Serangan

1335 Words
Sean kembali ke apartemen dengan tangan hampa, ia telah gagal membereskan urusannya dengan Reya saat gadis itu tepat dalam cengkeramannya. "Bagaimana bisa? Apa ini sebuah candaan!" teriak Sean diiringi dengan tersenyum sinis yang mengerikan. Dilonggarkannya dasi yang melekat di leher untuk melepas rasa sesak setelah ia hempaskan tubuhnya ke sofa dengan kasar. Ini merupakan hal terburuk dalam kasusnya. Butuh waktu lama untuk menemukan gadis misterius seperti Reya, tapi pada akhirnya kegagalan mengawali pertemuan mereka. "Siapa dia sebenarnya?" Sean berpikir keras, tidak mungkin jika gadis itu adalah orang biasa mengingat bagaimana lihainya tindakan Reya. Bahkan dia berhasil mengelabuinya dua kali. Untuk mengetahui lebih jelas, Sean menghubungi seseorang dan memerintahkan sesuatu. "Aku ingin data seorang gadis yang berada di pusat perbelanjaan bersamaku beberapa jam yang lalu." Begitu saja, Sean menerima sebuah pesan berupa gambar Reya lengkap dengan identitas gadis itu setelah beberapa saat dari panggilan barusan. Dia buru-buru mengambil laptop. Nama seorang gadis mengawali pencariannya di sebuah situs. Reya. Ya, nama itulah yang ditargetkan Sean saat ini. Bukan untuk sebuah misi dari klien, melainkan untuk urusan pribadi. Tidak heran jika itu benar-benar ulah dari seorang gadis muda yang berprofesi hampir sama dengannya. Untuk mengenal Reya lebih jauh, Sean Mencari beberapa informasi penting dan kasus apapun yang menyertakan namanya. Meskipun ada beberapa nama yang sama, tapi tidak ada satu pun data yang mengarahkannya pada gadis itu. Apa yang Sean dapatkan hanyalah jalan buntu yang tak berujung. Setelah mencari kemana-mana, tetap tak ia temukan nama tersebut dalam daftar apapun. Hal itu membuat kepalanya hampir meledak. "Reya, apa yang dia inginkan dengan file itu?" Sean mulai menerka setelah lelah. "atau ada seseorang yang sengaja mengirimnya padaku?" Tiba-tiba Sean berseru dengan kemungkinan yang besar. Rasanya tidak mungkin gadis itu tiba-tiba mengetahui benda kecil tapi cukup bermakna itu jika bukan karena sebab tertentu. Lebih lagi tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. *** Awan mendung menyelimuti kota Jerman. Meskipun hari sudah hampir siang, matahari tidak menampakkan diri sama sekali. Mungkin sepanjang hari ini tidak akan disinari dengan cahaya terang dari langit. Cuaca seperti itu membuat Reya cukup enggan untuk bergerak keluar, sejak pagi dia sudah menyibukkan diri dengan berlatih dan berlatih. Mengeluarkan keringat sebagai pengusir hawa dingin yang kadang-kadang menerpa melalui jendela yang terbuka. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar khusus yang selalu ia masuki hanya untuk melatih diri, membuat aktivitas Reya langsung terhenti. "Masuk saja, Kek," seru Reya turun dari besi panjang yang ia gunakan untuk latihan. Mark masuk dengan setelan tebal dan rapi. "Pantas saja kamu tidak kelihatan sejak tadi," ujarnya saat melihat aktivitas yang Reya lakukan. Lengkap dengan semua peralatan latihan kegemaran cucunya itu. "Ya begitulah, Kek. Cuaca diluar sedang tidak mendukung," timpal Reya meneguk air mineral yang hanya tinggal seberapa, hingga tandas. Lalu menatap penampilan Mark dari atas kepala hingga kaki. "Kakek, mau pergi kemana, rapi sekali?" Mark tersenyum dan melihat penampilan dirinya sejenak. "Bagaimana penampilan, Kakek, sudah rapi dan bagus, bukan? Hari ini teman lama Kakek yang dari luar Negeri datang kemari, kami akan melakukan reuni bersama yang lain." Mark menjelaskan penuh semangat. Melihat semangat Mark, Reya langsung memberi pujian. "Kakek, terlihat sepuluh tahun lebih muda." Deretan gigi putih dan rapi menghiasi wajah Mark. "Kamu bisa saja, Reya." Keduanya terkekeh beberapa detik. Reya mendekat lalu merapikan dasi di leher Mark. "Perlu aku antar?" "Tidak perlu, Reya. Kakek tidak ingin mengganggu aktivitasmu. Biar, Kakek, naik taksi saja." "Baiklah. Jangan lupa hubungi aku jika, Kakek, pulang terlambat, aku akan menjemput nanti. Ingat, jangan pulang sendiri di malam hari." Reya memberi beberapa peringatan khusus untuk Mark seperti biasa. "Tentu saja, Reya. Kalau begitu Kakek pergi dulu." Mark tidak pernah membantah apapun peringatan Reya, bahkan saat dirinya dijaga seperti anak kecil kala keluar. Bagi Mark, sah-sah saja Reya merasa khawatir diusianya yang tidak lagi muda. Setelah mencium kepala cucunya, Mark pun pergi sambil membawa payung untuk berjaga jika saja hujan turun di tengah perjalanan nanti. Tepat saat dirinya keluar dari rumah, sebuah taksi tiba-tiba melintas. Langsung saja Mark menghentikannya. Reya tidak lagi meneruskan latihannya setelah kepergian Mark, dia langsung kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri. Ada hal penting yang ingin dia lakukan sekarang. Usai berganti pakaian dan merasa jauh lebih segar, Reya membawa secangkir kopi hangat dan menaruhnya di atas meja. Kemudian mendekati rak kaca tinggi, tempat penyimpanan semua hal penting dari pekerjaannya dahulu. Tidak butuh waktu lama, Reya menemukan map berwarna biru dalam deretan beberapa map serupa. Dia mengambil dan membawanya ke meja kerja. Karena semalam bertemu dengan Sean, Reya sengaja membaca ulang data-data pria itu. "Apa yang sebenarnya dia miliki?" gumam Reya tiba-tiba penasaran. Tidak lama kemudian, Reya mendengar getaran dari benda merah yang menyala di kamarnya. Itu adalah tanda bahaya yang sengaja Reya pasang, hanya akan menyala jika seseorang masuk secara paksa ke rumahnya. Buru-buru dia menyalakan kamera tersembunyi dari berbagai sudut ruangan di dalam rumahnya. Melihat beberapa penyusup bertopeng masuk dengan masing-masing dari mereka membawa pistol, Reya tidak membuang waktu lama. Dia mengambil pistol yang selalu tersedia di dalam laci, lalu bergegas keluar dari kamarnya. Dengan hati-hati, Reya menuruni tangga. Baru beberapa injakan saja, satu tembakan tiba-tiba mengarah padanya. Beruntung dia selamat dari tembakan yang meleset tersebut. Tidak tinggal diam, Reya melakukan serangan yang sama. Dia terus menembak agar memiliki celah untuk tiba di lantai bawah. Lalu tiba-tiba ada yang menendang tangannya dari arah samping, membuat pistol yang Reya pegang pun terlempar jauh. Terpaksa Reya menggunakan tenaganya sendiri untuk menghajar pria itu. "Periksa kamarnya!" Seseorang yang lain memerintah begitu melihat kesempatan saat Reya masih bertarung dengan salah satu rekan mereka. "Baik." Pria itu mengangguk dan bergegas menaiki tangga. Tapi tiba-tiba sebuah peluru mengenai kakinya, dia pun terjatuh kembali. "Gerakan yang lambat," ucap Reya tersenyum setelah berhasil mencegah musuh menaiki kamarnya. Serangan masih berlangsung, suara tembakan belum mereda. Reya diserang dari berbagai arah. Untuk melindungi diri dan melumpuhkan musuh, bukanlah perkara sulit bagi dirinya yang sudah sangat terlatih dalam bidang ini. Dengan mudah, satu persatu penyusup berhasil Reya lumpuhkan. Ketika seseorang hendak menembaknya dari belakang, Reya lebih cepat melakukan pergerakan dan menodongkan senjata ke arah pria itu. Tembakan yang tidak meleset membuat pria itu ambruk ke lantai. Selanjutnya terdengar benda jatuh dari arah lain. Itu adalah rekan pria tadi yang saat ini sedang gemetar ketakutan melihat rekannya terbunuh. Saat Reya mengarahkan pistol ke arah pria tersebut, buru-buru dia mengangkat tangan dan menyerah. "Ja - jangan bunuh aku," ucap pria itu gemetar. "Siapa yang mengirim kalian?" tanya Reya dengan tatapan yang tajam. "Ampun. Biarkan aku hidup," mohon pria itu dengan mata berair. "Jawab aku atau kamu mati," ancam Reya. "Di - dia adalah …." Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, satu tembakan telah menewaskannya terlebih dahulu. Reya melihat ke arah tembakan itu berasal, seseorang dengan penampilan yang sama telah melakukannya. Lalu pria itu pergi dari sana. "Sial!" Reya mengumpat kesal tapi tidak berniat untuk mengejar. Setelah serangan mereda, Reya mulai memperhatikan kekacauan di dalam rumahnya. Banyak perabotan pecah dan beberapa benda berharga lainnya terbengkalai. Mayat hampir memenuhi semua ruangan dan ada beberapa orang yang mungkin saja hanya sekarat. Menyaksikan pemandangan tak sedap mata, Reya menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. Semua kekacauan ini harus dibereskan sebelum Mark kembali ke rumah. "Ada beberapa ikan mati di rumahku. Buang semuanya ke laut," kata Reya pada seseorang di telepon. Setelah panggilan terputus, tiba-tiba layar ponsel Reya kembali menyala dengan sederetan angka asing. Mata Reya menyipit sebelum akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. "Sepertinya ada pertunjukan seru di rumahmu, Reya." Mata Reya membulat begitu mendengar suara di seberang. "Sean!" "Ya, ini aku. Senang kamu mengenal suaraku." Tentu saja Reya sangat mengenal suara pria yang satu ini. Bahkan dalam kedamaian pun, suara Sean tetap ia hafal betul. "Apa maumu? Apa semua bangkai ini kamu yang kirimkan untuk menyerangku?" tuduh Reya secara spontan. Reya mulai menebak jika dibalik serangan mendadak ini adalah ulah Sean, karena siapa lagi yang akan melakukan itu padanya jika bukan pria itu. Terdengar kekehan kecil di seberang sana yang membuat Reya langsung kesal. "Merepotkan sekali jika aku harus mengutus mereka untukmu, Reya. Aku lebih tertarik jalan-jalan bersama kakekmu dibandingkan mengirim badut-badut itu kesana." "Apa? Kau bersama kakekku?" Seluruh badan Reya terasa lemas seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD