"Assalammu'alaikum Bang Rendi," sapa Adelia kepada pria itu.
"Eh, Mbak Ade. Assalammua'alaikum," jawab Rendi.
"Abang sudah mau pulang ya?" tanya Adelia memastikan.
"Iya, Mbak Adel. Kalau kamu mau pulang juga? Ayo, bareng saja sama Abang!" tawar Rendi kepada wanita itu.
"Hmm, makasih Bang. Tapi Adel mau mampir ke toko buku dulu," tolak Adelia secara halus.
"Memangnya kamu mau beli buka apa Del?" tanya Rendi kepada wanita itu.
"Novel religi, Bang. Kebetulan Adel suka baca, untuk mengisi waktu luang di rumah."
"Bagus kalau begitu Mbak Adel. Kamu mengisi waktu luang kamu dengan hal-hal yang bermanfaat." Rendi pun merasa kagum kepada wanita mandiri itu.
"Iya Bang, biar Adel nggak bosan saja kalau di rumah," jawab Adelia.
"Ya sudah, kalau begitu Abang pamit duluan, ya." Ketika Rendi hendak berjalan meninggalkan Adelia. Wanita itu langsung memanggilnya.
"Bang Rendi tunggu!" teriak Adelia.
Rendi pun segera membalikkan badannya. "Ada apa lagi Del?' tanya Rendi yang merasa heran.
"Hmm, apa Abang sudah dapat kabar dari Bang Tian?" tanya wanita sedikit ragu-ragu.
"Belum Del. Mungkin sekarang Tian lagi sibuk mengurus adiknya. Jadi dia belum sempat memberi kabar ke saya," jawab Rendi beralasan.
"Oh, begitu ya Bang." Adelia pun menampilkan raut wajah kecewa.
Sejenak Adelia pun terdiam memikirkan sesuatu, bagaimana cara dia untuk mengetahui kabar tentang Tian dan juga adiknya saat ini.
"Hmm, Bang Rendi, Adel boleh minta nomor ponselnya Bang Tian nggak?" tanya wanita itu agak sedikit malu-malu.
"Boleh kok, Mbak." Rendi pun menyerahkan nomor ponselnya Tian kepada wanita itu.
"Makasih ya, Bang Ren." Adelia merasa sangat senang. Karena saat ini, ia sudah mendapatkan nomor ponsel pria, yang beberapa hari ini telah mengganggu pikirannya.
"Sama-sama Del," jawab Rendi.
"Ya sudah, kalau begitu Adel duluan ya, Bang," ucap Adelia yang ingin berpamitan.
"Iya, kamu hati-hati di jalan."
Adel pun segera pergi meninggalkan Rendi.
"Del-Del, mau minta nomor ponselnya bos Tian saja, pakek acara muter-muter ngomongnya. Sama Rendi mah santai saja. Kalau suka ya bilang suka, jangan malu-malu, hehe," ucap Rendi sambil menatap kepergian Adelia, yang telah hilang dari pandangannya.
Tak terasa, malam telah tiba. Dari tadi Adelia hanya menatap nomor ponsel Tian, yang diberikan oleh Rendi. Sebenarnya ia ingin menelepon pria itu. Tapi ia masih agak sedikit ragu-ragu.
"Telepon, nggak, telepon, nggak, telepon. Aduh bagaimana ni? Apa Aku harus telpon duluan? Tapi aku kan perempuan," pikir Adelia dalam hati, dengan penuh keraguan.
"Anak Mama kenapa? Kok Mama perhatikan dari tadi melihat ke arah ponsel terus. Kamu lagi nunggu telpon dari siapa, Sayang?" tanya Sarah yang datang menghampiri putrinya yang agak sedikit gelisah.
"Iya, Kak Adel lagi nungguin telpon dari siapa Kak? Atau jangan-jangan kakak sudah punya pacar ya?" tanya Desi yang menggoda kakaknya.
"Apaan kamu Des. Siapa juga yang punya pacar?" Adelia pun balik bertanya. Karena saat ini, ia memang masih sendiri.
"Hehe ,maaf Kak. Desi cuma bercanda," jawab Adelia.
"Kamu kalau ada masalah cerita dong, Sayang. Apa ini soal Tian lagi?" tanya Sarah.
"Hmm, iya Ma." Adelia mengangguk menjawab pertanyaan dari mamanya.
"Bang Tian siapa, Ma?" tanya Desi penasaran.
"Hus kepo, anak kecil nggak boleh ikut campur," jawab Adelia.
"Desi kan juga pengen tahu, Kak."
"Nak Tian itu, teman kerja Kakak kamu, Des." Sarah pun menjelaskan kepada putri bungsunya.
"Cakep nggak Ma orangnya?" tanya Desi, yang sebenarnya hanya ingin menggoda kakaknya.
"Bagi Mama si cakep. Kayak artis Korea itu lo Des, Lee Min ho, hehe," jawab Sarah.
"Ih, Mama apaan Si." Adel merasa agak malu-malu. Ketika Mama dan adiknya membicarakan tentang Tian.
"Kalau gitu cakep dong, Ma. Kapan-kapan kenali sama Desi ya, Kak Adel."
"Untuk apa juga, Kakak mengenalkan ke anak kecil seperti kamu." Adelia sengaja mengatakan itu, karena ingin menggoda adiknya.
"Desi sudah besar, Kak. Sudah jadi mahasiswi, bukan anak kecil lagi. Lagi pula biar Desi lebih mengenal, calon Kakak ipar Desi. Mana tahu suatu saat ketemu dijalan, bersenggolan bahu. Tapi Desi sama sekali nggak kenal."
"Apaan Si Des? Mendingan sana kamu belajar. Nggak usah ikut campur urusan Kakak," jawab Adelia memperingati adiknya.
"Iya Kak, itu saja kok marah. Desi kan cuma bercanda," jawab Desi.
Desi pun pergi ke kamarnya meninggalkan Adel dan juga mamanya.
"Ya sudah, Des. Sebaiknya sekarang kamu cerita ke Mama, Sayang. Ada apa?" tanya Sarah yang juga ikut merasa penasaran.
"Adel cuma penasaran saja Ma, dengan keadaan adiknya Bang Tian," jawab Adelia memberikan penjelasan.
"Memangnya adiknya pria itu, kenapa sayang?" tanya Sarah yang makin penasaran.
"Adik Bang Tian kecelakaan motor Ma tiga hari yang lalu. Makanya sekarang Bang Tian pulang ke kampung halaman untuk melihat kondisi adiknya. Tapi sampai sekarang, Adel dan Bang Rendi belum dapat kabar dari Bang Tian."
"Oh jadi itu makanya kamu melihat ponsel terus dari tadi," ucap Sarah.
"Iya Ma, Adel pengen telpon Bang Tian, tapi Adel masih ragu." Adelia pun akhirnya menceritakan apa yang ia rasakan saat ini, kepada mamanya.
"Ya sudah, Sayang. Kalau kamu penasaran, mendingan kamu telepon saja," saran wanita itu kepada putrinya m
"Tapi Adel nggak enak Ma, Adel kan perempuan, lagi pula Adel takut mengganggu Bang Tian." Adelia mengatakan itu, karena ia masih sedikit ragu.
"Kalau begitu kamu kirim SMS saja, Sayang. Tanyakan kabar dia dan juga adiknya." Sarah mengatakan jika itu, karena ia ingin putrinya menjadi tenang. Jika sudah menelepon Tian.
"Iya juga ya, Ma. Kenapa Adel nggak kepikiran dari tadi untuk mengirimkan Bang Tian pesan lewat SMS," ucap wanita itu.
"Hmm, karena pikiran kamu yang nggak tenang, Sayang. Makanya kamu nggak bisa berpikir jernih.," jawab Sarah memberikan penjelasan kepada putrinya m
"Kalau begitu makasih ya Ma atas sarannya."
"Iya sama-sama, Sayang. Makanya, lain kali kalau ada masalah cerita ke Mama. Jangan dipendam sendiri," ucap Sarah menasehati putrinya.
"Oke, Ma. Pokoknya Mama yang paling the best deh," ucap Adelia.
"Ya sudah kalau begitu, Mama tinggal dulu ya, Sayang."
"Iya Ma." Adelia pun segera mengambil ponselnya dengan mengetik pesan yang akan dikirimkannya kepada Tian.
"Assalamu'alaikum Bang Tian, ini Adel. Sebelumnya maaf kalau Adel mengganggu, Adel hanya ingin mengetahui kabar Bang Tian di sana dan juga adik Bang Tian. Adel harap semoga Bang Tian dan keluarga diberikan kesehatan, dan Adik Bang Tian cepat pulih dari musibah kecelakaan yang menimpanya. Amin ya Allah. Sudah dulu ya Bang, sampai ketemu di Jambi.
"Bismillahirrahmanirrahim." Adel pun menekan tombol kirim dengan perasaan lega. "Akhirnya, semoga saja Bang Tian membaca pesan yang ku kirim untuknya, Amin," pikir Adelia dalam hati.
Sedangkan di Jakarta, kini Tian masih sibuk dengan berkas-berkas yang harus ditandatanganinya. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan tugasnya di Jakarta agar dia bisa segera kembali ke Jambi. Sebuah kota yang mana tempat pujaan hatinya berada. Ketika sedang asyik dengan pekerjaannya, sebuah notifikasi pesan pun masuk diponsel Tian. Ia pun langsung membukanya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Berlahan Tian pun membaca isi pesan itu.
"Adelia, jadi dia mengirimiku pesan. Dari mana dia tahu nomor ponselku? Pasti Rendi yang memberikannya kepada Adelia," pikir Tian dalam hati, dengan senyuman yang tidak lepas dari wajahnya. Tadinya pria itu ingin membalas pesan dari wanita, yang telah berhasil merebut hatinya itu. Tapi ia urungkan niat, karena kerinduannya yang memuncak kepada Adel, akhirnya Tian pun memutuskan untuk menelpon Adel secara langsung.
Drrt! Drrt!
"Bang Tian menelepon," ucap Adel dalam hati. Ia pun segera mengangkat panggilan telepon dari laki-laki yang telah menyita pikirannya beberapa hari ini.
"Assalamu'alaikum Del," sapa pria itu.
"Wa'alaikumsalam Bang," jawab Adelia.
"Abang senang sekali, menerima pesan dari kamu. Makasih ya, sudah perhatian sama Abang," jawab Tian sambil menampilkan senyumnya.
Tian pun hanya tersenyum lewat panggilan teleponnya. Saat mendengar jawaban dari Adelia.
"I-iya Bang. Adel hanya penasaran dengan kabar Bang Tian dan juga adik Bang Tian," jawab Adelia dengan sedikit terbata-bata.
"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan adik Abang sekarang?" tanya wanita itu.
"Alhamdulillah, kondisinya sekarang sudah stabil Del. Hanya saja, saat ini dia masih belum sadarkan diri," jawab Tian.
"Adel turut prihatin Bang mendengarnya. Abang yang sabar ya."
"Iya Del, makasih ya."
Ketika Tian sedang asyik bertelponan dengan Adel, Aurel sekretarisnya Tian pun datang menghampiri Tian.
"Maaf Pak Tian, ini saya mau menyerahkan hasil laporan keuangan dari supermarket kita, yang ada di Bandung."
Deg!
"Bang Tian lagi Ada dimana sekarang Bang?" Adel sedikit curiga ketika ia mendengar ada suara wanita yang memanggil dirinya dengan sebutan Pak Tian.
Tian yang merasa dirinya terpojok segera mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Adel. Ia pun mengusir Aurel dari ruangannya dengan isyarat tangan. Aurel yang agak sedikit bingung melihat tingkah aneh bosnya itupun akhirnya mengikuti perintah untuk segera meninggalkan ruang kerja Tian.
"Oh itu, Abang sekarang sedang berada di supermarket yang nggak jauh dari rumah sakit, Del. Kebetulan tadi ada bos supermarket yang sedang berbincang-bincang dengan sekretarisnya, dan ternyata nama bosnya itu sama dengan nama Abang, hehe.".
"Oh begitu ya Bang. Adel kira Abang yang jadi bosnya."
"Hehe, do'ain saja ya Del, semoga suatu saat SPB seperti Abang ini bisa menjadi seorang bos," jawab Tian yang hanya beralasan.
"Amin. Kan, nggak ada yang nggak mungkin Bang, kalau Tuhan sudah berkehendak."
"Iya kamu benar Del. Tapi kalau Abang jadi bos benaran, kira-kira Adel masih mau nggak dekat sama Abang?" tanya pria itu.
"Hmm, kayaknya Abang deh yang nggak mau dekat-dekat sama Adel."
"Kok gitu Del, siapa bilang." Tian pun merasa tidak terima saat mendengar perkataan dari wanita itu.
"Ya Adel yang bilang Bang. Biasanya ni ya Bang, pria itu kalau sudah sukses, dia pasti akan mencari teman yang selevel dengan dia, yang sama-sama sukses baik itu pria atau pun perempuan. Mana mau mereka berteman dengan seorang SPG seperti Adel."
"Tapi Del, nggak semua pria seperti itu kok. Kalau menurut Abang, ada juga pria sukses, kaya raya yang mau berteman dengan orang yang bukan dari kelas mereka. Bahkan terkadang mereka lebih suka mencari pendamping hidup dari kalangan biasa-biasa saja."
"Iya sih, Bang. Tapi sepertinya susah mencari pria seperti itu. Kalau Adel mah, lebih suka sama pria yang biasa-biasa saja Bang, yang selevel dengan Adel, hehe."
"Jadi kalau begitu, Abang masuk kategori Adel dong," goda Tian kepada wanita itu.
Adel pun terdiam mendengar pertanyaan spontan yang dilontarkan Tian. Ia pun bingung harus menjawab apa.
"Bang sudah dulu ya sudah malam, soalnya Adel belum soal isya," ucap Adel berusaha mengalihkan obrolan.
"Oh, iya Del, Abang ngerti kok."
"Bang Tian jangan lupa sholat juga ya, pokoknya jangan pernah tinggalkan sholat Bang."
"Iya pasti, terima kasih kamu sudah mengingatkan Abang.
"Iya Bang sama-sama. Sudah dulu ya Bang, Adel tutup telponnya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Semoga saja suatu saat saya bisa menjadi imammu Del. Ya Tuhan, aku sudah tidak sabar lagi menanti saat itu tiba. Semoga saja Adel adalah jodoh yang Kau kirimkan untukku. Amin ya Allah." Doa Tian dalam hati sambil membayangkan sosok Adelia, wanita berhijab yang telah membuat dirinya jatuh hati.
Sedangkan Adel, ia tidak tau bagaimana mengungkapkan perasaan terhadap Tian saat ini. Di satu sisi Adel merasa sangat senang, apa lagi setelah ia mendengar suara pria yang terkadang sangat ia rindukan. Namun Adel berusaha untuk menahan perasaannya itu, karena ia tidak ingin terbuai dengan yang namanya cinta. Sedangkan di sisi lain, terkadang Adel merasa takut. Ia takut, jika ia membuka hatinya, maka ia akan tersakiti lagi untuk yang kedua kali.
"Ya Allah, ku pasrahkan semuanya hanya padamu. Jika dia memang pria yang terbaik yang kau kirimkan dalam hidupku, maka dekatkanlah dia untuk menjadi pendamping hidupku. Tapi jika suatu saat dia hanya akan menyakiti hatiku saja, aku mohon jauhkan dia dari hidupku ya Allah." Doa Adel dalam hati, memohon pria yang terbaik yang Allah berikan untuk menjadi pendamping hidupnya.
Keesokkan harinya.
"Galang, kamu sudah sadar, Nak?" tanya Lina ketika melihat putranya yang berlahan membuka mata.
"Galang di mana sekarang Ma?" tanya pria itu dengan nada kebingungan.
"Kamu berada di rumah sakit, yang ada di Jakarta, Sayang," jawab Lina.
"Kok bisa, Ma. Bukannya seingat Galang, Galang itu ada di kota Jambi."
"Iya, Nak. Tapi karena kondisi kamu kritis, kakakmu yang membawa kamu dengan helikopter dari Jambi menuju Jakarta."
"Jadi Kak Tian yang membawa Galang, Ma?" tanya pria itu lagi.
"Iya, Nak. Makanya kamu itu kalau dibilangin nurut. Papa, Mama, kakak kamu, kami semua sayang sama kamu, Lang. Kali ini please, Mama mohon kamu harus berubah ya, Sayang. Tinggalkan genk motor dan balapan mu itu," pinta Sarah kepada putranya.
"Akan Galang usahakan, Ma," jawab pria itu.
"Ya sudah, kalau begitu kamu disini dulu ya, Nak. Mama mau panggil dokter dulu untuk memeriksa keadaan kamu sekarang."
"Iya, Ma," jawab Galang, yang baru sadarkan diri dari komanya.
Galang berusaha untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Betapa kagetnya ia, ketika tidak bisa menggerakkan kaki sebelah kanannya."
"Ma! Kaki Galang sebelah kanan kenapa Ma?! Kenapa Galang nggak bisa menggerakkannya?" tanya pria itu dengan panik.
"Apa?! Ya sudah, tunggu sebentar, Sayang. Mama panggil dokter dulu." Setelah mengatakan itu, Lina lalu bergegas pergi ke ruangan dokter yang menangani putranya.
Tak lama kemudian, dokter pun datang bersama beberapa orang perawat.
"Dokter. Bagaimana dengan kondisi putra saya?" tanya Lina yang sangat panik, setelah mengetahui keadaan putra bungsunya itu.
"Maaf Buk Lina, Ibu harus tenang. Seperti dugaan saya sebelumnya. Anak Anda mengalami kelumpuhan, Buk. Tapi Anda jangan khawatir, karena ini sifatnya hanya sementara. Dengan pengobatan dan terapi yang teratur, saya rasa anak Anda akan pulih seperti sedia kala," jawab Dokter Herman berusaha menenangkan Lina.
"Tolong usahakan pengobatan yang terbaik untuk anak saya, Dok," pinta Lina dengan penuh harap untuk kesembuhan putranya.
"Pasti, Buk. Kami akan memberikan pengobatan dan pelayanan terbaik untuk putra Anda. Kalau begitu saya permisi dulu, Buk. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, Dok," jawab Lina.
Setelah kepergian Dokter Herman, dokter yang menangani Galang. Pria itu pun bertanya kepada mamanya.
"Ma, jadi yang dibilang dokter itu semua benar, Ma?" tanya Galang meminta penjelasan.
"Sayang, kamu harus sabar ya, Nak. Mama yakin kamu pasti akan sembuh."
"Maaf ya, Ma. Galang hanya bisa menyusahkan Mama dan papa. Semua ini salah Galang. Tuhan sedang menghukum Galang atas perbuatan Galang selama ini," jawab Galang dengan rasa penyesalannya.
"Sayang, kamu nggak boleh ngomong seperti itu. Lebih baik sekarang, kita pasrahkan semuanya kepada Tuhan. Jika kamu menyesali perbuatan kamu selama ini, tolong jangan diulangi ya, Nak."
"Iya, Ma." Mama Lina dan Galang pun saling berpelukkan. Menyalurkan rasa kasih sayang antara Ibu dan anak yang terkadang sulit untuk mereka ungkapkan.
Bersambung.