Bab 1

1074 Words
Arum terlihat sibuk merapikan bunga-bunga yang tertata di etalase. Ia mulai menyortir mana bunga yang masih segar dan mana yang sudah layu, lalu mengganti yang layu dengan yang baru. “Arum, udah hampir jam lima sore nih. Tolong masukin bunga-bunga yang di luar, ya,” suara Kak Dewi terdengar dari arah kasir. Arum menoleh dan tersenyum ramah. “Oke, Kak Dewi.” Dewi adalah pemilik toko bunga tempat Arum bekerja. Sudah empat tahun Arum bekerja di toko milik wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu. Setelah selesai merapikan bunga di dalam, Arum segera keluar untuk memindahkan bunga-bunga pajangan dari depan toko. Ia mulai memasukkan satu per satu karena toko akan segera tutup. Tinggal satu pot bunga lagi yang belum masuk. Saat hendak mengangkatnya, tiba-tiba handphone di saku bajunya berdering. Arum mengurungkan niat, meletakkan kembali pot bunga itu, dan mengeluarkan ponselnya. Editor Rara tertulis di layar. Arum segera menjawab panggilan itu dan menempelkannya ke telinga. “Hallo, Mba Rara,” sapanya. “Hallo Arum, aku punya kabar bahagia buat kamu!” jawab suara di seberang dengan penuh semangat. Selain menjadi penjaga toko bunga, Arum juga bekerja sebagai penulis novel di salah satu platform online yang cukup terkenal di Indonesia. Rara adalah editornya. “Kabar bahagia apa, Mba?” tanya Arum penasaran. “Novel pertama kamu dilirik produser, Rum. Sebentar lagi bakal difilmkan!” “Ini beneran, Mba?!” Arum nyaris berteriak saking girangnya. “Bener dong! Masa aku bohong sama kamu?” sahut Rara sambil terkekeh. Arum melompat kegirangan. Setelah dua tahun menulis, akhirnya mimpinya melihat karya tulisnya tampil di layar lebar mulai terwujud. Penghasilan dari pekerjaan utamanya dan menulis novel memang pas-pasan. Jadi kabar royalti film ini tentu saja jadi hal yang luar biasa baginya. “Besok kamu ke kantor ya. Kita bahas soal kontrak. Kalau kamu setuju, bisa langsung tanda tangan,” jelas Rara. “Oke, Mba. Besok aku langsung ke kantor,” jawab Arum antusias. Setelah menutup panggilan, Arum kembali memasukkan ponselnya ke saku dan mengangkat pot bunga terakhir untuk dibawa ke dalam. “Kak Dewi!” teriaknya saat masuk ke toko dengan pot bunga terakhir. “Kenapa sih, Arum? Teriak-teriak segala,” sahut Dewi dari balik meja kasir. Arum meletakkan pot bunga, lalu berlari kecil menghampiri Dewi dengan wajah berseri-seri. “Novel pertamaku bakal difilmkan, Kak!” Dewi yang semula duduk langsung berdiri, terkejut sekaligus ikut bahagia. “Serius? Ini beneran?” Arum mengangguk cepat. Dewi langsung memeluknya, dan mereka berdua melompat kegirangan seperti anak kecil. “Setelah dua tahun, akhirnya mimpimu terwujud juga ya, Rum,” ucap Dewi dengan mata berbinar. “Iya, Kak!” Mengingat sesuatu, Arum segera melepas pelukan dan menatap Dewi dengan serius. “By the way, besok aku boleh izin, ya? Aku harus ke kantor buat bahas kontrak. Kalau cocok, langsung tanda tangan.” Dewi mengangguk mantap. “Boleh banget dong! Besok kamu aku liburin seharian.” Ia melirik Arum menggoda. “Asal aku kebagian sedikit dari royalti film nanti, ya.” Arum tertawa. “Tenang, Kak. Nanti aku sumbangin tambahan modal buat toko ini!” “Ya ampun, makin sayang deh aku sama adikku yang cantik ini,” sahut Dewi sambil memeluk Arum lagi. Arum hanya tertawa geli mendengar pujian itu. ***** Keesokan harinya, Arum menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar. Ia berdiri di depan gedung kantor Media Wardi, sebuah perusahaan media dan seni yang membawahi banyak divisi, termasuk MWnovel, platform tempat Arum mempublikasikan novelnya dan kini menaungi kontrak film adaptasi karyanya. Setelah merasa cukup tenang, Arum masuk ke dalam gedung dan langsung menuju meja resepsionis. “Halo, Mba. Ada yang bisa saya bantu?” sapa resepsionis ramah. “Saya Arum, penulis di MWnovel. Editor saya, Mba Rara, menyuruh saya datang hari ini,” jawab Arum. “Baik, Mba Arumi ya? Saya konfirmasi dulu ke divisi MWnovel,” ucapnya. Beberapa saat kemudian, setelah menutup telepon, ia menyerahkan kartu akses. “Silakan ke lantai lima, belok kiri, di sana ruangan divisi MWnovel.” “Terima kasih, Mba,” ucap Arum sambil menerima kartu itu dan berjalan menuju lift. Sesampainya di lantai lima, Arum mengikuti arahan, menyusuri lorong hingga menemukan pintu kaca besar bertuliskan MWnovel. Ia masuk dan melihat ruangan luas dengan banyak meja kerja dan karyawan yang sibuk. “Arum, ya?” sapa seorang wanita yang menghampirinya. “Iya, saya Arum.” “Aku Rara, editormu,” ujar wanita itu sambil tersenyum dan mengulurkan tangan. “Akhirnya kita ketemu juga.” “Ya ampun, Mba Rara! Nggak nyangka akhirnya bisa ketemu langsung,” sahut Arum, membalas jabat tangannya. “Iya, kamu ternyata cantik juga, lho!” goda Rara. “Yuk, langsung ke ruang meeting. Tim sudah menunggu.” Arum mengikuti Rara menuju ruang meeting berdinding kaca. Di dalam, ada tiga orang: satu pria dan dua wanita yang semuanya tersenyum ramah saat Arum masuk. “Halo semuanya, kenalin ini Arumi Naswa, penulis Cahaya Senja,” ujar Rara. Arum menyalami mereka satu per satu. “Ini Pak Seno, General Manager MWnovel. Ini Mba Vika, asistennya. Dan ini Mba Indah, Kepala Editor,” jelas Rara. “Silakan duduk, Arum,” kata Pak Seno. Setelah duduk, Pak Seno menyerahkan selembar dokumen. “Ini kontrak untuk adaptasi film novelnya. Proses perfilman akan diurus oleh Divisi Perfilman Media Wardi. Setelah tandatangan, kamu akan mulai meeting dengan tim mereka.” Arum mengangguk paham dan mulai membaca kontraknya. Matanya membelalak saat melihat nominal royalti yang akan ia terima. “Bagaimana, ada yang ingin ditanyakan?” tanya Pak Seno. Arum cepat-cepat menggeleng. “Nggak, Pak. Semua sudah jelas.” “Kalau begitu, bisa langsung ditandatangani?” tanya Rara. Arum mengangguk. Ia mengambil pulpen dan menandatangani dokumen tersebut tanpa ragu. Semua orang di ruangan itu tersenyum lega. “Semoga kerja samanya lancar ya, Arum,” ucap Pak Seno. “Iya, Pak. Terima kasih.” Tiba-tiba pintu terbuka. “Maaf saya terlambat,” ucap seorang pria bersetelan jas masuk ke ruangan. Semua kepala menoleh ke arah pintu. Arum menatap pria itu dan napasnya tercekat. Ekspresi wajahnya langsung berubah. “Perkenalkan, Arum,” kata Pak Seno, “ini Pak Bagas Mawardi. Beliau akan menjadi produser untuk film adaptasi novel kamu.” Perkenalan itu bagai boomerang bagi Arum. Kalimat bahwa “Jakarta itu sempit” tampaknya benar adanya. Dari sekian banyak produser di dunia, mengapa harus mantan suaminya sendiri yang terlibat dalam proyek ini? Setahu Arum, pria itu masih di luar negeri. Sejak mereka bercerai, Bagas memilih melanjutkan studi S2-nya di Amerika. Tapi kini, pria itu berdiri di hadapannya... dalam satu ruangan yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD