin dengan baik."
Kebahagiaan Jessica seketika sirna mendengar jawaban suaminya, membuat wanita itu tidak lagi berani untuk terlalu banyak berharap.
"Oh, selamat ya Brendy. Aku bangga padamu, karena lagi dan lagi kamu berhasil menyelesaikan tugas dengan selamat, hanya itu harapanku selama ini," jawab Jessica sembari mengangkat kedua alisnya.
"Terima kasih Jessy. Aku pasti akan selalu selamat jika kamu menginginkannya. Terima kasih karena selama ini kamu selalu mendoakan keselamatan untukku. Maaf jika sampai saat ini aku masih belum bisa mengabulkan permintaanmu untuk segera resign dari pekerjaanku karena aku masih mencari waktu yang pas. Aku sudah memikirkan itu sejak lama, aku ingin selalu ada di saat kamu membutuhkanku, aku ingin hubungan kita baik-baik saja sampai akhir hayat nanti, dan tidak ada lagi ribut-ribut hanya karena tentang pekerjaanku yang selalu menyita waktu untuk kita bersama."
"Aku berharap semoga kamu secepatnya memutuskan yang terbaik untuk hubungan kita karena sejujurnya aku pun lelah jika terus menerus ribut hanya karena masalah waktu. Waktu yang tidak pernah kamu berikan untukku, karena seluruh waktumu habis terkuras untuk bekerja. Kamu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan kan, Brendy? Apa kamu lebih nyaman seperti ini, berjauhan denganku dan terus sibuk bekerja." Jessica bertanya dengan raut sedih yang tidak dapat ditutupi. Bahkan karena pembahasan soal waktu Brendan membuat Jessica malah kehilangan semangatnya dan hilang selera makan, hingga wanita itu menjatuhkan pisau dan garpu yang semula berada dalam genggamannya.
Brendan hanya mampu menunduk lemah setiap kali membahas soal ini, karena ini bukan kali pertamanya Jessica menyinggung soal pekerjaannya. Dan Brendan bingung harus menjawab apa lagi karena memang pekerjaan ini mungkin membuat Brendan hampir tidak pernah memiliki waktu untuk Jessica, tetapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia merasa nyaman dengan pekerjaannya karena dapat memberantas kejahatan dan melindungi banyak orang.
"Entah sampai kapan aku dan Jessica akan terus berselisih paham hanya karena pekerjaanku. Dia selalu saja tidak mau mengerti dan memintaku cepat-cepat untuk segera meninggalkan tugasku sebagai anggota SWAT. Ya Tuhan, aku lelah terus berdebat dengan permasalahan yang sama. Kapan Jessica akan mengerti tentang aku?" batin Brendan yang merasa hampir putus asa dengan pemikiran sang istri yang tidak pernah mau mengerti.
Brendan coba memberanikan diri untuk kembali mengangkat kepalanya dan menatap wajah sang istri lekat-lekat. Ia ingin mencoba mengutarakan isi hatinya dan meluruskan kesalahpahaman ini agar Jessica mau mengerti sedikit saja.
"Jessy, apa hanya dengan cara itu kamu akan mengerti?" tanya Brendan dengan perlahan dan bernada lembut.
"Apa permintaanku terlalu memberatkanmu?" Jessica malah membalikkan kembali pertanyaan itu pada Brendan.
"Kalau boleh jujur iya, permintaan kamu itu sangat memberatkan aku. Aku sangat merasa nyaman dengan pekerjaan yang sampai saat ini masih aku jalani, bahkan aku merasa jiwaku ada di sini. Aku senang bisa membantu banyak orang, memberantas kejahatan, dan menegakkan keadilan. Apa kamu tidak mau mengerti sedikit saja tentang pekerjaanku? Aku sangat bermimpi kamu mendukung pekerjaanku yang halal ini, tapi ternyata sampai saat ini kamu masih berat untuk menerimaku dengan segala yang ada pada diriku."
"Kalau aku saja bisa mengerti kamu selama lima tahun ini, lalu kapan kamu akan mengerti tentang aku sedikit saja? Kamu pikir aku bahagia menjalani pernikahan ini? Kamu pikir aku bangga punya suami yang sibuk bekerja di luar rumah dan jarang punya waktu untuk istrinya? Kamu pikir aku tidak tertekan dengan perkataan orang-orang yang mengatakan aku mandul karena tak kunjung hamil setelah selama ini menikah denganmu?" Jessica bertanya dengan suara yang bergetar menandakan ia sangat terpukul menjalin pernikahan bersama Brendan.
Luruh sudah air mata Brendan yang tak kuasa menahan sakit hatinya mendengar ucapan Jessica. Hatinya begitu teriris perih mendengar wanita itu tidak bahagia menjalani pernikahan ini. Pria itu sudah mencoba menahan air matanya dengan sekuat tenaga agar tidak terjatuh, tapi usahanya percuma karena kesedihan itu tidak dapat terbendung lagi.
"Apa sih susahnya kamu tinggal menceraikan aku, Brendy, agar tidak ada lagi yang tersakiti di antara kita. Kamu bisa bebas dengan pilihan hidupmu sendiri, dan aku juga bisa menjalani kehidupanku sendiri tanpa kamu dan tidak perlu lagi menggantungkan harapan yang begitu besar sama kamu! Apa sih susahnya, Brendy?!" tanya Jessica yang juga merasa sakit hati melihat tangisan Brendan yang jatuh terurai di hadapannya, dan terjatuh karenanya.
Jessica terpaksa tega mengatakan semua itu dan kembali meminta hal yang begitu menyakitkan untuk Brendan dengar. Namun, ia tak memiliki pilihan lain, selain mengakhiri pernikahan ini untuk kebahagiaan bersama.
"Harus berapa kali aku menjawab pertanyaanmu agar kamu mengerti, Jessy?" tanya Brendan dengan hati yang terluka.
Hanya di hadapan Jessica dan karena Jesicca Brendan menjadi pria lemah hingga sering menangis, seakan tak memiliki iman. Jika di luar rumah Brendan bagaikan seorang pria berhati dingin yang tidak mudah diluluhkkan oleh siapapun, ia selalu kuat melawan para penjahat dan tidak pernah lelah seakan memiliki banyak tenaga. Tapi kali ini, pria itu terlihat sangat rapuh dan mudah hancur.
"Aku akan berhenti bertanya seperti itu jika kamu mengabulkan permintaanku untuk kita bercerai. Setelah itu urusan kita selesai, Brendy. Kamu tidak perlu lagi mendengar pertanyaan itu berulang kali terlontar dari mulutku."
"Apakah masalah seperti ini harus selalu dibahas di saat kita sedang bersama, Jessy? Apakah tidak ada topik yang lainnya untuk kita bahas, misalnya rencana liburan kita atau rencana kita untuk memiliki seorang anak? Lebih baik kita fokus membicarakan tentang program kehamilanmu ya, sayang." Brendan coba mengalihkan pembicaraan Jessica yang terus menjurus ke arah perpisahan.
"Kamu enggak kasihan sama aku ya, Brendy, sampai kamu terus menggantung hubungan kita seperti ini? Lagian percuma kita bahas soal program hamil jika kamu sendiri tidak memiliki waktu untuk itu karena seluruh waktu kamu adalah milik pekerjaanmu, jadi semuanya percuma dan aku tidak akan pernah hamil jika harus berjuang sendirian!" Jessica menunjukkan ketidakmampuannya untuk terus bertahan dengan sosok Brendan yang begitu mencintainya dan selalu ingin mempertahankannya dengan seluruh jiwa.
"Apa kamu juga pernah mikir kasihan sama aku? Memangnya kamu punya siapa sih di luar sana tanpa sepengetahuanku sampai kamu bersikeras untuk bisa berpisah denganku? Apa kamu sudah punya pria idaman lain? Kalau memang pria itu lebih baik dari aku dan menjamin untuk membahagiakan kamu hari ini, besok dan selamanya, aku akan mengabulkan permintaanmu untuk kita berpisah, asalkan aku tahu siapa pria yang sudah berani mencuri hati istri dari pria lain! Apakah pria itu juga dokter dan bekerja di rumah sakit yang sama sepertimu?" tanya Brendan dengan bibir yang bergetar hebat karena harus mengatakan hal yang sangat berat untuk diucapkan.
Jessica menggelengkan kepalanya dengan tegas, ia tak habis pikir mengapa Brendan bisa berpikir serendah itu tentangnya.
"Kamu gila ya, Brendy? Aku nggak pernah punya pria lain di luar sana! Walau kamu sering meninggalkan aku di sini sendiri dan membuatku kesepian, tapi aku tidak pernah berani untuk berkhianat di belakangmu. Aku keras untuk berpisah denganmu karena aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istrimu dan harus dituntut untuk selalu sabar, seperti aku ini tidak memiliki hak untuk menyuarakan keinginanku! Cukup ya Brendy, aku benar-benar lelah sama kamu. Percuma aku menyiapkan semua ini untuk merayakan anniversary pernikahan kita. Semuanya percuma karena kita udah nggak searah lagi, kita tuh beda jalan dan nggak akan bisa untuk dipaksakan terus bersama!"
Jessica pun mulai bangkit dari posisi duduknya, wanita itu beranjak pergi meninggalkan area kolam renang tempat ia menyiapkan acara anniversary sederhana di rumah mereka berdua. Namun, acara itu berakhir dengan perdebatan karena lagi-lagi mereka kembali bersitegang setelah menyinggung soal perpisahan yang Jessica inginkan.
Brendan pun segera bangkit dan menyusul langkah istrinya yang pergi dengan tergesa.
"Jess, tunggu aku, Jessy! Kenapa kamu selalu pergi di saat pembahasan kita belum selesai? Ayo kita bicarakan masalah ini dengan baik-baik agar tidak ada lagi pembahasan ini di kemudian hari. Aku ingin pernikahan kita damai, Jess, tidak ada lagi keributan, perdebatan seperti ini atau hal-hal lain yang dapat membebani pikiran kita berdua. Ayolah Jess, kita selesaikan ini." Brendan terus melontarkan perkataannya dengan setengah berteriak agar Jessica mendengar dan segera menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk untuk membicarakan masalah ini bersama-sama.
Namun, Jessica tidak ada niatan sedikitpun untuk berhenti melangkah. Ia terus melanjutkan langkahnya menuju kamar dan mengambil kunci mobil.
"Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi, Brendy. Keputusanku untuk berpisah denganmu sudah bulat, aku ingin kita pisah!" jawab Jessica dengan suara yang tidak kalah lantang dari suara suaminya.
Brendan dapat melihat Jessica yang kini tengah mengganti pakaiannya. Mengganti gaun yang dikenakannya dengan pakaian kerjanya sebagai seorang dokter.
"Nggak Jessy, sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menceraikan kamu apa pun yang terjadi. Aku akan mempertahankan kamu menjadi istriku sampai aku mati. Kalau kamu memang benar ingin berpisah denganku, teruslah berdoa dan meminta pada Tuhan agar aku lekas mati supaya keinginanmu akan segera terkabul."
Seketika Jessica berhenti bergerak, ia terpaku di posisinya. Di depan cermin dengan mata yang berkaca-kaca. Hati wanita itu begitu sakit dan teriris mendengar perkataan pria yang sebenarnya masih begitu ia cintai, namun entah mengapa hatinya begitu egois dan tidak mau menerima alasan apa pun terkait pekerjaan suaminya yang sejak awal menikah sudah ia ketahui.
"Bukan itu yang aku inginkan, Brendy. Aku hanya ingin kamu mundur dari pekerjaan yang selama ini selalu membuatku merasa cemas. Kamu tidak akan pernah mengerti begitu ketakutannya aku setiap membiarkan kamu pergi bertugas. Aku takut kamu kenapa-kenapa, aku takut kamu gugur. Aku sangat takut kehilangan kamu untuk selama-lamanya, Brendy, karena semua orang tahu bagaimana resiko pekerjaanmu… Bagaimana mungkin kamu memintaku untuk berdoa pada Tuhan agar Dia mengambil kamu dari sisiku, sementara aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku bicara seperti ini hanya ingin kamu berani dan yakin untuk mengambil keputusan mundur dari pekerjaanmu yang sangat beresiko itu," batin Jessica dengan bercucuran air mata. Ia hanya dapat mengungkapkan isi hatinya dalam diam tanpa bisa berkata-kata.