21

1025 Words
Tiffany melanjutkan kegiatannya dalam menyuapi Kriss. Dokter Anya sendiri juga sibuk mengobati luka-luka Kriss. Suara Kriss yang terkadang merintih kesakitan membuat Tiffany ikut-ikutan ngilu saat mendengarnya. Siapapun akan merasa kesakitan jika seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Semua ini terjadi pada Kriss. Laki-laki itu benar-benar memiliki nasib yang malang. "Lain kali, jika ada hal seperti ini lagi, kamu harus melawan." Kata Tiffany pada Kriss. Kriss hanya diam, tidak menjawab ataupun mengangguk. Dirinya lebih memikirkan untuk tidak membuat hal ini terjadi lagi. Kriss benar-benar muak dan kesal pada ketua lab yang seenaknya itu. Lain kali dirinya benar-benar akan menghukum orang itu dengan sangat setimpal. Bahkan dirinya akan melihat jeritan orang itu dengan mata kepalanya sendiri. Anto kembali dengan membawa plastik yang berisi obat-obatan yang sudah diresepkan oleh dokter Anya. Anto memilih duduk dan melihat ke arah luka-luka Kriss yang parah itu. Anto tahu jika ketua lab memang kejam, tapi dirinya benar-benar tidak tahu jika laki-laki itu sekejam itu pada anak buahnya. "Siapa yang membawamu kembali ke sini?" Tanya Anto membuka suaranya. Kriss menggerakkan kepalanya dan menggelengkan kepalanya pelan, dirinya ingin menjawab tapi di dalam mulutnya penuh dengan bubur. Sedangkan mulutnya tidak bisa ia buka dengan lebar, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menggerakkan kepalanya untuk menggeleng, memberitahu jika tidak ada yang membantunya. Anto yang mengerti pun mulai merasa ngilu saat membayangkan rekan kerjanya itu berjalan tertatih untuk kembali ke messnya. Ah, dirinya benar-benar beruntung karena tidak pernah menerima perlakuan seperti itu. Benar-benar sangat menyedihkan jika dirinya menerimanya. Dirinya tidak punya siapa-siapa, selain itu dirinya juga tidak akan bisa mencari uang lain jika wajahnya yang pas-pasan itu rusak sedemikian rupa. Tiffany berdiri dan membuang bungkus bubur ke tempat sampah. "Obatnya," kata dokter pada Anto. Anto pun menyerahkan obat itu pada dokter. Anto tidak bisa membantu banyak karena dirinya juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Saat ini yang Anto lakukan hanyalah melihat bagaimana tangan dokter yang begitu cekatan membuka bungkus obat yang sangat banyak itu. Membayangkan saja, Anto sudah sangat mual jik harus meminum obat sebanyak itu. Bagaimana dengan Kriss. "Obatnya sedikit banyak," kata dokter seraya membantu Kriss untuk meminum obatnya. Tiffany terdiam, menatap ke arah dokter Anya yang tengah membantu Kriss untuk meminum obatnya. Dokter Anya adalah dokter muda yang baru saja masuk dua tahun yang lalu. Umurnya baru menginjak kepala tiga, dokter Anya juga belum memiliki seorang suami, bahkan tanda-tanda memiliki seorang pasangan pun belum ada. Tiffany terdiam. Di dalam hati tengah membandingkan dokter Anya dan dirinya. Dibandingkan dengan dirinya yang terlihat arogan, dokter Anya memiliki wajah yang sangat hangat, tutur katanya pun sangat sopan dan lembut. Wajahnya juga sangat manis dengan kulit putihnya. Berbeda dengan dirinya yang suka bicara keras dan juga memiliki wajah yang cantik dan kulit bersih saja. "Ada apa?" Tanya Anto pelan pada Tiffany saat melihat wanita itu hanya berdiri diam di tempatnya. "Tidak apa-apa, hanya sedikit berpikir untuk bicara pada ayah." Jawab Tiffany yang langsung saja sadar dari lamunannya. Tiffany mendekat dan membawakan air untuk Kriss. "Minumlah pelan-pelan," kata Tiffany yang langsung saja membuat dokter Anya mundur dari tempatnya. "Kalau begitu aku akan kembali lebih dulu." Kata dokter Anya berpamitan. Tiffany pun hanya mengangguk, bahkan dirinya tidak mengucapkan terima kasih sekata pun karena merasa kesal. Sebenarnya ada apa dengannya? "Aku juga akan pergi, aku belum mandi." Kata Anto ikut-ikutan pamit untuk pergi. "Kamu juga pergilah, ganti bajumu." Lanjut Anto mengatakan hal itu pada Tiffany. "Aku tahu, kamu bisa kembali dulu." Jawab Tiffany dengan cepat. Anto pun mengangguk dan memilih pergi lebih dulu. Tiffany sendiri langsung membantu Kriss untuk tidur, setelah itu Tiffany membereskan obat-obatan milik Kriss. "Aku akan ganti baju dan makan lebih dulu, aku akan kembali setelahnya. Kamu harus banyak istirahat." Kata Tiffany pada Kriss. Kriss pun mengangguk dan pergi meninggalkan Kriss sendirian. Sebenarnya Tiffany enggan untuk pergi, tapi dirinya juga butuh makan dan juga mandi setelah seharian sibuk di dalam ruang lab. Tiffany keluar, memikirkan lagi saat dokter Anya yang membantu Kris meminum obatnya. Jika di pikir-pikir lagi, dokter Anya terlalu berlebihan dalam memperlakukan Kriss. Padahal biasanya dokter Anya tidak pernah seperhatian itu. Di sini, Tiffany melupakan jika tangan Kriss juga cidera dan tidak bisa meminum obatnya sendiri. Tiffany hanya memikirkan tetang kekesalannya karena ada wanita lain yang mau peduli pada Kriss selain dirinya. "Dia tidak menyukai Kriss bukan?" Tanya Tiffany pada dirinya sendiri. "Apa yang sebenarnya kamu pikirkan." Jawab Tiffany sendiri dengan kesal. Tiffany pun melanjutkan langkahnya dan berjalan ke arah kamarnya, dirinya akan mandi dan bersiap untuk mencari makan di luar, setelah itu dirinya bisa kembali menjaga Kriss dengan tenang. Di dalam kamarnya Kriss pun memilih untuk memejamkan matanya lagi, dirinya tidak ingin berpikir terlalu banyak untuk saat ini. Nanti setelah dirinya pulih, baru dirinya akan memikirkan bagaimana caranya untuk balas dendam. Lagi pula gara-gara keadaannya saat ini dirinya jadi tidak bisa melanjutkan penelitiannya tentang makhluk-makhluk itu. Kriss tertidur dengan perlahan, dia merasa sangat ngantuk berat setelah meminum obat. Padahal dokter Anya sengaja memberikan obat tidur agar Kriss bisa istirahat lebih banyak. Karena luka sebanyak itu akan memburuk jika pemilik tubuh kebanyakan bergerak. Dokter Anya kembali ke dalam ruangannya, tadi dirinya baru selesai bertengkar dengan kekasihnya, dan tiba-tiba saja Anto datang dan memanggilnya. Sebenarnya dokter Anya sudah memiliki pasangan, namun hubungan keduanya di tentang oleh keluarga kekasihnya hanya karena dirinya tidak memiliki keluarga lagi. Orang tua kekasihnya takut jika anaknya akan ia terlantarkan karena dirinya sibuk dengan pekerjaannya. Kekasihnya sendiri, sudah beberapa kali ketahuan selingkuh. Bahkan hari ini juga, dirinya bahkan menerima laporan jika kekasihnya pergi ke hotel dengan seorang wanita. Dokter Anya duduk di kursinya, meratapi nasibnya yang tak jelas itu. Dirinya ingin mundur tapi belum bisa karena dirinya masih belum bisa merelakan perasaannya begitu saja. Setiap kali dirinya marah karena hubungan kekasihnya dengan wanita lain, kekasihnya dengan gampang mengatakan jika dirinya sibuk dan bahkan terus menolak untuk melakukannya. Apa salahnya jika dirinya menolak disaat keduanya belum memiliki ikatan yang pasti? Dokter Anya bimbang, di dalam hatinya dirinya ingin melepaskan kekasihnya saja, namun dirinya takut kesepian karena tidak memiliki sosok orang yang dekat kecuali kekasihnya itu. "Anya. Jangan seperti orang bodoh." Gumam dokter Anya sendiri seraya memegangi kepalanya yang pusing itu. Dirinya benar-benar bingung harus melakukan apa untuk masalah yang terus terulang itu. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD