Melodi Mematikan

1211 Words
Sebuah melodi bisa mengungkapkan banyak hal. Membawa kita berayun-ayun kegembiraan dengan melodi riang. Bisa juga membuat kita menangis tergugu karena melodinya yang menyayat hati. Bagi Panji melodi adalah bagian penting hidupnya.  Sejak kecil dia sudah merasa pendengarannya sensitif. Terutama bila mendengar nada sumbang, telinganya akan sakit. Dan mulutnya akan bergerak otomatis membetulkan nada tersebut. Saat masih remaja, dia sering berkelahi dengan temannya. Sebab beberapa dari mereka mengejek Panji sebagai anak yang aneh.  Dibilang aneh tak masalah, asal mereka tak menganggunya. Mereka menganggu Panji karena dia besar di panti asuhan. Panji tidak suka itu. Dia berusaha mengabaikan cemohan tersebut dengan melarikan diri ke musik. dia merasa musik bisa menjernihkan pikiran kalutnya. Dan sekarang setelah biola Naraya di tangannya, dia merasa lebih nyaman. Musiknya tersalurkan dan dia juga mendapat pekerjaan tambahan. Meskipun dia memiliki darah bangsawan, tetapi Panji enggan menggunakan uang ataupun kekayaan dari keluarga tersebut. Dia juga hanya menganggap keluarganya hanya satu dari bangsawan Laksanaman, yaitu Bayu. Berlatih dengan Narya dia juga mengetahui beberapa rahasia, kenapa biola Naraya bisa istimewa. Selain karena adanya danyang di sana, senar dan kayu yang digunakan pada biola ini memiliki unsur magis. Yang mana tidak dimiliki oleh orang lain. Maka dari itu, biola ini tidak mudah dihancurkan. Begitu jemarinya menyentuh biola, angin berhembus menyelimuti Panji dan Aditya. Aditya merasakan sensasi dingin menerpa kulitnya.  Melodi itu mulai terdengar, menggoyangkan perlahan daun-daun yang berguguran. Membuatnya menari dan melayang membentuk anak panah. Formasi daun itu berlari cepat menuju ke arah wewe yang terpanggil dengan melodi Panji. Ketika wewe itu melihat daun itu bergerak ke arahnya, dia tidak menghindar. Ternyata daun-daun itu menjerang wewe, menembus d**a wewe. Kemudian berbalik arah ke wewe. Dedaunan itu masih menari, mengikuti melodi melodi yang riang dan mencekam, bergerak mengitari leher Wewe. Dan Aditya melihat dengan mata telanjangnya, dedaunan itu menjerat kepala wewe sampai putus. Melodi itu masih terdengar dari gesekan biola Panji. Melodi mencekam kini berubah menjadi pilu dan sendu. Mengakhiri malam yang dingin itu. *** Oriza Sativa membuka pintu rumahnya begitu mendengar deru motor anaknya berhenti di depan rumah. Istrinya sudah tertidur di kamar dengan mata sembab karena terus menangis. Begitu juga anggota keluarga lainnya. Sedangkan Arunika, dia tidak keluar kamar sama sekali sejak masuk. Mungkin kelelahan sehingga tidak menyadari betapa hebohnya malam ini. "Kalian baik-baik saja?" tanya Riza. Wajahnya leganya berubah ketika melihat Panji membawa dua orang di kedua tangannya. "Ayo masuk dulu." Panji tidak kesulitan membawa dua orang. Dia seperti menjinjing dua tas, bukan dua lelaki dewasa. Beruntung dia memiliki cincin Haya, jadi mereka tidak perlu berjalan jauh sampai ke rumah. Panji tidak menyangka bahwa cincin itu bisa berteleportasi memuat tiga orang. Dia jadi bertanya-tanya berapa orang yang bsia diangkut oleh cincin ini? Panji membawa mereka ke dalam dan menyerahkan pada anggota keluarga Oriza Sativa yang merupakan tenaga medis. Aditya duduk di ruang tamu ditemani oleh ayahnya.  "Apa yang terjadi?" tanya Riza. "Ada yang meledakkan motor, dan manusia wewe menyerang." "Ada mata-mata di antara orang kita," kara Riza berasumsi. "Tetapi kenapa bertepatan dengan mereka berdua ada di sini? Sebelumnya tidak pernah terjadi." "Pada zamanmu belum, zamanku lebih parah." Panji ingin bergabung tetapi ingat seluruh tubuhnya penuh lumpur, dia mengurungkan niatnya. Lebih baik bebersih lebih dulu.  Aditya melihat Panji kembali masuk ke dalam. "Memangnya dulu pernah terjadi lebih parah?" Riza tersenyum. "Iya, warga kita terpecah belah. Nyaris saling bunuh." "Kenapa? Apa sebabnya?" "Sebabnya karena ego masing-masing. Dulu hasil panen masih ditampung oleh tengkulak. Bukan koperasi seperti kita. Harga belinya jatuh, padahal di pasaran harga bisa melambung tinggi. Petani nggak dapat untung. Ketika Apiabadi masuk ke mari, banyak yang menentang terutama tetua dari Oriza Sativa. Mereka menganggap keberadaan Apiabadi hanya sebagai lintah yang merugikan. Kemudian para petani mogok kerja, dan Lukman berhasil membangun relasi baik dengan mereka.  Oriza Sativa kalah suara. Mereka harus menerima keberadaan ApiAbadi. Dan ternyata turun temurun, keluarga kita telah mengabdi dan menyokong Apiabadi." Aditya baru mendengar hal ini, pesona Lukman emmang tiada duanya. Bagaimana dia membangun dan membesarkan Apiabadi seperti sekarang. "Setelah Lukman meninggal, bagaimana apakah kita tetap mendukungnya?" Riza tersenyum. "Bagaimana pendapatmu tentang Panji? Apakah dia bisa dipercaya?" "Tentu saja. Aku sudah melihat bagaimana kehebatannya. Dia bisa dipercaya, Ayah." "Kalau begitu, keluarga kita akan tetap mendukung Apiabadi di bawah pimpinan Bayu." Aditya dan Riza sama -sama tersenyum, mereka saling memahami maksud pembicaraan tadi, tanpa perlu penjelasan lebih. Begitu Panji masuk dengan badan bersih dan wangi, aditya menggodanya."Mau kencan ya? Dini hari begini." Panji menyengir. "Kencan sama bantal." "Trus Nona yang bareng ke sini?" tanya Aditya memancing. "Dia nggak masuk hitungan. Cewek jadul begitu," Panji berdecak.  Riza juga ikut menggoda Panji. "Aku mendengar rumor, dia adalah calon bibimu." Wajah Panji berubah murung. "Seandainya saja ada pemusnah kutukan itu." Panji tersenyum ganjil. Dan dua orang itu tidak melanjutkan guyonannya. Mereka menghargai perasaan Panji. "Dia tidak keluar sama sekali ya?" tanya Panji. "Dia tidur apa pingsan sih? Suara ledakan itu keras banget!" Panji heran dengan kebiasaan buruk Arunika. "Aku mendengar dua orang bicara dari dalam kamar," kata Riza.  "Oh Dewanti sudah kembali ya?" Melihat dua orang itu bingung, Panji menjelaskan siapa Dewanti. "Dewanti itu danyang pedang dewa, besok kalian akan bertemu dengannya. Hati-hati dia galak!" Aditya nampak tertarik. "Katanya danyang pedang dewa sangat cantik. Cantiknya melebihi bidadari." Panji meringis. "Si tukang makan itu?" Panji menampilkan ekspresi jijik. "Porsi makannya kayak sepuluh orang!" Riza terkekeh. "Tenang, kami tidak perlu membeli beras." *** Kiandra duduk di jendelanya. Sudah beberapa hari dia berlatih fisik. Pelatihnya belum membolehkannya menggunakan busur. Dia merasa tangan dan kakinya lebih besar. Lebih tepatnya berisi otot. Sejak kedatangan pelatih itu, kehidupan putri manjanya berakhir. Ayah dan ibunya jarang mengunjungi kamarnya. Para pelayan pun tidak selalu berada di luar kamar.  Kiandra bahkan harus mengambil makanannya di dapur. Kalau tidak, dia bisa kelaparan. Kiandra juga dilarang menggunakan ponsel. Dia tidak tahu kabar apapun dari luar, dunianya terasa sepi dan membosankan. Badannya juga terasa lelah dan sakit di semua tempat. Kenapa orang itu tidak pernah mengunjunginya?  "Apakah kau merindukanku?" Suara itu mengagetkannya. Kiandra tersentak. "Sialan kau!" Hardik Kiandra. Naraya terdiam sebentar, merasa aneh Kiandra bisa mengumpatinya.  "Pergi sana!" Kata Kiandra tajam. "Aku baru saja kembali dari tugas, dan kau sudah mengusirku. Biarkanlah aku melihat wajahmu sebentar." Kiandra menutup wajahnya. Dia baru ingat, sudah lama tidak merawat wajahnya. Ritual sebelum tidurnya dengan puluhan botol skincare itu tidak disentuhnya sejak latihan fisik. Dia terlalu lelah untuk menyentuh skincarenya. Jadi setelah mandi dia langsung tidur. "Apakah melihat wajahmu juga tidak boleh?" kata naraya sedih. "Wajahku jelek. Aku lupa perawatan." "Mana jelek? Nggak ada satupun yang jelek." Kiandra membuka wajahnya. Dia merasa akan kalah kalau bicara dengan orang ini. Kiandra melihat Naraya tampak lelah, dia tidak tahu apa yang terjadi.  "Hei Nara, belakangan ini apa yang terjadi di luar? Aku ingin tahu." "Hem, kabar baik atau buruk?" "Terserah," "Bayu akan jadi kepala keluarga Laksamana." Kiandra tercekat. "Si orang arogan itu? Wah tidak menyangka egois itu mau jadi kepala keluarga. Tunggu.. keluarga Laksaman kan..." "Benar, memiliki kutukan." "Bukannya dia pacaran dengan cewek jadul itu?" Naraya mengangkat bahunya. "Kasihan. Kalau aku jadi dia, melihat pacarku selingkuh, akan kupanggang lelaki itu," sembur Kiandra. "Hati dan hidupku sudah milikmu," rayu Naraya.  Kiandra menggerlingkan matanya. "Kau tahu?" "Ya?" "Aku mulai bosan dengan rayuanmu," kata Kiandra tegas dan kembali ke kamarnya. Dia menutup pintu beranda dan mengabaikan Naraya yang masih di luar. Naraya tersenyum. "Kau tahu Kiandra? Kau sangat berbeda dengan Sang Bulan," gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD