Bab 5 - Apa itu Akur?

1036 Words
Pagi pertama di rumah ini, Alin bangun dan beranjak dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Alin pun buru-buru cuci muka dan menggosok gigi, semalam ia tidak sempat bertemu Rio sehingga pagi ini ia harus menemuinya sebelum kakaknya itu pergi bekerja. Rio adalah seorang manajer di sebuah perusahaan investasi. Tentunya investasi resmi, bukan abal-abal alias bodong. Jam kerjanya yang lumayan sibuk membuatnya lebih sering berada di kantor daripada di rumah, tak peduli itu hari kerja maupun akhir pekan. Tak jarang Rio pulang tengah malam. Namun, kesibukan pria itu berbanding lurus dengan pendapatan yang dihasilkan. Ya, gaji Rio bisa dikatakan lumayan. Di ruang makan, tampak Rio sudah berpakaian rapi. Alin langsung menarik kursi tepat di samping pria itu. "Pembohong, katanya pulang jam tujuh malam. Nyatanya apa? Jam sepuluh pun Mas belum pulang," gerutu Alin. Sejenak, ia juga memperhatikan sekeliling, tidak ada Dewi di sana. Bagus. "Wah, ternyata kamu udah bangun. Gimana tidurnya, nyenyak?" "Enggak usah basa-basi, Mas. Mau mengalihkan pembicaraan?" "Bukannya Mas udah kirim chat, supaya kamu jangan nungguin Mas? Kamu pasti baca, kan? Cuma nggak mau balas." Alin cemberut. "Adiknya datang jauh-jauh bukannya disambut." "Ya maaf, Mas semalam ada urusan mendesak sekaligus mendadak. Mas nggak bohong." "Sejak kapan ada hal yang lebih penting daripada adik satu-satunya Mas ini?" "Banyaklah, kamu pikir kamu satu-satunya prioritas?" balas Rio sambil terkekeh. "Jangan kepedean, Alin," ledeknya kemudian. Alin tidak lagi menanggapi topik tentang semalam. "Oh ya, Mas mau berangkat kerja?" "Menurutmu?" "Kirain mau libur, gitu." "Emang kenapa? Kamu butuh sesuatu atau mau pergi ke suatu tempat? Bilang aja, biar Mas yang beli sepulang kerja." "Bukan, tapi aku mau ketemu temen." "Emang kamu punya temen di sini, Lin?" Rio tampak menerka-nerka. "Loh, Mas lupa? Aku, kan, pernah tanya dekat nggak sama daerah temenku." "Oh, yang itu ... iya Mas nggak lupa, kok. Itu agak jauh loh. Dia mau ke sini, kan? Jangan bilang kamu yang ke sana?" Alin memang memiliki teman di kota ini, namanya Diana. Mereka cukup dekat saat masih sekolah dan sepakat bertemu jika Alin resmi pindah. Awalnya Alin berpikir mereka akan bertemu beberapa hari lagi atau setidaknya akhir pekan. Namun, Alin sendiri agak terkejut saat Diana mengajaknya bertemu siang ini. Alin tentu mengiyakan, mengingat tidak mudah mencari waktu senggang bagi Diana yang kini sibuk mengurus batita, buah pernikahannya dengan sang suami dua tahun lalu. Ya, temannya itu memang sudah menetap di sini semenjak menikah dengan suaminya dua tahun lalu. Kalau tidak bertemu sekarang, memangnya kapan lagi? Belum tentu mereka bisa bertemu di lain waktu. "Rencananya kami ketemuan di salah satu tempat makan, Mas. Boleh, kan?" Rio mengernyit. "Di mana? Kapan? Ada siapa aja?" Baiklah, interogasi dimulai. "Cuma ada Diana aja, kok. Nanti siang di restoran Lili, sekalian makan siang. Gitu, Mas." "Maksudnya kamu mau ke sana?" Alin mengangguk. "Diana-nya ngejemput kamu ke sini?" "Astaga. Mas ngerti namanya ketemuan di suatu tempat nggak, sih?" "Kamu nggak takut nyasar? Kamu bahkan belum ada 24 jam di sini." Rio mulai galak. "Mas nggak izinin." Benar dugaan Alin, masuk akal juga kakaknya itu tidak memberi izin. Sayangnya Alin tetap ingin pergi. "Kecuali dia mau jemput dan antar kamu lagi," tambah Rio. "Itu nggak mungkin, Mas. Lagian aku bisa baca Maps, kok. Teknologi udah canggih masa nyasar, sih?" "Jangan banyak tingkah, Lin. Diam aja di rumah. Memangnya kamu tahu harus naik apa aja? Hmm, atau kamu mau ikut sekalian pas istri Mas berangkat kerja? Ah, nggak deh. Nanti pulangnya gimana." Rio mempertimbangkannya. "Tempat kerja Mbak Dewi ngelewatin restoran ini?" "Iya, kamu mau ikut? Kalau iya siap-siap dari sekarang." Rio tentu tidak benar-benar dengan perkataannya. Sedikit pun ia tidak mengizinkan karena khawatir bagaimana cara adiknya pulang. Ia mengatakan itu karena tahu Alin pasti menolak ikut. "Mas, aku janjiannya siang ini. Sekarang masih pagi," protes Alin. Lagian pasti tidak nyaman berada satu mobil dengan kakak iparnya. Alin jelas tidak mau. "Ya terus mau kamu gimana, Lin? Jangan bikin Mas pusing pagi-pagi deh." "Mas pernah bilang ada motor nganggur, SIM-ku masih aktif loh." "Bahaya, Alin. Jalanan di sini beda dengan di lingkungan orangtua kita. Pokoknya nggak!" "Terus ngapain bilang motornya nganggur? Ah, udah aku duga. Mas bilang aku boleh ke mana-mana naik motor itu cuma modus aja supaya aku mau pindah ke sini!" Rio mengembuskan napas frustrasi. "Maksudnya buat ke mana-mana di sekitar sini, Lin. Ke minimarket contohnya, bukan buat pergi sejauh itu. Pokoknya sekali nggak, tetap nggak." "Lama-lama Mas jadi mirip Bapak, ya. Ah iya ... kan anaknya," balas Alin kesal. "Mas kamu benar, Lin. Terlalu bahaya kalau pergi sendiri, apalagi naik motor yang kamu sendiri belum tahu seluk-beluk daerah sini. Jangankan naik motor, bahkan naik angkutan umum atau ojek online pun Mbak juga nggak izinin," timpal Dewi yang sudah mengenakan pakaian rapi, hendak pergi ke tempat kerjanya. Wanita itu memang mengelola sebuah outlet roti bersama sepupunya. Dewi melakukan itu untuk mengisi waktu luangnya. "Masalahnya siapa yang minta izin sama situ?!" Tentu saja Alin mengatakannya dalam hati. "Terlepas dari kamu bisa baca Maps atau apa pun itu, kami tetap nggak izinin," putus Rio lagi bersamaan dengan Dewi yang sudah duduk di kursi makan. "Kalau pengen banget ketemu temenmu itu, pas Mas libur aja supaya bisa antar dan jemput kamu secara langsung." “Masalahnya adalah … kapan Mas Rio libur? Bukannya weekend juga lebih sering masuk kerja? Nyari duit memang penting, tapi nggak usah gitu-gitu amat, Mas. Kesehatan perlu dijaga, istirahat juga perlu. Lagian ya, kalau Mas libur dan siap anterin aku … belum tentu Diana-nya siap ketemu.” “Pokoknya Mas nggak terima alasan. Mas tetap nggak mengizinkan kamu keluar,” putus Rio yang tidak bisa diganggu gugat. "Sekarang mendingan kamu makan, Lin," tawar Dewi yang berusaha menghentikan suasana menegangkan antara kakak beradik itu. "Semoga kamu suka masakan Mbak, ya." "I-iya, Mbak. Makasih," jawab Alin, terpaksa. "Sayang, aku siapin makannya, ya." Dewi lalu melayani sarapan suaminya. Rio tersenyum. "Terima kasih, Istriku." "Ngomong-ngomong, Alin nggak apa-apa, kan, di rumah sendirian?" tanya Dewi yang bagi Alin sangat sok akrab. "Mbak sebenarnya mau libur demi nemenin kamu, tapi—" "Enggak usah repot-repot, Mbak," potong Alin cepat. Jelas ia lebih bersyukur kalau kakak iparnya tidak ada di rumah. "Nanti kapan-kapan Mbak ajak kamu mampir ke toko roti deh." "Tuh, Mbak-mu itu pengen akur sama kamu, Lin. Hargai," kata Rio. Alin berusaha tersenyum. Akur? Apa itu akur?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD