Masih Tentangmu
- Cemburu
Dea meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya. Bukan panggilan masuk, tapi sebuah pesan dari mamanya.
[Dea, nanti sepulang kerja kamu mampir ke rumah sakit. Sita mau melahirkan. Sekarang baru bukaan lima, tapi tadi mama dikabari oleh budhemu kalau akan dilakukan tindakan SC.]
Sita ini sepupunya Dea. Anak dari satu-satunya kakak perempuan sang mama. Dea segera mengetik pesan balasan.
[Oke, Ma.]
"Ada apa?" tanya Hani.
"Sepupuku mau lahiran. Mama memintaku mampir ke rumah sakit sepulang kerja nanti."
Setelah Dea selesai membalas pesan, Hani mengajak sahabatnya itu kembali ke kantor. Di lobi mereka berpapasan dengan Alita yang hendak masuk ruangan juga.
Sengaja Dea memperlambat jalan supaya Alita lebih dulu melangkah. Beberapa rekan heran melihat kerenggangan mereka. Namun sudah ada beberapa orang yang tahu duduk permasalahan. Namun mereka hanya berbisik sesama rekan, tidak ada yang menanyakan langsung pada Dea atau pun pada Hani. Yang tampak kentara, beberapa rekan yang sempat menggoda Alita tempo hari, kini mulai menjauh tak peduli. Menjaga jarak dari perempuan yang tidak memiliki empati.
Namun bukan Alita jika tidak bisa bersikap bodo amat. Dia tidak ambil peduli dengan apapun tanggapan mereka. Baginya Gama bukan siapa-siapa lagi bagi Dea. Hanya mantan.
Dea mulai terbiasa dengan situasi yang rumit di antara mereka. Dia tetap bekerja seperti biasa, seolah baik-baik saja, tidak terusik dengan permasalahan yang ada. Meski sebenarnya dalam d**a porak poranda.
Sampai sekarang Dea masih bertahan untuk tidak berhenti kerja. Walaupun hampir setiap hari perasaannya selalu teriris jika melihat Alita. Lalu bagaimana jika Alita dan Gama menikah nanti? Masih sanggupkah dia berhadapan dengan gadis itu? Setiap hari bertemu dan tentu saja Alita akan merasa lebih unggul karena telah memiliki Gama secara sah.
"Kalau mereka mau nikah, kenapa Gama nggak ngajak Alita kerja di perusahaan keluarganya?" tanya Hani beberapa hari kemarin.
"Entah, aku nggak tahu."
Benar juga pertanyaan Hani. Sangat masuk akal juga pemikirannya. Kenapa Gama tidak menyuruh Alita resign dan bekerja pada perusahaan keluarganya? Seperti yang pernah Gama lakukan padanya dulu. Setelah lulus kuliah dan menikah, Dea bekerja di perusahaan milik keluarga Gama. Kemudian berhenti saat mereka hendak bercerai.
Setelah proses cerai selesai, Hani yang mengajak Dea bekerja di perusahaan yang sekarang ini.
"Kamu pulang dulu apa langsung mampir ke rumah sakit?" tanya Hani saat mereka keluar ruangan menuju parkiran sore itu.
"Ke rumah sakit saja, Han. Daripada bolak-balik."
"Tapi mendung gini, kamu nggak takut kehujanan?" Hani memandang langit yang berwarna kelabu.
"Aku bawa mantel." Kebetulan hari ini Dea tidak membawa mobil.
Di ujung sana, tampak Alita tengah membuka pintu mobilnya. Namun tidak lekas masuk, malah memperhatikan Hani dan Dea.
Hani yang tidak sengaja bentrok pandangan dengan gadis itu, segera membuang muka. Ia muak dengan Alita.
***L***
Sampai di rumah sakit, hujan turun dengan derasnya. Dea menemui suami sepupunya dan sang budhe di sebuah ruang perawatan pasca operasi. Sita belum benar-benar sadar, makanya belum dipindahkan ke kamar perawatan.
"Kamu baru pulang kerja to, Nduk?" tanya Budhe Wanti pada Dea.
"Njih, Budhe. Tadi saya dikabari mama, makanya langsung ke mari." Dea mengalihkan perhatian pada seorang laki-laki yang setia duduk di samping Sita. Dea menghampiri. "Kenapa diambil tindakan Cesar, Mas. Kan perkiraan dokter Mbak Sita bisa lahiran normal?"
"Sita kehabisan air ketuban, Dek. Pembukaan juga nggak tambah-tambah. Makanya aku nggak mau ambil resiko. Memang tadi aku yang mutusin untuk SC saja," ujar laki-laki yang juga berprofesi sebagai dokter umum di rumah sakit itu.
Dea menunggu dan membantu mereka pindahan ke kamar perawatan. Tak lama kemudian orang tua dokter Umar -suaminya Sita- datang bersama dua cucunya yang umur dua belas tahun dan sepuluh tahun.
Dua bocah laki-laki dan perempuan langsung memeluk mama mereka. Melihat adik bayi yang dibaringkan di box bayi.
"Budhe, Mas Umar, saya tinggal salat Maghrib dulu. Sekalian saya belikan makan malam," pamit Dea sesaat setelah azan maghrib berkumandang di kejauhan.
"Nggak usah repot-repot, Dek. Biar nanti aku saja yang keluar beli makanan," cegah dokter Umar.
"Nggak apa, Mas. Sekalian saya mau sholat. Mas Umar temani Mbak Sita saja." Dea meraih tali tasnya lantas beranjak keluar.
Sita tidak bisa ditinggal. Dia mulai merasakan nyeri dibagian perut bawah bekas sayatan operasi tadi. Rasanya panas dan perih. Sebelumnya sudah dua kali Sita lahiran. Untuk anak ketiganya ini mesti Cesar.
Hujan masih turun dengan derasnya. Dea bergegas ke mushola lebih dulu. Salat Maghrib lalu berdoa dengan singkat setelahnya. Sebab sudah banyak pengunjung yang mengantri ingin bergantian mukena.
Cukup lama Dea mematung di lorong depan musholla memandang hujan. Bagaimana dia bisa keluar membeli makanan jika hujan deras begini. Beli di kantin, makanannya hanya itu-itu saja.
"Deandra." Suara bariton seorang laki-laki terdengar dari sebelah kiri dari Dea berdiri. Sontak membuat wanita itu menoleh. Seorang laki-laki berpostur tinggi mengenakan snelli atau jas dokternya tersenyum pada Deandra.
"Dokter." Dea menerima uluran tangan dokter Angkasa.
"Apa kabar?" sapa laki-laki tampan itu ramah.
"Baik. Dokter, apa kabar?"
"Baik juga. Sudah lama nggak bertemu kamu. Semingguan yang lalu saya ketemu sama Astrid."
"Ya, Mbak Astrid juga cerita sama saya."
"Apa dia juga ngasih tahu kalau saya minta nomer ponselmu?" Berterus terang betul dokter ini.
Deandra tersenyum lantas mengangguk. Dokter itu masih memandang Dea. "Nggak boleh, ya, saya tahu nomer ponselmu?"
Setelah diam beberapa saat, Deandra menyebutkan sederetan angka. Angkasa dengan cekatan menyimpan di ponselnya. "Makasih, ya!" ujarnya penuh senyuman.
Deandra mengangguk pelan.
"Oh ya, kenapa kamu ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya Angkasa setelah mengembalikan ponsel ke dalam saku celananya.
"Sepupu saya melahirkan, Dok. Istrinya dokter Umar."
"O, jadi istrinya dokter Umar sepupumu?"
"Iya."
Senyum Angkasa makin lebar. Matanya yang dinaungi alis tebal itu tak mengalihkan perhatian pada wajah ayu Deandra. Sampai yang dipandang jadi serba salah. "Kamu mau pulang?" tanya sang dokter.
"Saya mau ke kantin membelikan makan malam untuk budhe dan Mas Umar, Dok."
"Oke. Saya juga ada pembedahan satu jam lagi. Saya tinggal dulu. Makasih udah mau bagi nomer ponselmu."
"Ya, Dok."