Menyerah

1567 Words
Mobil yang Reya tumpangi melaju cepat membelah jalanan kota, kemudian belok ke kiri menuju jalanan sepi. Reya yang masih fokus dengan ponselnya tidak menyadari sama sekali bahwa kini dirinya berada di jalan yang salah. Bahkan sejak tadi dia sendiri tidak mengatakan apapun pada supir taksi tentang kemana arah tujuannya pergi. Reya masih menunggu sebuah pesan balasan dengan gelisah ketika tiba-tiba mobil itu berhenti secara mendadak. Tubuh yang tidak seimbang membuatnya terpingkal ke depan. "Apa kamu ingin membunuhku!" hardik Reya seraya bangkit kembali setelah ia memungut ponsel yang terjatuh di bawah kursi. "Anda sudah tiba, Nona," kata supir taksi tanpa ekspresi. Raut bersalah tidak ada sama sekali. "Sudah tiba? Dimana?" tanya Reya heran. Karena baru sadar bahwa sejak tadi tidak mengatakan apa-apa. Saat melihat ke kiri dan kanan, dia tersentak hebat. "aku tidak menyuruhmu membawaku kemari sama sekali," protesnya langsung saat menyadari ada sesuatu yang salah. "Bukan anda, Nona. Tapi seseorang yang meminta." Pria itu menjelaskan. "Seseorang?" Dahi Reya mengerut. "Apa kamu bercanda?" Reya menendang kursi depan dengan keras, lalu berniat untuk membuka pintu mobil. Namun, sialnya pintu tersebut malah terkunci ke dua sisi. "Sialan!" umpat Reya mulai marah. "Aku tidak ingin berurusan denganmu. Segera bukan pintu pintu atau kamu akan tahu akibatnya," ancam Reya yang sudah dikuasai kemarahan. Dia merasa tidak terima dengan tindakan sang supir. "katakan pada bos kalian jika ikatan kerja denganku sudah selesai. Jadi berhentilah menganggu!" peringat Reya yang menganggap jika itu adalah ulah mantan atasannya dahulu, karena beberapa kali juga sempat melakukan hal yang sama ketika ada tugas dadakan. Pria itu bergeming. Tangannya bergerak ke depan, menggeser sebuah tombol untuk memperbesar suara yang saat ini tiba-tiba sudah terhubung dengan seseorang. "Bagaimana, Reya? Kamu suka tempatnya?" Seperti tersambar petir, Reya baru sadar jika telah naik ke mobil yang salah. Bahkan dia tidak pernah memikirkan jika semua ini adalah ulah Sean. Perkiraannya yang menduga meleset sangat jauh, membuat Reya kecewa dengan perasaannya yang dahulu sangat tajam. "Sean," gumam Reya mengepal tangan begitu mengetahui dalang dibalik kejadian ini. Lagi-lagi suara itu yang membuat amarah Reya naik seratus delapan puluh derajat. "Melacak keberadaan ku tidak ada gunanya sama sekali. Jika ingin bertemu, sebaiknya temukan milikku dahulu." Sean memberi Reya pilihan, yang tentunya tidak akan disanggupi oleh gadis itu. Jadi Sean sejak tadi mendengar pembicaraannya di telepon? Yang benar saja, pria itu telah melewati batasan dalam menguji kesabaran Reya. Batin Reya terus berperang dengan segala umpatan untuk pria itu. "Aku tidak memiliki apa yang kamu minta. Sebaiknya lepaskan kakekku jika tidak ingin terluka!" Reya balik mengancam, tentu bukan sesuatu yang membuat Sean takut sama sekali. "Aku memang suka keberanianmu, Reya. Tapi itu tidak cukup untuk kesepakatan," puji Sean disertai ejekan. Sean sudah nekad akan membuat apa saja untuk mendapatkan miliknya, bahkan membunuh Reya jika perlu. "Kamu ingin kesepakatan apa denganku, Sean? Jika menginginkan benda itu, bukan aku orang yang kamu tuju." Reya mengeraskan suaranya karena kesal. Sudah berulang kali ia katakan, bahwa apa yang Sean cari tidak ada padanya sama sekali. "Karena kamu yang memulai, harusnya kamu juga bisa menyelesaikannya." Sean tidak terima alasan apapun, dia tetap pada keingannya. Reya menyeringai sinis. "Aku tidak sudi." Melupakan sejenak bahwa ada seseorang yang harus ia lindungi, sebaliknya dia malah mempertaruhkan apapun untuk melawan Sean. "Lalu bagaimana dengan ini?" tanya Sean bersamaan dengan sebuah layar di depan yang tiba-tiba memperlihatkan keadaan seseorang. "Kakek." Mata Reya membulat melihat keadaan seorang pria yang tak lain adalah Mark, yang mana terduduk di atas sebuah kursi dengan tangan terikat ke belakang dan kepala yang ditutupi kain hitam. Meskipun dengan wajah yang tidak terlihat, tapi Reya cukup mengenali pria itu. "Kau apakan kakekku sialan!" Reya mengumpat sekeras yang ia bisa. Hampir saja ia melayangkan serangan pada pria di depan untuk menuntaskan rasa kesal, andai Sean tidak cepat berbicara. "Dia akan baik-baik saja sampai kamu menyelesaikan kesepakatan kita. Beri aku benda itu jika kamu ingin menebusnya," kata Sean tegas tanpa bisa ditawar. Sean sudah terlalu lelah menghadapi sikap Reya yang keras kepala. Tangan Reya terkepal, matanya ikut terpejam beberapa saat. Masalah yang baru ia hadapi bukanlah sesuatu yang mudah, Reya sadar tidak akan menemukan jalan keluar dalam keadaan tergesa. Namun, jika meminta waktu untuk berpikir, maka dia hanya akan menyia-nyiakan nyawa Mark. Sean benar-benar telah menempatkannya dalam titik lemah yang tiada tara. "Diam adalah tanda persetujuan. Aku anggap itu sebagai kesepakatan kita, Reya." Suara Sean lagi-lagi membuat Reya murka setelah beberapa saat hening sempat tercipta. Pria itu memang sengaja tidak membiarkan Reya memiliki celah untuk berpikir terlalu lama. Reya mengutuki Sean dalam hati. Sepertinya memang tidak ada cara lain untuk menyelamatkan Mark. Reya tahu jika Sean tidak akan melunak walau dengan permintaan tulus sekali pun. "Aku ingin bertemu kakek dahulu." Pinta Reya yang pada akhirnya yang sudah tidak tahan melihat kelakuan Sean. "Itu tidak termasuk dalam kesepakatan, Reya. Jangan minta yang macam-macam, aku tidak akan mengabulkan." Sean dengan terang-terangan menolak. Tanpa memberi Reya kesempatan dan mengabulkan permintaan, tentu akan memudahkannya untuk menyelesaikan masalah antara mereka. "Sean, kau-" Reya tidak dapat meneruskan kata-kata. Percuma saja ia bicara panjang lebar, Sean telah membuat batasan yang sulit ia jangkau tanpa. "Bergegaslah, Reya. Semakin cepat, semakin baik." Tiba-tiba cahaya terang yang menyilaukan mata terlihat di depan bersamaan dengan perkataan Sean. Sudah ada mobil lain yang berjarak beberapa meter dari mobil yang Reya tumpangi. Reya berteriak seraya meremas rambutnya frustrasi. Bahkan beberapa kali melepaskan pukulan kuat pada kaca mobil yang tidak bisa pecah. Meraung panjang sekalipun hanya membuat tenaganya berkurang sia-sia. Beberapa menit berlalu dari keadaan semula, kini Reya sudah bisa sedikit menenangkan diri. "Aku harus menyelamatkan kakek apapun yang terjadi. Tapi bagaimana bisa? Syarat yang Sean berikan, bahkan mustahil bisa aku lakukan." Batin Reya berperang hebat. Dia terduduk lemas tak berdaya. Meratapi semuanya dengan percuma. Dia bingung harus memulai segalanya darimana. "Jangan buang waktu untuk hal yang tidak berguna, Reya." Suara Sean kembali memenuhi mobil itu, membuat udara di sekitar terasa sangat sulit untuk bernapas. Dengan berat hati, Reya terpaksa turun dari satu mobil untuk memasuki mobil lainnya. Hampir gila ia membayangkan semua yang menimpa, karena semuanya tidak pernah ada dalam bayangan. Berjarak beberapa langkah dari mobil hitam di depan, Reya memandang sekeliling, berpikir ada celah untuk melarikan diri. Namun, tiba-tiba dia merasa bahwa itu hanya ide konyol dan membuang waktu. Percuma saja jika pergi untuk menyelamatkan diri sendiri jika kakeknya tidak akan kembali. Sekali lagi, Reya mengambil keputusan secara terpaksa. Tidak ada pilihan, mobil di depan adalah tujuan. Langkah Reya sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Setelah menarik nafas beberapa kali, dia langsung membuka pintu mobil, lalu menutupnya dengan keras. Tanpa dikomando, pria yang duduk di bagian kemudi langsung membawanya pergi entah kemana. "Kali ini kemana?" Reya bertanya dalam batin. Berharap sekali tempat yang akan ditujunya adalah tempat yang sama dengan Mark. Beberapa menit kemudian, Reya menerima satu pesan yang membuatnya sedikit kaget. Setelah membaca pesan tersebut, Reya mulai mengatur rencana dadakan. Pertama-tama mengeluarkan pistol yang masih disimpan di belakang celana, lalu mengarahkan pada pria di depannya. "Berhenti atau mati!" hardik Reya dari belakang. Seolah tak mendengar ancaman Reya, pria itu masih mengemudi dengan tenang. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda takut. Begitulah sikap yang membuat Reya kian tak sabar. "Kau ingin mati rupanya." Tidak sabar melihat sikap seperti itu, Reya langsung menembak. Sasarannya adalah tangan, dia sengaja menghindar agar tidak mengenai bagian yang fatal. Mobil mulai melaju tak sesuai arah, hingga hampir menabrak tiang andai tangan pria itu tidak cepat menggeser posisi. Beberapa menit kemudian, pria itu melepas stir begitu saja lalu menutup luka di tangannya seraya menahan rasa sakit. Dia sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tidak bisa menjalankan tugasnya sesuai perintah. Mobil kian tak terkendali. Reya tidak iba sama sekali melihat pria itu menahan rasa sakit dalam diam, dia masih memaksa pada pria itu untuk menghentikan mobil. "Berhenti atau kali ini kepalamu yang akan meledak." Bunyi ban berdecit terdengar ngilu. Terpaksa pria itu mengerem sebelum Reya benar-benar melakukan ancamannya atau nyawa keduanya akan melayang karena sebenarnya dia sendiri sudah tidak kuat untuk mengemudi. "Turun!" titah Reya dengan tatapan yang tajam, masih dengan mengarahkan pistol ke arah pria itu sebagai ancaman. Lagi-lagi pria itu hanya bisa pasrah dan mengikuti perintah Reya. Bahkan dia tidak berniat melawan sama sekali, karena Sean berpesan agar Reya tidak terluka dan dibawa secara utuh. Setelah pria itu turun, Reya melompat ke depan mengambil posisi kemudi. Menutup pintu dengan keras dan mengemudi seperti pembalap liar. "Dia kabur," kata pria itu menghubungi Sean sesaat setelah Reya pergi. Reya mengikuti rute yang baru ia terima beberapa menit yang lalu, yang tak lain adalah tempat dimana Mark disekap. Namun, tiba-tiba beberapa mobil muncul di belakangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dia tahu jika orang-orang tersebut adalah kiriman Sean untuk menghentikannya. "Aku tidak akan tunduk padamu, Sean!" Reya menegaskan kalimatnya meskipun Sean tidak mendengar. Dia akan menunjukkan siapa dirinya pada pria itu. Tidak ingin menyerah, Reya ikut menambah kekuatan laju. Seperti beradu lomba balap dengan mereka. Hingga tiba-tiba satu mobil tank menghadang di depan. Hampir saja Reya menabraknya andai tidak cepat menginjak rem dan memutar stir secara bersamaan. Mobil Reya berputar beberapa kali di tempat yang sama. Saat berhenti, dia menyadari jika semua mobil sudah berhasil mengepungnya. "Sial!" umpatnya kesal saat tidak menemukan cara untuk melarikan diri. Meskipun begitu, Reya tetap turun untuk menghadapi mereka semua. Ketika dia mulai mengangkat senjata, orang-orang dengan jumlah banyak itu pun melakukan hal yang sama secara kompak. Reya tidak mungkin bisa mengalahkan mereka semua dengan sisa peluru yang sedikit. Untuk melindungi diri, Reya langsung membuang pistol lalu mengangkat kedua tangan ke atas. Dia benar-benar menyerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD