bc

Ambil Saja Suamiku!

book_age18+
36
FOLLOW
1K
READ
revenge
dark
reincarnation/transmigration
HE
time-travel
arranged marriage
drama
loser
city
office/work place
cheating
rebirth/reborn
assistant
like
intro-logo
Blurb

Rayya Bhumi, produser cantik yang dibunuh oleh suaminya sendiri, saat suami benalunya itu kepergok sedang berselingkuh dengan sahabat dekatnya.

Rayya secara ajaib tiba-tiba terkirim kembali ke masa tiga tahun lalu, sebelum dia menikah dengan suami yang salah, sebelum dia menderita sakit kanker p******a stadium 4.

Dia seperti terlahir kembali, dan mendapatkan kesempatan kedua untuk membalas dendam pada pengkhianatan suami dan sahabatnya.

Sulit memang! Tapi seorang pria dingin yang tak disangkanya, justru membantu Rayya dalam pembalasan dendam dengan cara memanipulasi takdir hidup Rayya. Tapi, akankah itu berhasil?

chap-preview
Free preview
BAB 1. Salah Pilih Suami
Februari 2025 Pernikahan Rayya Bhumi dengan Yudhistira Wiguna, berlangsung sangat meriah dan mewah. Di ballroom utama sebuah hotel bintang lima, yaitu Hotel Jakarta Internasional. Sesuai dengan keinginan Prisha, ibunda dari Yushistira. Yang memiliki mimpi bisa melihat pernikahan yang mewah dan megah, untuk anaknya. Yang akhirnya terlaksana dengan uang tabungan Rayya dan Yudhis yang nyaris terkuras habis. Ditambah sponsor utama oleh bos besar di perusahaan mereka. Sebagai hadiah pernikahan untuk produser paling kompeten, Rayya si gadis intovert. “Ohh menantuku cantik sekali! Beruntungnya putraku memiliki istri secantik dan sebaik ini!” Prisha memegangi kedua tangan Rayya. Seusai pesta pernikahan. “Terima kasih—Bu.” Rayya tersenyum canggung. Baru beberapa hari ini dia memanggil Prisha dengan sebutan ‘ibu’, bukan tante lagi. Sesulit itu Rayya beradaptasi. Padahal dia dengan Yudhis sudah tiga tahun menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. “Tentu saja cantik, istriku ini nggak ada duanya, Bu. Rayya sangat istimewa. Selain cantik dan baik hati, Rayya juga sangat cerdas. Dia ini kesayangan bos di kantor. Iya kan, Sayang?” Yudhis tersenyum menggoda pada Rayya. Rayya segera menggeleng. “Nggak begitu. Kamu terlalu berlebihan, ah. Aku—” Rayya tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Sebab dilihatnya seseorang di sana sedang berjalan menaiki panggung pelaminan. Seorang pria tinggi tampan dengan setelan jas berwarna biru dongker. Yusdhis dan Prisha jadi mengikuti arah pandangan Rayya. Yudhis langsung mengangguk sekali, menunjukkan gestur menghormati. “Pak Arjuna.” Dipta Arjuna, CEO dari salah satu rumah produksi film Indonesia yang terbesar, Arjuna Sparkling Pictures, yang sering disingkat menjadi ASP. Melangkah gagah mendekati kursi pelaminan. “Selamat ya, Mbak Rayya. Selamat, Mas Yudhis.” Tujuh Bulan Kemudian. Rayya menghela napas dalam. Terasa sesak. Terasa dingin. Mungkin karena tubuhnya sudah semakin kurus sekarang. Jadi tidak ada lagi lemak yang bisa menghalau udara dingin, supaya tidak cepat menembus ke tulang. “Rayya, ayolah! Sudah, berhenti dengan semua kegiatan dan pekerjaanmu di luar sana. Sekarang, waktunya hanya untuk mengurus dirimu sendiri. Memperhatikan semua tentang kamu sendiri, bukan orang lain!” Kali ini Dokter Johan menegakkan punggung. Menatap pasiennya yang paling bandel, di seberang meja. Rayya tersenyum kaku. Miris. Menunduk. Lalu menggeleng. “Saya tetap harus bekerja, sampai saya meninggal,” ucapnya. Pelan. “Ck, ah! Kanker p******a bukan masalah kecil, sudah saya bilang sejak jauh hari. Tapi kamu terlalu ngeyel. Sekarang dengan begitu cepat sudah masuk stadium empat.” Dokter berusia lima puluhan itu memegang kedua tangan Rayya di atas meja. Bagaikan pada putrinya sendiri, menatap penuh empati dan rasa sayang. “Rayya, kamu masih sangat muda. Kamu pasti kuat menjalani radioterapi. Saya akan membantu semaksimal mungkin. Ya?” Perlahan Rayya menarik tangannya dari genggaman hangat sang dokter senior. “Terima kasih, Dokter. Saya pikir dulu, ya. Sekarang saya harus pulang. Ini sudah terlalu sore.” Dokter Johan menatap wajah sendu Rayya. “Besok, apa kamu masih masuk kerja?” Rayya tersenyum. “Semoga masih, Dokter. Saya permisi. Sekali lagi terima kasih.” Rayya Bhumi, pasien kanker p******a stadium 4, baru berusia 26 tahun, bulan lalu. Berjalan gontai keluar dari lobi utama rumah sakit. Dilihatnya langit masih cukup cerah, padahal sudah hampir jam lima sore. Baru saja kakinya melangkah untuk menuju halte depan rumah sakit, tiba-tiba gerimis turun. Rayya meringis, rasa dingin kembali menusuk. Padahal masih hanya gerimis. Dia terus melangkah, takut nanti malah hujan semakin deras. Memayungi kepalanya dengan tas selempang berisi uang recehan dan kertas-kertas dokumen dari rumah sakit. Saat rasa dingin semakin menusuk, Rayya mengernyit, menengadah menghadap langit. Satu tangannya masih memegangi tas di kepala, satu tangan lagi dia angkat. Kedua alisnya terangkat serta bola mata yang membulat sempurna. Saat terasa bongkahan kecil di atas telapak tangin. “Salju? Ini hujan es?” gumamnya. Tak percaya. Rayya menggigil. Dari kejauhan dia lihat sebuah sedan biru mendekat. “Taksi!” panggilnya. Taksi berhenti. Rayya masuk lalu duduk. Rasa hangat seakan menjalar seketika. Nyaman sekali. Namun itu saja tak cukup membuatnya bisa tersenyum kembali. Pandangannya hanya ke arah luar kaca jendela. Sopir taksi, seorang pria berkacamata dengan rambut sudah beruban nyaris seluruhnya, sesekali memandangi wajah pucat penumpangnya dari kaca spion dalam. “Maaf, Mbak. Kita mau kemana?” Rayya tersentak. “Oh iya, maaf Pak. Ke Perumahan Gading Serpong ya, Pak. Nanti kalau sudah masuk gerbangnya saya tunjukin jalannya lagi.” “Baik. Ehm maaf, Mbak. Tadi Mbak habis menjenguk keluarga, ya?” Tadi Rayya berdiri tepat di halte depan Rumah Sakit Kanker Jakarta. Saat memberhentikan taksi. Rayya menoleh ke depan, lalu menggeleng. “Bukan, Pak. Saya yang sakit.” Lalu kembali melihat ke arah luar jendela. Sopir taksi kembali melihat lewat kaca spion. Wajah penumpangnya begitu pucat. Begitu kurus. “Mbak akan sembuh,” katanya. Lalu tersenyum tipis. Kening Rayya mengernyit mendengar itu. Dia kembali melihat ke arah depan. Ke arah kursi sopir. “Saya kanker p******a sudah stadium 4, Pak. Nggak mungkin bisa sembuh lagi. Hidup saya paling lama enam bulan lagi. Tapi ….” Rayya tersenyum. Menggelengkan kepala, pelan. “Lebih baik saya meninggal. Daripada hidup tapi dianggap mati. Suami saya—nggak pernah mau antar saya berobat. Padahal dia selalu di rumah. Lalu mertua saya—terus memaksa saya bekerja, padahal napas saya sudah sering sesak. Tapi yahh ….” Rayya tersenyum getir. “Saya memang harus terus bekerja, asuransi saya sudah over limit, saya harus tetap beli obat dan untuk uang belanja di rumah.” Rayya mengusap wajah pucatnya. Lalu mengusap tulang selangka di bawah leher, begitu terasa menonjol. Sekurus inikah dirinya. Kemudian turun lagi, mengusap dadanya bagian kiri, rata. Entahlah, tiba-tiba saja dia ingin bercerita tentang dirinya, saat ini. Padahal biasanya dia cukup tertutup, apalagi pada orang yang belum dikenal. Namun Rayya pikir, meskipun dia bercerita tentang semua nasib buruknya pada pak sopir taksi, biarlah saja, toh belum tentu mereka akan bertemu kembali. “Ohh, kalau keluarga Mbak-nya, bagaimana?” “Hem? Orangtua saya … sudah meninggal dua tahun lalu, Pak. Kecelakaan pesawat. Dan saya anak tunggal. Andaikan mama papaku masih ada, usia segini saya pasti masih dimanja, Pak.” Lirih. Miris. Air mata menetes tanpa bisa ditahan. Biasanya, Rayya sudah tidak bisa lagi menangis. Air mata sudah kering, energinya seperti terkuras, bahkan hanya untuk sekadar menangis. Tapi kali ini, dia bisa menangis sesenggukan. Sampai taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah dua lantai, bercat merah muda dan abu-abu. Sopir taksi menoleh ke belakang, menyodorkan tisu. “Mbak yang sabar, ya. Ada yang namanya keajaiban, mukjizat, di luar nalar manusia. Tapi itulah, dari tangan Tuhan.” Rayya mendongak. Sontak dia terbelalak, menganga. Ketika melihat wajah sopir taksi. “Papa?” desisnya pelan. Diambilnya tisu dari tangan pak sopir, lalu mengusap air mata yang masih mengembun. Barulah dia tersadar, itu bukan papanya. Hanya—mirip. Sama-sama pakai kacamata, sama-sama sudah beruban, dan sama-sama memiliki senyuman yang hangat di wajahnya yang sudah mulai berkeriput tipis. Rayya mengangguk. “Terima kasih, Pak. Oh iya, sebentar.” Dia merogoh dompet di dalam tas. Lalu memberikan dua lembaran merah pada sopir. “Ini, Pak.” Namun sopir menggeleng. “Nggak usah, Mbak. Simpan saja uangnya.” “Loh? Eh, nggak perlu begitu, Pak. Saya masih ada uang kok. Lagipula—” “Simpan saja uangnya, Mbak. Anggap saja untuk kehidupan Mbak berikutnya. Saya ikhlas. Lagipula, ini hari terakhir saya sebagai sopir taksi. Mbak adalah penumpang terakhir saya. Tolong, simpan saja uangnya.” Akhirnya Rayya mengangguk. “Terima kasih, Pak.” Dia keluar dari taksi. Udara dingin langsung menyergap. Karena hujan masih belum berhenti. Rayya mengeratkan jaket. Tapi dia masih berdiri di sana, menatap taksi yang beranjak pergi. Kaca jendela depan terbuka, terlihat sopir melambaikan tangan. Rayya tersenyum, ikut melambaikan tangan pada sopir. Dirasanya bongkahan es kembali mendarat di telapak tangan. Lalu dia berjalan memasuki gerbang pagar rumah. Setelah menutup pagar, Rayya terdiam mematung, dia tersentak, ingat sesuatu. “Loh, aku kan belum kasih tau alamat rumah ini tadi? Kok bapak itu bisa tau, ya?” gumamnya terheran. Pintu depan terbuka. “Oh, kamu yang buka pagar? Cepat masuk! Makan malam belum disiapkan tuh!” Prisha menutup pintu. Dia tidak mau menunggu menantunya sampai berjalan mendekat. Terlalu lama pikirnya, nanti udara dingin bisa masuk ke dalam rumah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
304.4K
bc

Too Late for Regret

read
254.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
133.5K
bc

The Lost Pack

read
356.9K
bc

Revenge, served in a black dress

read
139.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook