Bab 7

1144 Words
Pertanyaan tak terduga yang keluar dari mulut Mike, membuat setiap kata yang Mia hafal di luar kepala langsung terhempas tanpa sisa. Mia tak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan tersebut dari pria yang telah dia campakkan saat itu. Ya, Mia bertanggung jawab besar mengenai kandasnya hubungan mereka. “Apa kamu hidup dengan baik dan nyaman, Amore? Atau sebaliknya?” tanya Mike lagi, saat menit berlalu dengan diamnya Mia. Mia berdeham pelan, meredakan gugup yang menyergap. Membenarkan letak kacamata bacanya, Mia kembali berujar dengan kepala fokus pada iPad, “Saya rasa, itu pertanyaan yang tidak perlu saya jawab.” Mike tertawa pelan mendengar jawaban Mia, sangat terlihat jika perempuan itu berusaha menghindar. Tawa Mike yang biasanya membuat Mia berdesir kini malah membuat bulu halus Mia berdiri dan dia merasa sesak. “Terdengar tidak sopan,” sindir Mike. Mia menggenggam Apple pencil miliknya dengan erat, dengan kepala yang masih tertunduk. “Bukankah seharusnya malam ini kita mengadakan mini party untuk reuni mantan?” tanya Mike lagi. Mengembuskan napas kasar, Mia lantas mengangkat kepala, menatap Mike yang masih duduk di atas tempat tidur dengan jas yang telah tertanggal dan kancing atas yang sudah terlepas. “Apa kita bisa membahas hal yang berkaitan dengan pekerjaan saja, Sir? Kedatangan saya di sini untuk bekerja dan bersikap profesional, bukan untuk membahas masa lalu yang pernah terjadi di antara saya dan Anda,” ucap Mia dengan tegas. “Jangan terlalu kaku, Mia. Oh, apa kamu takut pacarmu curiga tentang kedekatan kita? Apa dia tahu status kita dulu apa?” tanya Mike dengan wajah terkejut yang dibuat-buat. Mia tidak menjawab, dia hanya menatap Mike dengan wajah biasa saja, seolah tak terpengaruh. Senyum sinis tertampil di wajah tampan Mike, walaupun pria itu belum mandi sepulang dari kantor. Mike beranjak dari duduknya, pria itu melangkah mendekati Mia. Dan Mia yang sudah menebak hal itu, segera berdiri agar posisinya tidak terjebak yang mana reaksi itu membuat garis bibir Mike semakin lebar. “Kenapa kamu tiba-tiba berdiri?” tanyanya dengan wajah mengejek. Mia kembali tak menjawab. Hingga akhirnya Mike telah berdiri di hadapan Mia yang tak melangkah mundur, lantaran pikiran dan tubuhnya tidak sejalan. Mike menunduk sedikit agar dapat melihat wajah Mia yang hanya setinggi dagunya. Meniup wajah Mia, membuat kedua kelopak mata perempuan itu berkedip beberapa kali. Mike terkekeh pelan, melihat wajah polos nan lugu yang Mia tunjukkan. Kekehan pria itu kini terdengar tidak mengejek, ataupun se-sinis tadi. “Setelah makan malam, kamu bisa membahasnya nanti. Sekarang, bantu saya melepas kemeja dan dasi ini, tubuh saya sudah sangat gerah,” titah Mike. “Itu bukan pekerjaan saya, Sir,” tolak Mia. “Kamu lupa dengan poin, menuruti setiap perintah saya? Saya berkata tidak ada s e x, bukan berarti tidak ada perintah yang berbau dewasa, bukan? Saya rasa kamu tidak se b o d o h itu untuk memahami sebuah kalimat.” Topeng licik seakan telah menjadi bagian lain dari wajah Mike, karena saat ini Mia dapat dengan mudah melihatnya. “Jangan lupa dengan denda yang tertulis di akhir kontrak jika kamu melanggar poin-poin itu,” tambahnya, mengingatkan Mia hal penting lain yang tertulis dalam beberapa lembar kertas yang telah dia tandatangani dulu. “Menunduk, Sir. Tinggi kita berbeda,” pinta Mia, menyetujui perintah Mike walaupun helaan napas terdengar sebelumnya. “Sepuluh tahun ternyata tidak bisa membuatmu semakin tinggi. Benar-benar pendek!” cela Mike dengan merendahkan tubuhnya sedikit dan kedua tangan yang menumpu meja kerja Mia, membuat Mia berada dalam kungkungannya. Mia hanya memutar bola mata, sembari fokus melepas kaitan dasi yang melilit leher berjakun Mike. Mia bukan tidak tumbuh, dia sudah tinggi, namun Mike memang lebih tinggi darinya sejak dulu. Dia tidak bisa dikatakan pendek karena tinggi Mia hampir menyentuh angka 170. “Saya dengar ayah kamu sudah meninggal, dan ibu kamu pergi meninggalkanmu sendiri, turut berduka cita untukmu. Jika ditarik ke belakang, bukankah itu seperti karmamu, karena kamu juga meninggalkanku saat aku terpuruk dulu? “Bagaimana rasanya ditinggalkan orang-orang yang kamu sayang? Menyakitkan, bukan? Itu yang saya rasakan. Sayangnya, saya bisa bangkit kembali tanpa melakukan hal kotor. Sedangkan kamu? Kamu memang bangkit, tapi dengan menjadi penghangat r a n j a n g orang lain. Saya sangat yakin, kamu akan memilih s u i c i d e jika tidak menemukan tumpuan lain. Karena kamu memang selemah itu,” lirih Mike dengan nada dan tatapan yang kembali datar tanpa emosi. Setiap kata yang Mia dengar, gerakan tangan perempuan itu semakin lambat dengan ingatan masa lalu yang kembali terputar ulang. “Hukum tabur tuai itu selalu berlaku, Mia. Dan yang kamu tabur hanyalah luka untuk orang lain, dan yang kamu tuai pun hanya akan sebuah luka yang pastinya lebih menyakitkan,” lanjutnya. “Apa yang kamu maksud, Mike?” Mike berdecih sinis, terlebih ketika mendengar Mia berani menyebut namanya secara langsung. “Aku pergi, terima kasih bantuannya.” Mia melihat punggung Mike yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu. Mia mendongak, menatap langit putih yang menjadi atap kamarnya. Kedua tangannya mengepal erat, tak membiarkan air mata jatuh dari kedua matanya, karena orang yang dia kenal kembali mengingatkan Mia tentang sikapnya dulu. Di saat Mia sedang mengatur emosi yang meluap-luap dalam dirinya, ponsel yang ada di atas meja berdenting. Mia melihat layar yang memperlihatkan nama Willy. |Photo |Gue kangen lo, terus gue lihat video-video kita dulu. Hasilnya gini, dia kangen sama lo. Mia hampir melempar ponselnya ketika membuka ponsel dan melihat ruang berbagi pesannya dengan Willy. Pria itu benar-benar memiliki kebiasaan yang g i l a, Mia tidak terkejut dengan video yang Willy maksud. Willy memang tak jarang mengambil video saat mereka sedang b e r c i n t a, namun tidak menunjukkan wajah mereka. Pria itu berkata, akan dia gunakan sebagai kenang-kenangan. Mia awalnya menentang keras, namun dia tidak bisa berbuat banyak jika Willy sudah membuat keputusan. Jangan kirim foto aneh-aneh bisa, Will?| Aku nggak nyaman| |Sok-sokan nggak nyaman, dia yang bikin lo keenakan kalau lo lupa. |Sabtu jangan lupa, gue udah siap buat lo pingsan. Mia tak membalas, dia hanya membaca lalu menutup dan meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja kerja. Teringat jika dia belum membersihkan tubuhnya sejak sampai di rumah ini, Mia pun memilih pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya sembari berendam untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tak dia inginkan kedatangannya. *** “Aku mau kita putus!” Di depan tanah kuburan yang masih basah dengan bunga segar yang menghiasi, ucapan seorang perempuan membuat hati pria yang telah remuk semakin remuk. “Jangan bercanda, Amore. Kamu tidak mau berdoa untuk mereka? Kamu baru datang, ‘kan?” sahutnya dengan nada yang masih lembut, walaupun suara serak lantaran dia menangis bisa terdengar jelas. “Nggak ada alasan untuk aku bertahan sama kamu, Mike! Kamu udah jatuh miskin, nggak ada yang bisa aku harapin dari kamu. Sejak kecil aku hidup berkecukupan, mana mungkin aku mau pacaran sama orang miskin kayak kamu. Mulai hari ini kita putus! Jangan pernah hubungi aku lagi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD