Bus Cosmos

1287 Words
Aru mulai gelisah. Sudah nyaris setengah jam mereka duduk di halte. Dan bus itupun belum muncul. Sebenarnya bukan masalah menunggu yang membuatnya menarik-narik telinga. Melainkan duduk bersama teman lelaki. Dia tidak pernah sedekat ini dengan lelaki.  Para teman-teman lelakinya biasanya hanya mengejek tentang alisnya atau menanyakan keberuntungan mereka. Tidak satupun yang mengajak kencan dirinya. Kecuali Junior.  Terlebih lagi Dewanti menolak ikut. Dan perkataan Dewanti tentang dunia paralel membuatnya makin kesal. Bagaimana mungkin ada hal semacam itu.  Slogan Bus Cosmos berbunyi, 'Siap mengantarkan penumpangnya menuju dunia paralel', menurut Aru sangat konyol. Junior menawarkan minuman, dan Aru menggeleng. Dia tidak haus. Hanya merasa canggung pergi berdua saja dengan Junior. Namun rasa penasaran akan bus Cosmos ini tidak bisa ditolak. Dia dia ingin membuktikan bahwa dugaannya benar.  Semuanya hanya untuk promosi saja. Dunia paralel atau apalah itu tidak ada. Sejarah sama sekali belum mencatatnya.  Junior bermain ponselnya. Dia ingin mengajak Aru berbicara, tetapi melihat Aru mengetuk kakinya berulang kali membuatnya bungkam. Aru pasti tidak nyaman dengan dirinya.  Selain mereka, ada para pekerja yang hendak berangkat kerja. Mereka juga menanti kedatangan bus. Sesekali melihat jam tangan dan berdecak ketika bus tujuan belum nampak.   Satu per satu penumpang naik bus tujuan mereka. Tinggal tersisa Aru dan Junior. Junior menyadari Aru berdiri langsung bertanya,"Capek Ru? Apa kita batalin aja?" Tanya Junior.  "Jangan! Harga tiketnya mahal. Sayang ah! Hmm, Dewanti beneran nggak ikut?"   "Kamu nggak nyaman ya jalan berdua aja sama aku?" Junior melihat daun telinga Aru memerah.  Aru cuma nyengir. Dia malu ternyata Junior menyadarinya. Dia jadi merasa tidak enak dengan Junior.  Junior membuka tasnya dan mengambil buku dari tasnya. "Nih, agar kamu nggak bosan!"  Aru menerima buku dan membolak balikan halaman pertama. "Rara Mendut. Kamu baca buku semacam ini?"  Junior menyisir poninya. "Aku nggak sanggup baca buku setebal itu. Aku lihat covernya terus kepikiran kamu." "Hemm covernya unik. Perempuan yang sedang merokok. Jenis rokoknya.." "Rokok gelintingan sendiri. Beda dengan rokok pabrikan." Junior memberikan penjelasan melihat kebingungan Aru.  Aru mengangguk angguk saja. Hanya orang yang merokok yang mengerti hal semacam itu. Tetapi Aru merasa tidak perlu menanyakan apakah Junior merokok atau tidak. Karena hal itu bukan urusan Aru.   Junior sudah bersiap dengan jawaban jujur kalau Aru bertanya tentang rokok padanya. Tetapi gadis itu ternyata tidak melanjutkan percakapan mereka. Junior merasa kecewa. Kemudian dia melihat bus itu.  "Tuh busnya datang!" Junior berseru.  Busnya berwarna hitam. Ukurannya lebih besar dibanding bus biasanya. Bentuknya juga lebih elegan. Bus berhenti di dekat mereka berdiri. Pintu bus ini unik. Bila bus lain harus ditarik untuk membuka, pintu bus membuka dengan cara digeser. Pintu geser otomatis.  Seperti pintu hotel, batin Aru. Begitu masuk ke dalam, posisi tempat duduk tidak menghadap ke depan melainkan membentuk kelompok-kelompok kecil seperti kursi restoran. Mereka duduk di meja nomor satu. Tepat di belakang sopir.  Hanya ada empat meja di bus itu. Masing-masing meja memiliki empat kursi. Bagian belakang terisi oleh dapur yang tidak tertutup apapun. Jadi penumpang bisa melihat betapa sibuknya dua koki di sana.  Aru mengambil daftar menu di meja dan membacanya. Menu - menu yang disajikan tidak ada yang aneh. Nasi goreng, aneka seafood, dan penyetan. "Aku pilih nasi goreng saja, dan jus jeruk!"  Hanya sepuluh menit, hidangan pesanan mereka tersaji di meja. Aru mencium ada bau aneh di jus jeruknya. Tetap tetap diminumnya jus itu.  Sedangkan junior lahap saja menyantap makanan.  Aru merasa perjalanan mereka sangat lama menuju bioskop. Biasanya hanya dibutuhkan waktu paling lama satu jam. Tetapi ternyata sudah tiga jam Aru berada di dalam bus.  Aru kemudian melihat baliho bioskop terpampang dari jendela depan bus. Aru membangunkan Junior. Junior mengucek matanya sebentar kemudian berdiri. Dia berjalan menuju pintu bus dan menyatakan pada supir akan turun di halte selanjutnya.  Junior turun lebih dulu.  Arunika hendak melangkah keluar bus, salah satu koki berteriak memanggil Aru. Memberitahu bahwa hapenya tertinggal. Aru pun berbalik dan menuju bangku dia duduk tadi. Pintu otomatis yang terbuka kembali menutup. Dan bus pun berjalan.  Junior berteriak dan melambai lambaikan tangan. Sedangkan Aru memprotes sopir untuk mengehentikan bus. Tetapi tidak digubris.  Aru hanya menghela nafas dan berniat turun di halte berikutnya.  Aru kembali ke tempat dia duduk dan tidak menemukan hapenya. Dia mengaduk tasnya dan menemukan hapenya ada di dalam tas. Bukan tertinggal di bus.  Sangat aneh,pikir Aru.  Aru melirik ke arah  koki yang memanggilnya tadi. Aru mengingat-ingat, koki tadi benar memanggil namanya. Dari mana dia tahu nama Aru? Apa dari tiket bus? Lantas hapenya di tas, untuk apa koki itu memanggilnya?  Aru mengirimkan pesan ke Junior untuk menonton film terlebih dulu, karena dia akan terlambat.  Pesan tidak terkirim. Aru mengernyit. Kenapa lagi ini?  Aru mulai menggoyang goyangkan hapenya. Barangkali sinyalnyal jelek. Kemudian dia mengulang pesan itu. Pesan tidak terkirim. Aru mulai bertanya-tanya. Dia berandai andai akan mengehentikan bus dan memarahi supirnya. Tetapi kenyataannya Aru hanya pasrah ketika sopir bahkan tidak memedulikan protesnya tadi. Dan Aru hanya menerima nasibnya. Dia tidak berani. Dia hanya berharap halte selanjutnya dia akan turun dan bertemu dengan orang yang dia kenal.  Aru melihat ke luar jendela. Memastikan dia tidak terlewat halte berikutnya. Tetapi dia melihat hal yang lebih aneh. Kanan kiri jendela bus semuanya berkabut. Aru mengelap jendela dengan lengan bajunya. Tidak ada embun.  Dia mulai menarik narik telinganya lagi. Ketika dia mulai berpikir apa yang harus dilakukan badannya menubruk meja di depannya. Suara sirine mengaung di telinga Aru dan dia menutup mata.  *** Aru melek seketika. Apa yang terjadi? Busnya mengalami tabrakan? Dia menyentuh seluruh tubuhnya. Memastikan badannya masih di tempatnya. Baru dia celingukan di sekitarnya. Dia masih mengenakan baju yang sama. Bus yang ditumpangi juga masih sama. Tidak ada yang berubah. Kecuali Junior yang tidak ada.  Aru melihat ke jendela samping. Terhampar sawah luas. Dan dia bisa melihat pegunungan yang hijau.  "Cantik sekali" gumam Aru.  Sedetik kemudian dia sadar ada yang salah. Kota tempat dia tinggal sama sekali tidak ada lahan kosong untuk sawah apalagi pegunungan. Di mana dia? Aru menengok ke jendela depan. Bus memasuki gerbang bertuliskan Kota Sabin. Aru merasa sangat asing dengan nama kota itu.  Aru mengambil hapenya untuk mencari tahu tentang kota Sabin. Kemudian dia tersadar, hapenya masih hape jadul. Tidak memiliki fitur Internet.  "Ah siaal!"  Aru menyandarkan kepalanya di jendela bus. Kepalanya bergetar seiring bus melaju. Aru menghela nafas panjang. "Baiklah. Kita nikmati saja perjalanan ini!"  Aru berusaha berpikir positif untuk menyamarkan ketakutannya. Dia berkuasa kali mengelus dadanya, berharap detak jantungnya tidak berdetak normal. Dia melihat sebuah truk berhenti di pinggir jalan. Pintu baknya terbuka. Orang orang memanggul karung dan dimasukkan ke dalam truk itu. Sedangkan mandornya berdiri di atas bak truk dan menghitung berapa jumlah sak yang masuk ke dalam truk.  Melewati truk, ada sebuah gunungan tanaman padi. Warnanya menghitam. Barangkali dibakar, pikir Aru.  Pemandangan sawah habis berganti dengan rumah dan gedung gedung tinggi. Meskipun demikian Aru masih bisa melihat bahwa di belakang bangunan ini masih ada sawah. Hanya sepanjang jalan raya ini yang berubah. Sawah menjadi bangunan.  Bus berhenti. Aru berdiri dan dia maju untuk bertanya pada sopir. Dia ada dimana.  Sopir hanya menjawab singkat, bahwa inilah tujuan Aru. Aru memaksa sopir untuk menyebutkan daerahnya. Kalau dia kesasar dia akan segera mencari kantor polisi untuk mencari arah pulang.  Tetapi sopir hanya diam. Aru merasa lelah menghadapi sopir yang bebal ini.  Ketika menengok ke jendela samping,dia melihat Bus berhenti tepat di depan kampus. Kampus tinggi tulisannya tidak terlihat.  Koki yang sedari tadi ada di dapur kini maju dan mencengkram lengan Aru. Aru memberontak.  "Apa masalah kalian? Kenapa aku turun di tempat ini?" Aru melototi si koki. Si koki ini tersenyum dan terlihat satu taring. Aru mundur. Apa dia vampir?  Pintu bus bergeser. Aru berbalik. Kemudian si koki mendorongnya keluar.  Aru terlompat ke luar bus. Untuk menahan agar tubuhnya tidak terjatuh,kakinya berlari kencang seperti mobil yang tembus blong. Begitu kencang sampai Aru tak sanggup mebgehantikanya. Dia hanya berteriak teriak stop stop pada kedua kakiku ya. Tapi tentu saja kaki tidak punya telinga.  Kaki baru berhenti ketika tubuh Aru membentur sebuah kotak kayu. Aru mengaduh kesakitan.  Aru tidak sadar bahwa ada Ratusan pasang mata menatapnya dengan tajam  "Aduh! Aku nabrak apa sih? Kok ada di tengah tengah lapangan begini?"  Aru berdiri dan melihat bahwa apa yang ditabraknya tadi. Matanya membelalakkan ketika sadar benda apa itu.  Kotak kayu itu bukan sembarang benda. Itu adalah peti mati.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD