Jangan Ikut Campur

1164 Words
Paginya, Sean melepaskan Reya dan mengantarnya pulang. Kali ini dia tidak mempercayakan Reya pada siapapun lagi, mengingat banyak hal-hal yang tidak diinginkan sering terjadi, dan Sean benci itu. Dia benci pada sesuatu yang menghambat jalannya. Sean menghentikan mobil di depan rumah Reya. "Turunlah, kita sudah tiba," ujarnya karena Reya belum membuka pintu. Karena tidak ada respons, Sean melihat ke samping dan menemukan Reya sedang tidur pulas. Melihat hal itu, Sean menjadi kesal. "Reya, bangun. Kamu sudah tiba di rumah," kata Sean dengan suara yang sedikit keras. Namun, suara Sean sepertinya tidak dapat disaring oleh telinga Reya. Gadis itu masih nyenyak dan tidak terusik sama sekali. Sean yang sedang buru-buru terpaksa melakukan cara lain untuk memindahkan Reya dari mobilnya. Dia turun, lalu membuka pintu sebelah kiri. Berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia harus menggendong Reya secara paksa. "Kamu merepotkan sekali," gumamnya kesal seraya menutup pintu mobil dengan kaki. Setelah masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci, Sean meletakkan tubuh pulas Reya di atas sofa. Saat hendak pergi, tiba-tiba dia menoleh ke belakang. Sempat terpikir di benak Sean untuk menutupi tubuh Reya dengan selimut. Setidaknya gadis itu bisa tidur dengan nyaman beberapa saat. "Aku pasti sudah gila." Sean segera menepis pemikiran yang menurutnya terlalu berlebihan. Lantas dia pun pergi dari sana dengan senyum konyol. Sepeninggalan Sean, ada yang diam-diam tersenyum dalam tidur. Ya, Reya sebenarnya sedang tidak tidur. Dia sudah terjaga sejak Sean membangunkannya di mobil. Hanya saja, dia berpura-pura untuk melihat apa yang akan Sean lakukan. Siapa sangka Sean yang terkenal beringas dan jahat ternyata mau menggendongnya seperti tadi. Sempat Reya berpikir mungkin pria itu akan menendangnya dari mobil, tapi perlakuan Sean yang nyatanya diluar perkiraan terlihat manis di mata Reya. "Manis sekali." Rasa senang tak bisa ditepiskan. Lantas Reya bangkit sambil mengangkat tinggi kedua tangan, merenggangkan otot-otot tangan yang sedikit kaku akibat terikat semalam. Reya memperhatikan keadaan rumah yang sudah rapi seperti semula. Namun, ada rasa tak puas di hatinya melihat semua itu. Tanpa Mark, rumah terasa hampa bagi Reya. Mengingat Mark, Reya kembali mengingat janjinya dengan Sean. "Jika kamu melakukan kesalahan yang sama, aku akan membunuh kakekmu," ancam Sean sesaat sebelum Reya dibebaskan. "Aku harap setelah ini kamu tidak akan mengganggu hidupku lagi, Sean. Setelah semuanya selesai, aku juga tidak ingin melihat wajahmu lagi. Atau kamu akan menjadi musuh abadi dalam daftarku," ucap Reya tak ingin kalah dari Sean. Sean menyeringai. "Jangan dulu meminta sebelum memberi, Reya. Kamu bahkan belum memulai apapun. Untuk apa bermimpi tinggi," sindir Sean yang cukup membuat nyali Reya menciut. Mengingat semua itu membuat Reya kesal bukan kepalang. Bagaimana bisa seseorang mengancamnya terlalu kejam. Bahkan kini melupakan sikap manis Sean beberapa saat yang lalu. "Lihat saja, akan ku runtuhkan egomu yang besar. Lalu akan ku tendang kamu sejauh mungkin," gumam Reya. Lantas dia pun beranjak ke kamar dengan malas, mengambil handuk lalu bersiap mandi. Usai membersihkan diri dan berganti pakaian, Reya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Pikirannya berangsur juga mulai berkurang, dia lebih fokus pada tugas terberat dalam hidupnya untuk saat ini. Yaitu mengembalikan milik Sean yang saat ini entah berada di tangan siapa. Baru saja Reya menuruni tangga, tiba-tiba bel berbunyi. Dia mendekati pintu dengan malas dan membukanya asal. "Reya, kamu baik-baik saja? Apa terjadi sesuatu?" Suara milik seorang pria terdengar sangat mencemaskan dengan wajah penuh kekhawatiran. Reya tersenyum datar melihat kedatangan sahabatnya. "Masuklah, Joe. Kita bicara di dalam." "Kenapa tidak jawab pertanyaanku dulu." Joe menarik lengan Reya yang hendak masuk. "Kamu lihat sendiri kan, aku baik-baik saja. Kenapa kamu sangat khawatir." Reya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Lantas dia pun segera menuju ke arah sofa. Joe mengekor di belakang Reya dengan langkah yang cepat, dia masih tidak puas dengan jawaban yang diberikan. "Tapi aku mendengar kabar lain, Reya. Kamu diserang, apa itu benar?" Reya segera membalikkan badan, menatap Joe dengan jengah. "Itu tergantung dari kamu percaya atau tidak pada pembawa berita," katanya menghempaskan p****t di sofa, mengambil bantal lalu memangkunya. Wajah Reya mulai menunjukkan rasa tidak suka. Joe ikut duduk, berhadapan dengan gadis itu. "Jadi semua itu benar, bukan? Kamu diserang siapa, Reya? Kenapa tidak memberitahuku?" Lagi-lagi Joe memberikan sederet pertanyaan yang enggan dibahas Reya. Secepat kilat Reya memalingkan wajahnya, menatap Joe dengan tajam. "Sudah berapa kali aku katakan ini padamu, Joe. Berhentilah mencampuri urusanku," ujarnya sedikit keras dan mulai menunjukkan kekesalan pada pria itu. "Reya, aku hanya-" "Satu lagi, Joe." Reya mengangkat jari telunjuknya setelah memotong kalimat pria itu. "berhentilah memata-mataiku!" Tatapannya penuh benci melihat pria di depannya yang selalu mengawasi dan mencampuri segala hal tentang hidupnya. Padahal Reya sendiri tahu jika itu tidak baik bagi Joe. Joe terdiam. Kemarahan Reya adalah pukulan terberat untuknya membela diri lebih jauh. Memberi beberapa alasan sekalipun hanya akan menambah rasa jengkel gadis di depannya. "Reya, aku hanya merasa khawatir padamu. Itu saja." Suara Joe melembut dan melemah. Dia masih berusaha menjelaskan kepeduliannya, meskipun dia melakukan itu dengan cara yang salah. Reya tersenyum kecut. "Jangan mengkhawatirkanku berlebihan, Joe. Jangankan suka, aku malah akan membenci tindakan berlebihan seperti itu." "Reya, aku ini sahabatmu. Apa kamu lupa?" Joe mencondongkan badannya ke depan, berbicara penuh penekanan dalam setiap kalimat. Reya menggeleng. "Apa kamu juga mulai lupa batasan lantaran kita begitu akrab?" ucapnya mengingatkan. "aku hanya sahabat yang kau kenal dalam kehidupan luar, bukan anggota keluarga yang harus berbagi keluh kesah." Terpaksa Reya mengatakan kalimat tersebut untuk menghentikan Joe dari segala tindakan yang membahayakan, dia tidak ingin seseorang mengalami hal yang sama seperti Mark. Joe menunduk dan terdiam. Benar jika Reya bukan keluarga yang harus ia pedulikan, tapi Joe tidak bisa membohongi diri bahwa dia sangat peduli pada Reya. Sama halnya dengan Joe, Reya pun diam setelah melepas rasa jengkel yang mendalam. Tidak dulu dan sekarang, Joe sama-sama menyebalkan di matanya. Tindakan berlebihan yang Joe perlihatkan sebagai bentuk perhatian, malah menyita segala kesenangan Reya dalam membentuk persahabatan dengannya. "Baiklah, Reya, aku minta maaf," ucap Joe setelah cukup lama terdiam. Dia memilih mengalah untuk kesekian kalinya ketika berdebat dengan gadis itu. Reya tidak merespons. Karena semuanya akan sama seperti sebelumnya. Meminta maaf ribuan kali pun, itu tidak akan mengubah apapun. Tetap Joe akan mengawasinya selalu. Melihat Reya hanya diam, Joe mencari cara lain untuk mengajaknya bicara. "Lalu bagaimana dengan, Kakek?" Jelas Reya akan tertarik dengan pertanyaan yang satu ini andai mood nya sedang tidak terganggu. Namun, untuk saat ini dia sama sekali tidak senang membahas Mark. "Aku akan menyelesaikannya," kata Reya menghembus nafas berat karena pikirannya kembali mencemaskan Mark. "Menyelesaikannya?" tanya Joe tidak percaya. "maksudmu mengikuti kemauan pria itu?" Sekali lagi, Joe melakukan kesalahan yang sama. Dia terlalu ikut campur persoalan hidup Reya. Tidak peduli itu urusannya atau tidak, bahkan kini dia juga tahu soal Sean. "Ya," sahut Reya cepat. "Reya, kamu serius?" tanya Joe memastikan. "Apa aku terdengar main-main?" Mata Reya menyipit dengan pandangan yang menusuk. Seolah memberi isyarat agar tidak membuat pertanyaan lebih banyak. Joe memandang aneh Reya. Gadis di depannya tidak terlihat seperti itu sebelumnya. Dia sangat berbeda. "Kamu jelas tahu jika tidak bisa menempuh jalan tersebut, Reya." "Justru itu, Joe, maka jangan ikut campur," timpal Reya cepat sebelum Joe bicara lebih banyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD