SINTING!
“Kalian bertunangan? Secepat itu?”
Cinta pertamanya justru mengukir senyuman hangat, sementara kedua mata Gyan terhalang embun. ‘Gila! Siapa pun, tolong bilang kalau gue salah dengar.’
“Kami sudah menikah, Kak. Dan aku... sangat mencintainya,” aku Diana lagi.
“Kamu bercanda?” Mereka pernah berjanji untuk bersama. Rasanya tidak mungkin Diana berpaling begitu saja.
‘Lo yang gila, Yan! Bisa-bisanya sebelas tahun ngga ngasih kabar lo kategorikan sebagai ‘begitu saja’.’
“Ngga. Buat apa hal kayak gini Diana bercandain?” ujar Diana lagi.
Yang lebih menyesakkan, Diana mengatakannya dengan begitu tenang, seolah tak pernah ada kisah apa pun antara mereka di masa lalu.
‘Sebegitu terlambatnyakah aku, Di?’
Gyan terkekeh singkat. Bukan karena lucu, namun untuk menyembunyikan perih di hatinya. Ia menunduk, mengusap tengkuknya, sementara debur ombak menyembunyikan detak jantungnya yang kacau.
Diana Maya. Gadis panti asuhan yang dulu ia klaim sebagai ‘miliknya.’
Keduanya tumbuh di Panti Asuhan Karunia Kasih, sebuah bangunan tua di pinggiran Jakarta yang menjadi saksi segala mimpi dan lapar mereka.
Sejak Diana terlahir, Gyan-lah yang selalu menemaninya. Adalah momen langka jika mendapati Gyan tak menempeli gadis itu.
Dan begitulah mereka hidup... Diana mengekori Gyan ke mana pun, dan Gyan tak pernah melangkah tanpa memastikan Diana ada bersamanya.
Hingga akhirnya hari itu tiba — hari di mana seorang pria berkebangsaan Prancis, Antoine Elroy, datang bersama Edith—istrinya—untuk mengadopsi anak. Mereka tak punya keturunan selama dua puluh tahun pernikahan, namun punya segalanya untuk diberikan; uang, rumah, pendidikan, dan peluang.
Dari sekian banyak anak yang siap diasuh, mereka memilih Gyan beserta seorang bayi mungil yang belum lama datang ke panti.
Bukan hal mudah bagi Gyan mengambil keputusan. Tak pernah terbersit di pikirannya meninggalkan Diana. Pun ia sudah berusaha meminta pengelola panti untuk bicara pada calon orangtuanya agar menyertakan Diana juga. Sayangnya, keputusan Antoine dan Edith tak bisa diganggu gugat.
Malam keberangkatan itu adalah malam tersunyi sepanjang hidupnya. Gyan tak berpamitan—hanya menunduk, mengecup kening Diana yang tengah terlelap, lalu pergi dengan sedan hitam mewah yang membawa hidupnya ke arah lain.
‘Maafin Kakak, Di. Nanti Kakak jemput, ya, sayang,’ batinnya kala itu.
Namun... nyatanya ‘nanti’ itu tak pernah datang.
Kini Gyan bukan lagi anak panti yang hidup dengan segala keterbatasan. Ia adalah Alexander ‘Gyan Magani’ Elroy, anak angkat seorang penengah dunia mafia yang dihormati dan ditakuti banyak orang.
Sejak kepergian sang ayah, beban itu jatuh di pundaknya. Ia bukan bos mafia yang kejam seperti di film-film box office, namun jembatan antar dunia gelap, pengatur keseimbangan yang dibutuhkan agar para penguasa tak saling membunuh. Sebuah warisan yang bukan berupa harta, namun tanggung jawab... juga kutukan.
Satu-satunya hal manusiawi yang tersisa di dirinya hanyalah kenangan akan gadis panti yang dulu ia tinggalkan.
Sayangnya, gadis itu justru dengan bangga menunjukkan cincin pengikat di jari manisnya. Bukan milik Gyan, namun milik pria lain.
Dunia benar-benar tau cara bercanda dengan menghancurkannya berkali-kali.
“Cewek itu siapa Kak?”
Pertanyaan Diana barusan membuat Gyan mengalihkan titik pandang ke seorang gadis yang datang bersamanya dari Paris. Belle—seorang sahabat yang selalu ada untuknya sejak beberapa tahun lalu. ‘Pantas Tuhan ngirim Belle ke hidup gue, biar gue ngga gila saat makin banyak orang yang gue cintai menghilang atau menjauh. Dan Belle pun suatu hari bakalan begitu.’
“Oh, my friend. Best friend. Dia juga bantu jalanin perusahaan Père dan Mère,” jelas Gyan. Yang Gyan maksud adalah ayah dan ibu angkatnya.
“I see. Cantik,” tanggap Diana.
Gyan berdecak, menahan kekehannya. Ia juga tak buta, ia sangat tau Belle cantik, sesuai namanya.
“Nikah sama sahabat sendiri ngga dosa lho, Kak,” ujar Diana lagi.
“Kok malah jodoh-jodohin aku?”
“Ngga. Diana cuma ngasih tau aja. Bukan FWB kan?”
‘Friend With Benefits apaan? Tapi benar juga sih, gue manfaatin Belle sebagai partner bisnis, biar ngga berasa gelap banget hidup gue. At least adanya Belle bikin gue ngerasa ‘normal’ di beberapa waktu.’
Gyan mendengus, sementara Diana tergelak renyah. Gyan tak perlu menjawab pertanyaan konyol barusan bukan? Lawan bicaranya pun sepertinya paham, perjodohan tiba-tiba itu tak lanjut dibicarakan, beralih ke hal lain — seperti sepotek pedih saat kepergian ayahnya.
Hingga... sudah waktunya Gyan menarik diri. Ia juga manusia, butuh waktu untuk bernapas sejenak setelah kenyataan pahit lainnya mendera.
Terlambat sebelas tahun. Terlalu lama untuk menagih janji, terlalu pendek untuk benar-benar lupa.
“Aku bahagia, Kak,” ujar Diana di penghujung petang.
Sial memang! Tak ada kebohongan di sorot mata Diana. Gyan juga pernah berjanji akan membuatnya bahagia. Tapi dunia ternyata punya selera humor yang kejam.
Saat Gyan pamit menjauh, ia sangat tau... tak lagi ada ruang untuk berharap.
‘Selamat, Di,’ batinnya, perih namun tulus. Gyan tak pernah ingin Diana menderita, apalagi karena dirinya. ‘Semoga... dia ngga pernah meninggalkan kamu, dan ngga pernah terlambat datang’
***
Belle tak bicara sejak Gyan duduk di sampingnya. Harusnya, Belle senang karena akhirnya Gyan melihat sendiri bagaimana masa lalunya sudah menemukan kebahagiaan, begitu bukan? Namun, entah kenapa ia tak berani untuk sekedar mencandai sahabatnya itu.
Langit senja beranjak semakin gelap. Ombak berlari memecah pasir, membawa suara yang seakan mengejek nasib buruk Gyan. Belle pun diam saja, padahal ia sangat berharap gadis itu menghiburnya.
“Kamu benar,” gumam Gyan akhirnya.
Belle diam saja.
“Aku terlambat. Dia sudah menikah,” lirih Gyan lagi. “Ya... aku benar-benar terlambat. Lagi.”
Belle menoleh, menatapnya singkat lalu menggeleng lemah. “Berhentilah menyalahkan dirimu akan kematian Père. Dan berhentilah menyamakan semua situasi. Père dan perempuan itu, tidak ada persamaan di dalamnya.”
Gyan mendengus frustasi.
“Kamu tau bagian yang paling konyolnya? Dia malah menyuruhku berpacaran denganmu.” Gyan tertawa geli. “Bukan itu... mungkin karena ia dan suaminya tak melewati fase pacaran, jadi sebenarnya ia menyarankanku menikahimu. Ya ampun, Belle... itu ide yang paling gila! Kita? Menikah? Sinting!”
Belle terdiam. Kalimat panjang konyol itu terasa seperti gurauan bodoh yang seharusnya bisa ia abaikan, tapi entah kenapa malah membuat dadanya sesak.
Sementara di sampingnya, Gyan malah tertawa—tawa. Belle tau, pria itu tengah menertawakan luka sendiri. Namun tetap saja ia kesal.
Tanpa bicara, ia bangkit, menjauh tanpa kata. Ia memang menyimpan cinta untuk Gyan, tapi... ia tak ingin menjadi pelarian siapa pun.
“Belle!” Gyan menahannya, genggaman di pergelangan tangannya terasa posesif. “Aku salah bicara?”
“Ya, sangat salah.”
“Maksudmu?”
“Tidak perlu membawa-bawa aku dalam urusan kalian,” tegas Belle lagi.
“Belle....”
“Dan aku sepakat, pernikahan, apalagi jika itu denganmu....” Belle menyeringai. “Sinting!”
Belle menarik tangannya, berbalik, melangkah tanpa menoleh.